Hipersalivasi merupakan gejala yang terjadi ketika terdapat saliva (air ludah atau air liur) yang berlebihan di dalam mulut di atas garis bibir[1].
Meneteskan air liur adalah kondisi umum pada bayi yang akan mereda di antara usia 15 sampai 36 bulan dengan pembentukan dari pembatasan air ludah. Meneteskan air liur tergolong tidak wajar setelah usia 4 tahun[1].
Daftar isi
Hipersalivasi, dikenal juga sebagai sialorrhea atau ptyalis, adalah ketika seseorang memiliki terlalu banyak air ludah di dalam mulutnya. Kondisi ini dapat menyebabkan air ludah keluar dari bagian bawah bibir, disebut sebagai drooling (meneteskan air liur)[2].
Saliva (air ludah) adalah cairan jernih yang dihasilkan oleh kelenjar ludah di dalam mulut. Air ludah berfungsi untuk melembabkan makanan dan membantu proses menelan. Air ludah juga mengandung enzim yang membantu proses pencernaan makanan[2].
Selain itu, air ludah juga membantu proses pemulihan luka dan menyingkirkan kuman dari mulut, mencegah mulut kering, serta berperan sebagai pelindung dari zat iritan dan toksin[2].
Hipersalivasi dapat bersifat sementara atau kronis bergantung pada penyebabnya. Sebagai contoh, jika hipersalivasi terjadi akibat infeksi, maka produksi saliva akan kembali normal setelah infeksi ditangani[3].
Pada orang normal rata-rata dihasilkan 0,75-1,5 liter air ludah setiap hati. Produksi air ludah paling tinggi ketika makan dan paling rendah ketika sedang tidur[2].
Hipersalivasi bukan suatu penyakit, namun biasanya gejala dari kondisi lain, yang dapat berupa gangguan ringan dan penyebab umum hingga penyakit langka[4].
Hipersalivasi dapat disebabkan oleh produksi air ludah yang berlebih, ketidakmampuan untuk menelan dengan efektif atau mengeluarkan kelebihan air ludah dari mulut, dan kesulitan untuk menjaga mulut tertutup[2]
Berikut beberapa kondisi yang dapat menyebabkan produksi air ludah berlebih dan mengarah pada hipersalivasi[2, 4]:
Sialorrhea patologis dapat berupa kondisi tersendiri akibat produksi air ludah berlebihan atau dapat terjadi dalam kaitannya dengan beberapa kelainan neurologis seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), cerebral palsy (CP), penyakit Parkinson, atau sebagai efek samping suatu pengobatan[1].
Pada anak-anak, umumnya penyebab sialorrhea ialah cerebral palsy, yang berlangsung lama pada 10%-38% dari pasien.
Pada orang dewasa, penyakit Parkinson merupakan penyebab paling umum dengan 70%-80% dari pasien penyakit parkinson mengalami sialorrhea. Pada 30%-80% dari pasien skizofrenia, hipersalivasi terjadi ketika menggunakan obat clozapine[1].
Hipersalivasi juga dapat terjadi akibat efek samping penggunaan obat tertentu, seperti[4]:
Selain itu, paparan beberapa zat tertentu, meliputi[4]:
Hipersalivasi sering mengarah pada drooling, keluarnya air ludah dari mulut secara tidak disengaja. Hal ini terjadi karena pasien mengalami kesulitan menjaga air ludah tetap di dalam mulut[2, 4].
Berikut beberapa kondisi yang dapat menyebabkan drooling[2]:
Berikut beberapa gejala dari hipersalivasi[2]:
Hipersalivasi dan drooling dapat menyebabkan komplikasi psikologis dan kecemasan sosial, pasien dapat merasa malu dan mengisolasi diri dari orang lain. Hipersalivasi juga dapat mempengaruhi kemampuan mencerna makanan atau bicara[1, 2].
Pasien dengan hipersaliva memiliki kemungkinan tinggi untuk menghirup air ludah, makanan, atau cairan ke dalam paru-paru. Hal ini dapat mengarah pada terjadinya pneumonia aspirasi[2].
Pada pasien dengan gangguan neurologis seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS), air ludah berlebihan di mulut lebih umum disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menelan. [5]
Hipersalivasi pada pasien ALS juga dapat berakibat fatal, karena sering menyebabkan tersedak, terutama ketika makan di mana produksi air ludah meningkat dan risiko aspirasi meningkat[5].
Dokter dapat mendiagnosis hipersalivasi setelah mendiskusikan gejala yang dialami dengan pasien. Untuk mengetahui penyebabnya, dapat diperlukan beberapa tes atau pemeriksaan[4].
Berikut beberapa hal yang diperiksa oleh dokter untuk mendiagnosis hipersalivasi[2]:
Dokter juga perlu mengecek catatan kesehatan pasien untuk mengetahui kondisi kesehatan yang dialami dan pengobatan yang sedang digunakan [2, 4].
Setelah penyebab dari hipersalivasi diketahui, dokter biasanya mempertimbangkan beberapa faktor berikut untuk menganjurkan cara penanganan [2]:
Pasien hipersalivasi sering memiliki riwayat kesehatan yang kompleks dan disertai resep pengobatan[6].
