Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Philophobia adalah ketakutan yang irasional terhadap cinta atau untuk terlibat secara emosional terhadap orang lain. Philophobia dapat menjadi gangguan yang signifikan dalam kehidupan jika tidak diatasi.
Daftar isi
Philophobia merupakan salah satu jenis fobia spesifik di mana seseorang mengalami ketakutan berlebih irasional untuk jatuh cinta [1,2].
Filos sendiri merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang memiliki makna mencintai [2].
Maka jika digabungkan dengan kata phobia hal ini dapat diartikan sebagai ketakutan berlebih untuk mencintai maupun dicintai [2].
Fobia spesifik satu ini merupakan salah satu jenis fobia spesifik yang lebih umum dialami oleh wanita daripada pria [2].
Kondisi ini mampu menyebabkan seseorang untuk sulit berkomitmen, termasuk takut dalam membangun sebuah hubungan yang sehat dengan pasangannya.
Tinjauan Philophobia adalah fobia spesifik di mana seseorang mengalami rasa takut berlebih untuk jatuh cinta atau menjalani hubungan romantis dengan orang lain.
Hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab philophobia, namun seperti halnya jenis fobia spesifik lain, terdapat sejumlah faktor yang dapat memicu.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mampu meningkatkan risiko seseorang mengalami philophobia :
Seseorang yang memiliki anggota keluarga (khususnya orang tua) dengan kondisi fobia spesifik terlebih philophobia atau gangguan kecemasan akan memiliki risiko lebih besar mengalami philophobia [3,4].
Ini karena gangguan kecemasan paling kerap dikaitkan erat dengan kondisi fobia spesifik.
Pernah terluka karena cinta seperti ditinggalkan oleh pasangan, putus cinta, perceraian, atau pengalaman menyakitkan lainnya dapat membuat seseorang trauma [1,2,4,5].
Selain itu, anak-anak yang juga sering melihat kedua orang tuanya bertengkar, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan bercerai pun mampu mengembangkan risiko philophobia [2].
Trauma inilah yang kemudian berpotensi mengembangkan rasa takut secara berlebihan untuk mencintai maupun dicintai.
Ketakutan berlebih yang dirasakan oleh penderita philophobia adalah rasa takut di mana dirinya akan merasakan kembali luka yang sebelumnya ia alami.
Oleh sebab itu, penderita philophobia kerap menutup diri dari lawan jenis dan enggan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk mendekatinya [2].
Namun bukannya menjadi lebih baik, perilaku penghindaran ini justru biasanya meningkatkan intensitas ketakutan itu sendiri.
Beberapa faktor lingkungan seperti cara didik di lingkungan keluarga, efek dari menonton film serta membaca buku atau cerita bisa berdampak pada pola pikir serta perasaan seseorang terhadap cinta [1].
Sejumlah penderita philophobia mengalami rasa takut yang berkembang sejak kecil karena pola pikir dan emosinya yang terbentuk dari lingkungan sekitar [3,4,5].
Perubahan pada fungsi otak pun dapat menjadi salah satu pemicu dari timbulnya gangguan kecemasan yang berkaitan dengan fobia spesifik seperti philophobia [2,4].
Tinjauan Philophobia dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti faktor genetik, faktor lingkungan, faktor perubahan fungsi otak, dan juga pengalaman traumatis.
Philophobia sebenarnya memiliki gejala yang kurang lebih sama dengan beberapa jenis fobia spesifik lainnya.
Penderitanya akan merasakan ketakutan, kecemasan atau bahkan kepanikan intens ketika berhadapan dengan cinta.
Gejala yang ditimbulkan philophobia sendiri beragam dan berbeda-beda antara satu penderita dengan penderita lainnya.
Namun, gejala yang dialami dapat berupa fisik maupun emosional seperti berikut [2,3,4,5] :
Namun yang perlu diketahui adalah bahwa philophobia bukan gangguan kecemasan sosial walaupun gangguan kecemasan sosial menjadi bagian dari kondisi philophobia [2].
Pada kasus gangguan kecemasan sosial, penderita biasanya mengalami ketakutan ekstrem pada situasi sosial, terutama di tempat umum [2].
