Daftar isi
Tes kepadatan tulang merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan memeriksa gejala osteoporosis dan memastikan tingkat kepadatan tulang pasien [1,2,3].
Ketika kepadatan tulang tergolong rendah, maka pasien memiliki risiko patah tulang lebih tinggi [1,2,3].
Tes ini dilakukan oleh dokter menggunakan mesin khusus agar dapat mengetahui kualitas tulang di beberapa bagian tubuh [1,2,3].
Tulang belakang dan tulang pinggul menjadi bagian yang paling sering diperiksa menggunakan tes ini, namun tes kepadatan tulang juga dapat dokter gunakan untuk mengecek tulang bagian tubuh lain [1,2].
Tes kepadatan tulang adalah prosedur pemeriksaan yang bermanfaat untuk mengecek beberapa kondisi seperti :
1. Memeriksa Kehilangan Tinggi Badan
Bukan hanya berat badan yang bisa hilang, tinggi badan pun bisa hilang atau menyusut [2,3].
Kehilangan tinggi badan sekitar 1,5 inci bisa segera diperiksakan dengan menempuh tes kepadatan tulang [2,3,4].
Pada dasarnya, kehilangan tinggi badan adalah hal normal dan alami, terutama jika usia semakin tua [5].
Kondisi seperti ini umumnya bisa terjadi seiring bertambahnya usia, sebab cakram yang terletak di antara tulang belakang bisa menjadi rata [5].
Ketika sudah demikian, otot juga ikut terkena dampaknya dengan kehilangan ruang antara sendi yang menyempit sekaligus kehilangan massa [4,5].
Ada pula kasus di mana fraktur kompresi di tulang belakang menjadi penyebab utama tinggi badan bisa hilang [5].
Tidak hanya 1,5 inci atau 3,8 cm, ada pula beberapa pasien yang mengalami kehilangan tinggi badan lebih banyak dari itu, seperti 2-4 inci [4].
Banyak penderita kehilangan tinggi badan sebanyak 2-4 inci menganggapnya normal sebagai bagian dari pertambahan usia, namun sebenarnya hal ini bisa saja lebih serius dari itu [4,5].
2. Memeriksa Penyakit Penyebab Patah Tulang
Terdapat beberapa kondisi medis yang mampu menjadi faktor peningkat risiko patah tulang atau bahkan menjadi penyebab utama patah tulang.
Tes kepadatan tulang mampu membantu pasien mengetahui lebih jelas apa yang sedang terjadi pada tulangnya, seperti identifikasi kemungkinan beberapa penyakit ini :
Penyakit ginjal merupakan kondisi saat fungsi ginjal tidak lagi maksimal dan normal karena adanya gangguan [6].
Padahal, fungsi utama ginjal adalah menyaring racun maupun limbah dari darah dan membersihkannya dari tubuh [6].
Ketika ginjal sedang bermasalah, terutama jika sudah pada tahap kronis, osteoporosis bisa menjadi salah satu kondisi yang timbul sebagai akibatnya [6,7].
Pasien penderita osteoporosis sering dijumpai mengalami penyakit ginjal kronis yang berkaitan dengan gangguan keseimbangan mineral, gangguan tulang, dan osteodistrofi ginjal [6,7].
Penyakit hati seperti sirosis hati, hepatitis, perlemakan hati, abses hati, hingga kanker hati adalah kondisi-kondisi yang mampu memengaruhi kondisi tulang secara negatif [8].
Hati atau liver sendiri adalah organ vital yang terlibat dalam proses metabolisme tubuh [8].
Maka ketika hati atau liver tidak dalam kondisi yang baik dan normal, penyakit hati bisa menjadi salah satu sebab utama osteoporosis [9].
Diketahui bahwa ada 30% pasien penderita penyakit hati kronis yang juga mengalami osteoporosis di saat yang sama [9].