Pengobatan untuk hipersalivasi sangat bergantung pada etiologi dan faktor penyebabnya. Oleh karena itu, perencanaan pengobatan harus disesuaikan untuk setiap kasus pasien[6].
Penanganan dapat meliputi terapi tertentu, penggunaan obat, dan pengobatan rumahan. Pada kasus ekstrim, prosedur operasi dapat dipertimbangkan[2].
Mengkonsumsi banyak air minum dapat membantu menurunkan produksi air ludah. Menggosok gigi dan berkumur dengan mouthwash secara teratur dapat mengeringkan mulut untuk sementara[2].
Gosok gigi berfungsi untuk menjaga kebersihan mulut dan membantu menurunkan produksi air ludah berlebihan, terutama jika hipersalivasi disebabkan oleh infeksi pada mulut[4].
Umumnya, penanganan hipersalivasi dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode perawatan karena tidak terdapat perawatan tunggal yang cukup efektif[7].
Pengobatan oral untuk hipersalivasi mencakup penggunaan agen antikolinergik seperti glycopyrrolate, benztropine, scopolamine, dan tropicamide. [7]
Antikolinergik bekerja dengan menurunkan regulasi asetilkolin dan akhirnya menurunkan sekresi air ludah melalui sistem saraf otonom parasimpatik[7].
Berikut beberapa obat yang telah dilaporkan efektif mengatasi hipersalivasi[5]:
Penggunaan obat di atas, harus sesuai petunjuk dan arahan dokter.
Scopolamine transdermal yang diaplikasikan sebagai patch di belakang telinga ditoleransi dengan baik oleh pasien, namun mengakibatkan efek samping berupa retensi uriner dan penglihatan kabur[7].
Penggunaan obat untuk hipersalivasi dapat mengakibatkan beberapa efek samping seperti sedasi (kantuk), pusing, kesulitan urinasi, dan takikardia[5].
Obat antikolinergik menimbulkan kontraindikasi pada pasien dengan glaukoma, uropati obstruktif, kelainan motilitas gastrointestinal, dan myasthenia gravis[7].
Injeksi botullinum toxin (BT) ke kelenjar ludah utama telah menunjukkan efektivitas dan efek samping yang sedikit. Namun, durasi efek pengobatan terbatas untuk beberapa bulan saja[7].
Dokter dapat merekomendasikan injeksi BT jika hipersalivasi bersifat konstan. BT bekerja dengan melumpuhkan saraf dan otot, mencegah kelenjar saliva memproduksi air ludah[4].
Terapi meliputi modifikasi tingkah laku dan terapi bicara. Pasien dengan hipersalivasi dapat terbantu dengan mengendalikan kepala dan postur tubuh tertentu. [2]
Pasien juga dapat mempelajari teknik untuk menutup bibir, mengendalikan lidah dengan baik, dan menelan[2].
Terapi radiasi pada kelenjar saliva merupakan opsi perawatan yang bermanfaat pada pasien berusia lanjut yang bukan kandidat untuk operasi dan tidak bisa menoleransi pengobatan.
Radiasi menyebabkan xerostomia yang berlangsung beberapa bulan hingga tahun. Dosis dapat disesuaikan untuk menghasilkan efek yang diharapkan dan dapat diulang jika diperlukan[7].
Pada kasus berat, kondisi hipersaliva dapat ditangani dengan operasi pada kelenjar saliva utama. Dokter dapat menyarankan kelenjar saliva untuk dihilangkan seluruhnya atau direlokasi sehingga saliva (air ludah) dilepaskan ke bagian belakang mulut agar mudah ditelan[4].
Operasi dapat memberikan efek yang lebih besar dan berlangsung lebih lama daripada metode pengobatan lainnya.
Akan tetapi operasi memiliki risiko terjadi konsekuensi permanen (khususnya xerostomia), sehingga hanya dianjurkan untuk pasien kasus berat yang tidak responsif terhadap terapi lainnya[7].
Pada kasus hipersalivasi yang terjadi akibat infeksi di dalam mulut, dapat dicegah dengan menjaga kebersihan mulut dan makanan atau minuman yang dikonsumsi.[4]
Untuk hipersalivasi yang disebabkan oleh kondisi kesehatan tertentu, pencegahan dilakukan dengan mengatasi kondisi penyebabnya[4].
1. Amanda Amrita Lakraj, Narges Moghimi, and Bahman Jabbari. Sialorrhea: Anatomy, Pathophysiology and Treatment with Emphasis on the Role of Botulinum Toxins. Toxins, NCBI; 2013.
2. Kanna Ingleson, reviewed by Stacy Sampson, D.O. Everything You Need to Know about Hypersalivation. Medical News Today; 2017.
3. Sheila Buff, reviewed by Deborah Weatherspoon, Ph.D., R.N., CRNA. What Is Hypersalivation and How Is It Treated? Healthline; 2019.
4. Anonim. Hipersalivation Ptyalism Sialorrhea. Iowa Head and Neck Protocols; 2019.
5. Anonim. FYI: Managing Excessive Saliva. ALS Association; 2020.
6. Anonim. Hypersalivation/Drooling Treatment. Parotid; 2020.
7. Işıl Adadan Güvenç. Sialorrhea: A Guide to Etiology, Assessment, and Management. Intech Open; 2018.