Namun philophobia tidak demikian, karena fobia ini hanya terjadi di situasi sosial tertentu saja [2].
Tingkat kemiripan philophobia dengan DSED (disinhibited social engagement disorder) lebih tinggi daripada dengan gangguan kecemasan sosial [6].
DSED dapat disebabkan oleh trauma masa kecil seperti misalnya anak yang diabaikan atau ditelantarkan oleh orang tuanya [6].
Anak kemudian mengalami gangguan dalam membangun sebuah hubungan yang lebih dalam dengan orang lain [6].
Tinjauan Seperti kondisi fobia spesifik pada umumnya, rasa takut, panik dan cemas yang dialami penderita philophobia sangat berlebihan. Hal ini disertai dengan perilaku yang cenderung menutup diri dan hati menghindari jatuh cinta sekaligus beberapa gejala fisik seperti berkeringat, sesak napas, tubuh gemetaran, hingga hampir pingsan.
Untuk memastikan bahwa pasien tidak memiliki gejala fisik berkaitan dengan gejala philophobia, pemeriksaan fisik perlu ditempuh oleh pasien lebih dulu [7].
Dan jika dokter memiliki kecurigaan bahwa kondisi ini memiliki kaitan dengan gangguan mental seperti fobia spesifik, dokter langsung merujukkan pasien ke dokter spesialis kejiwaan dan mental.
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk dapat mendiagnosa philophobia, namun dokter kesehatan mental dan jiwa biasanya menggunakan kriteria diagnostik DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) dari American Psychiatric Association untuk mendiagnosa kondisi [2,8].
Berikut ini merupakan kriteria diagnostik DSM-5 yang dimaksud dan akan membantu dokter dalam menentukan apakah pasien mengalami fobia spesifik berupa philophobia [8].
Tinjauan Pemeriksaan fisik dan juga evaluasi psikologis menggunakan kriteria diagnostik DSM-5 untuk fobia spesifik sangat diperlukan untuk menghasilkan diagnosa yang lebih akurat.
Terdapat banyak cara untuk mengatasi rasa takut untuk jatuh cinta pada penderita philophobia.
Mulai dari psikoterapi, pemberian obat-obatan yang mengatasi kecemasan, hingga penanganan mandiri melalui perubahan gaya hidup.
Psikoterapi yang umumnya diterapkan bagi penderita fobia spesifik seperti philophobia adalah terapi perilaku kognitif [5,9].
Terapis profesional dalam prosedur ini akan membantu pasien mengatasi ketakutan irasionalnya.
Selama prosedur ini ditempuh oleh pasien, pasien akan dibimbing oleh terapis untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran buruk, keyakinan negatif, serta reaksi pasien [5].
Setelah teridentifikasi, hal ini akan memudahkan terapis untuk membantu pasien dalam mengubahnya menjadi reaksi, pikiran dan kepercayaan yang lebih positif [5].
Karena selama sesi terapi, pasien akan mampu memeriksa sekaligus memahami sumber ketakutannya dari akar lalu mengeksplorasi rasa sakit yang pernah dirasakan dan menjadi penyebab rasa takut berlebihan itu [9].
Dari terapis, pasien akan diberi beberapa skenario pengandaian melalui pengajuan beberapa pertanyaan berikut :
Psikoterapi seringkali diberikan kepada pasien dengan fobia spesifik yang dikombinasi bersama dengan pemberian obat-obatan [2].
Pada beberapa kasus, dokter akan meresepkan antidepresan dan obat anticemas untuk mengatasi gangguan cemas dan panik pasien [10].
Penggunaan obat ini diharapkan dapat mengurangi gejala gangguan kecemasan dan gangguan panik yang selama ini pasien derita.
Selain melalui psikoterapi dan penggunaan obat-obatan, biasanya dokter juga akan menyarankan sejumlah tips untuk perubahan pola hidup, seperti [11,12,13,14] :
Tips dalam Mendukung Penderita Philophobia
Untuk seseorang yang merupakan kerabat atau sahabat penderita philophobia, hal-hal di bawah ini dapat diperhatikan sebagai upaya mendukung penderita :
Tinjauan Penanganan philophobia umumnya melalui tiga metode, yaitu psikoterapi, obat-obatan dan perubahan pola hidup lebih sehat.