Oleh sebab itu, ketika tulang mulai mudah patah dan retak, penting untuk segera memeriksakannya, termasuk dengan prosedur tes kepadatan tulang [2].
Penyakit Lupus adalah jenis penyakit autoimun yang memengaruhi beberapa organ tubuh sekaligus, mulai dari otak, kulit, sendi dan ginjal [10].
Penyakit Lupus sendiri berkaitan erat dengan osteoporosis karena hasil studi menyatakan bahwa penderita penyakit Lupus umumnya mengalami peningkatan risiko pengeroposan dan patah tulang [11].
Penggunaan obat glukokortikoid oleh penderita penyakit Lupus juga turut menjadi faktor pemicu kepadatan tulang yang menurun [11].
Penyakit Lupus sendiri diketahui lebih banyak diderita oleh wanita (90% kasus) di mana wanita sendiri pun telah memiliki risiko tinggi mengidap osteoporosis pasca menopause [11].
Arthritis atau radang sendi mampu berakibat pada kerapuhan dan pengeroposan tulang apabila tidak segera memperoleh penanganan [2,12,13].
Arthritis sendiri adalah radang pada sendi yang menjadikan gerakan sendi terbatas, nyeri hingga membengkak [12].
Seseorang yang memiliki obesitas, riwayat cedera sendi, penyakit autoimun, penyakit asam urat, dan/atau berusia 65 tahun ke atas jauh lebih berpotensi mengalami arthritis [12].
3. Memeriksa Penurunan Kadar Hormon
Penurunan kadar hormon baik estrogen pada wanita maupun testosteron pada pria mampu memengaruhi kondisi kesehatan tulang [2].
Wanita dengan kadar hormon estrogen rendah memiliki risiko tulang rapuh dan patah lebih tinggi [13].
Pria dengan kadar hormon testosteron rendah juga memiliki risiko tinggi osteoporosis [14].
Oleh karena itu, tes kepadatan tulang mampu mendeteksi dini sehingga pasien wanita atau pria bisa menjalani terapi pengganti estrogen atau testosteron untuk meningkatkan kepadatan tulang [2,13,14].
4. Memeriksa Kerapuhan Tulang
Tes kepadatan tulang bermanfaat untuk memeriksa apakah pasien pernah mengalami patah tulang tanpa disadari [2].
Tes ini mampu mengidentifikasi kerapuhan tulang yang belum disadari sepenuhnya oleh penderita sehingga risiko patah tulang dapat dihindari [2].
Siapa saja yang boleh atau dianjurkan menjalani tes kepadatan tulang?
Tes kepadatan tulang sebagai pemeriksaan atau skrining pencegahan penurunan kepadatan tulang biasanya dianjurkan bagi seluruh wanita usia 65 tahun ke atas dan wanita usia kurang dari 65 tahun yang memiliki risiko patah tulang tinggi [1,2].
Selain itu, beberapa kondisi ini juga menjadi alasan mengapa seseorang perlu menempuh tes kepadatan tulang segera [1,2,3] :
Pasien yang hendak menempuh tes kepadatan tulang akan dokter berikan arahan dan penjelasan detail mulai dari persiapan hingga prosedur.
Pasien pun bisa bertanya kepada dokter mengenai informasi lengkap prosedur tes ini.
Tes kepadatan tulang umumnya tidak sakit, berdurasi cepat dan tergolong sebagai prosedur yang gampang.
Hanya saja, biasanya pasien perlu melakukan beberapa hal ini sebagai bagian dari persiapan tes kepadatan tulang [1,2].
Setelah persiapan dilakukan dengan baik oleh pasien, dokter akan meminta pasien berbaring di meja khusus untuk segera melakukan tes [2].
Terdapat dua jenis atau metode tes kepadatan tulang dengan cara memindainya, yakni peripheral DXA dan central DXA [1,2,3].
Dokter akan meminta pasien menempuh central DXA lebih dulu [1,2,3].