Jika gejala philophobia tak segera ditangani, penderita berkemungkinan mengalami risiko komplikasi sebagai berikut [3,4,15] :
Karena tidak diketahui secara pasti penyebab philophobia, maka sulit ketika hendak mencegah kondisi ini sama sekali.
Namun untuk meminimalisir risiko komplikasinya, pemeriksaan gejala dan penanganan dini dapat ditempuh oleh penderita.
Menjalani pola hidup sehat dan seimbang sehari-hari juga merupakan sebuah cara agar kesehatan mental, emosional dan fisik terjaga dengan baik.
Tinjauan Tidak terdapat cara khusus dan jelas dalam mencegah philophobia, namun dengan pemeriksaan dan penanganan gejala dini, hal ini mampu meminimalisir komplikasi yang fatal.
1. Romina Tavormina. Why are we afraid to love?. Psychiatria Danubina; 2014.
2. Jacob Olesen. Fear of Love Phobia – Philophobia. Fearof; 2014
3. William W Eaton, O Joseph Bienvenu, & Beyon Miloyan. Specific phobias. HHS Public Access; 2020.
4. René Garcia. Neurobiology of fear and specific phobias. Learning Memory; 2017.
5. Chandan K. Samra & Sara Abdijadid. Specific Phobia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
6. Helen Minnis. What Happens to Disinhibited Social Engagement Disorder Over Time?. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry; 2018.
7. Cornelia Witthauer, Vladeta Ajdacic-Gross, Andrea Hans Meyer, Peter Vollenweider, Gerard Waeber, Martin Preisig, & Roselind Lieb. Associations of specific phobia and its subtypes with physical diseases: an adult community study. BioMed Central; 2016.
8. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM–5). Fifth edition. Arlington, Va.: American Psychiatric Association; 2013.
9. Barry D Wright, Cindy Cooper, Alexander J Scott, Lucy Tindall, Shehzad Ali, Penny Bee, Katie Biggs, Trilby Breckman, Thompson E Davis III, Lina Gega, Rebecca Julie Hargate, Ellen Lee, Karina Lovell, David Marshall, Dean McMillan, M Dawn Teare, & Jonathan Wilson. Clinical and cost-effectiveness of one-session treatment (OST) versus multisession cognitive–behavioural therapy (CBT) for specific phobias in children: protocol for a non-inferiority randomised controlled trial. British Medical Journal Open; 2018.
10. Frank J. Farach, Larry D. Pruitt, Janie J. Jun, Alissa B. Jerud, Lori A. Zoellner, & Peter P. Roy-Byrne. Pharmacological treatment of anxiety disorders: Current treatments and future directions. HHS Public Access; 2013.
11. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BioMed Central Health Services Research; 2018
12. Josefien J. F. Breedvelt, Yagmur Amanvermez, Mathias Harrer, Eirini Karyotaki, Simon Gilbody, Claudi L. H. Bockting, Pim Cuijpers, & David D. Ebert. The Effects of Meditation, Yoga, and Mindfulness on Depression, Anxiety, and Stress in Tertiary Education Students: A Meta-Analysis. Frontiers in Psychiatry; 2019.
13. Stefan G. Hofmann, Giovanbattista Andreoli, Joseph K. Carpenter, & Joshua Curtiss. Effect of Hatha Yoga on Anxiety: A Meta-Analysis. HHS Public Access; 2017.
14. Gareth Richards & Andrew Smith. Caffeine consumption and self-assessed stress, anxiety, and depression in secondary school children. Journal of Psychopharmacology; 2015.
15. Michelle Gallagher, Mitchell J. Prinstein, Valerie Simon, & Anthony Spirito. Social anxiety symptoms and suicidal ideation in a clinical sample of early adolescents: examining loneliness and social support as longitudinal mediators. HHS Public Access; 2017.