Dokter menyarankan demikian karena tingkat akurasi hasil central DXA jauh lebih tinggi meski biaya tergolong mahal [1,2,3].
Tes pemindaian pada metode ini dapat dilakukan menggunakan mesin sinar-X yang akan diarahkan pada tulang belakang, tulang pinggul, atau tulang bagian tubuh lain yang pasien keluhkan bergejala [1,2,3].
Pada peripheral DXA, pemindaian dilakukan menggunakan mesin yang sama dengan prosedur central DXA [1,2,3].
Hanya saja, mesin diarahkan untuk memeriksa tulang tumit, tulang jari, tulang pergelangan tangan, dan tulang lengan bawah [1,2,3].
Jenis pemeriksaan ini juga tidak memakan waktu lama dan cenderung sangat cepat [1,2,3].
Laporan hasil tes kepadatan tulang terdiri dari skor T dan skor Z [1,2].
Skor T adalah hasil pemeriksaan yang dokter dasarkan pada kepadatan mineral tulang dari orang berusia 30 tahun yang sehat dan membandingkannya dengan kondisi pasien [1,2].
Berikut ini adalah hasil pemeriksaan pada skor T [1,2] :
Sementara itu, skor Z adalah nilai perbandingan kepadatan tulang yang dokter dasarkan pada orang yang berusia dan berukuran tubuh sama dengan pasien namun dalam kondisi tulang yang sehat [1,2].
Ketika skor Z pasien dari hasil tes kepadatan tulang menunjukkan lebih rendah atau lebih tinggi dari rata-rata, dokter biasanya akan meminta pasien menempuh tes penunjang [1,2].
Ketika hasil cukup negatif, dokter akan segera mendiskusikan opsi penanganan terbaik sesuai dengan kondisi kesehatan tulang pasien dan kesehatan menyeluruh pada tubuh pasien [2].
1. National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center. Bone Mass Measurement: What the Numbers Mean. National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center; 2018.
2. William Morrison, M.D. & Brian Krans. Bone Mineral Density Test. Healthline; 2018.
3. Angela Sheu & Terry Diamond. Bone mineral density: testing for osteoporosis. Australian Prescriber; 2016.
4. Osteoporosis Canada. Height Loss and Osteoporosis. Osteoporosis Canada; 2022.
5. S. Goya Wannamethee, PhD; A. Gerald Shaper, FRCP; & Lucy Lennon, MSc; et al. Height Loss in Older Men Associations With Total Mortality and Incidence of Cardiovascular Disease. The Journal of the American Medical Association Internal Medicine; 2006.
6. Satyanarayana R. Vaidya & Narothama R. Aeddula. Chronic Renal Failure. National Center for Biotechnology Information; 2021.
7. Lydia G Schipper, Hanneke W H A Fleuren, Joop P W van den Bergh, Johan R Meinardi, Bart A J Veldman, & Cornelis Kramers. Treatment of osteoporosis in renal insufficiency. Clinical Rheumatology; 2015.
8. Ashish Sharma & Shivaraj Nagalli. Chronic Liver Disease. National Center for Biotechnology Information; 2021.
9. Angel A. Justiz Vaillant; Amandeep Goyal; & Matthew Varacallo. Systemic Lupus Erythematosus. National Center for Biotechnology Information; 2022.
10. National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center. What People With Lupus Need To Know About Osteoporosis. National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center; 2018.
11. Shayan Senthelal; Jinpu Li; Amandeep Goyal; & Mark A. Thomas. Arthritis. National Center for Biotechnology Information; 2022.
12. National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center. What People With Rheumatoid Arthritis Need To Know About Osteoporosis. National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center; 2018.
13. Meng-Xia Ji & Qi Yu. Primary osteoporosis in postmenopausal women. Chronic Diseases and Translational Medicine; 2015.
14. R M Francis. The effects of testosterone on osteoporosis in men. Clinical Endocrinology; 1999.