Daftar isi
ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder merupakan sebuah kondisi gangguan perkembangan saraf yang umumnya terjadi pada anak [1,2,3,5,6,7].
Kondisi ini paling kerap ditandai dengan perilaku impulsif pada anak yang sulit dikendalikan.
Anak dengan ADHD pun mengalami kesulitan untuk memerhatikan, fokus atau berkonsentrasi khususnya saat di sekolah.
Anak dengan kondisi ini pun biasanya tergolong hiperaktif dan bahkan mampu melakukan sesuatu tanpa memikirkan hasilnya di mana hal ini bisa berlangsung hingga ia tumbuh dewasa.
Apakah ADHD termasuk jenis gangguan atau penyakit mental?
Penyakit atau gangguan mental memiliki pengertian dan pemahaman yang sangat luas, namun hal ini dikenal dengan suatu kondisi yang berpengaruh pada cara berpikir, suasana hati dan perilaku seseorang [3].
Gangguan mental pun dapat meliputi kecemasan ringan hingga gangguan bipolar atau depresi berat.
Dan oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa ADHD termasuk dalam golongan gangguan mental.
Ini karena ADHD memengaruhi cara berpikir, suasana hati dan bahkan cara anak berperilaku.
Selain gangguan mental, para ahli kerap menyebut kondisi ini sebagai gangguan perilaku.
Meski begitu, istilah gangguan atau penyakit mental masih dianggap terlalu tabu atau ekstrem bagi para orangtua yang memiliki anak dengan ADHD walau penyakit mental kini adalah kondisi yang tergolong umum.
Terlepas dari fakta bahwa ADHD sebenarnya termasuk golongan gangguan mental, para orangtua tetap dapat menggunakan istilah ADHD untuk kondisi anak mereka.
Tinjauan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah suatu gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan gangguan perilaku di mana umumnya dialami oleh anak. Hal ini pun tergolong dalam kondisi gangguan mental.
Ada tiga jenis kondisi ADHD yang perlu dikenali, khususnya oleh para orangtua untuk dapat menangani kondisi anak sesuai dengan jenis ADHD yang yang dialami [6,7].
Pada jenis ADHD hiperaktif-impulsif, tanda yang paling nampak adalah kegelisahan yang berlebihan pada penderitanya.
Jenis hiperaktif-impulsif pun ditandai dengan banyak bicara dan itulah mengapa seseorang dengan ADHD sulit untuk duduk diam cukup lama, bahkan hanya untuk sekadar makan sampai selesai.
Pada anak dengan kondisi ADHD jenis ini, mereka akan lebih senang bergerak aktif sehingga dianggap sebagai perilaku hiperaktif.
Namun pada umumnya, anak yang sangat aktif seperti ini memiliki kecenderungan untuk mengganggu orang lain hingga berbicara pada waktu yang kurang tepat.
Hiperaktif-impulsif pun merupakan jenis ADHD yang perlu diwaspadai karena anak-anak dengan ADHD jenis ini memiliki risiko lebih tinggi mengalami cedera atau kecelakaan.
Pada jenis kondisi ADHD ini, anak umumnya memiliki konsentrasi yang sangat mudah terpecah sehingga kemampuan untuk fokus pada suatu hal sangat kurang.
Anak-anak dengan ADHD jenis ini sulit mengonsentrasikan perhatian mereka dan bahkan untuk mendengarkan saja sangat sulit.
Inilah alasan mengapa kebanyakan penderita ADHD kurang memerhatikan detil instruksi penting yang disampaikan orang lain dan tidak menyelesaikan aktivitas apapun yang telah mereka mulai.
Ada pula jenis ADHD yang merupakan kombinasi kedua jenis ADHD sebelumnya, yaitu hiperaktif-impulsif dan inattentive. Hal ini otomatis membuat anak yang menderita ADHD akan mengalami dua jenis gejala, seperti hiperaktif atau tak bisa diam dan banyak bicara hingga sulit berkonsentrasi dalam banyak hal.
Tinjauan Ada tiga jenis kondisi ADHD, yaitu ADHD hiperaktif-impulsif (kesulitan untuk duduk diam atau tenang dalam waktu lama), ADHD attentive (kesulitan dalam berkonsentrasi pada hal-hal yang dikerjakan atau diinstruksikan), dan ADHD kombinasi hiperaktif-impulsif dan inattentive.
Menurut laporan dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention), para ilmuwan masih mempelajari penyebab utama ADHD.
Hingga kini penyebab ADHD masih belum diketahui secara pasti, namun pada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan besar pada timbulnya kondisi ADHD pada anak.
1. Faktor Genetik atau Keturunan
ADHD berkaitan dengan faktor genetik di mana seorang anak memiliki risiko tinggi memiliki ADHD bila orangtuanya pun mengalami kondisi yang sama [1,2,5,6,7].
Tak hanya faktor orangtua, saudara kandung yang memiliki ADHD pun dapat memengaruhi anggota keluarga lainnya (saudara kandung lain) untuk mengalami ADHD.
2. Fungsi dan Anatomi Otak
Faktor lain yang perlu diketahui mampu meningkatkan risiko seseorang mengalami ADHD adalah fungsi dan anatomi otak [1,5,6].
Ketika bagian otak yang mengendalikan tingkat konsentrasi dan aktivitas bermasalah dan cenderung bekerja secara kurang optimal, hal ini mampu menyebabkan ADHD.
3. Faktor Buruk Selama Kehamilan
Anak menjadi lebih rentan mengalami ADHD bila semasa kehamilan, sang ibu melakukan atau mengalami beberapa hal seperti di bawah ini [6] :
4. Masalah pada Persalinan
Pada beberapa kasus, ADHD pun dapat lebih berisiko pada anak yang lahir secara prematur [1,5,6].
Tak hanya itu, anak-anak yang lahir dengan berat badan rendah memiliki risiko sama tingginya untuk menderita ADHD.
5. Cedera Otak
Cedera pada bagian kepala yang memengaruhi otak mampu menjadi alasan dibalik terjadinya ADHD pada seorang anak [1].
Namun, cedera otak sebagai penyebab ADHD cenderung sangat jarang dibandingkan faktor lainnya yang telah disebutkan di atas.
Tinjauan Penyebab utama ADHD masih belum diketahui jelas, namun faktor genetik dan lingkungan diduga dapat memengaruhi. Kebiasaan buruk ibu hamil dapat meningkatkan risiko anak lahir dan tumbuh dengan kondisi ADHD. Cedera otak atau masalah pada anatomi dan fungsi otak dapat menjadi alasan yang memperbesar potensi ADHD pada anak.
Gejala ADHD dibagi menjadi dua kondisi,yaitu gejala pada anak dan gejala pada orang dewasa.
Sementara itu, gejala ADHD pada anak masih terklasifikasi lagi menjadi dua menurut jenis kondisinya (hiperaktif-impulsif atau inattentive).
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai beberapa jenis kondisi ADHD, maka gejala yang timbul pada anak dan remaja dapat berdasarkan pada kedua jenis kondisi ADHD, yaitu hiperaktif-impulsif dan inattentive [5,6,7].
Hiperaktif-Impulsif
Inattentive
Gejala pada orang dewasa justru lebih sulit untuk terdeteksi dan terdefinisi dikarenakan masih kurangnya penelitian mengenai ADHD pada usia dewasa [5,6].
Umumnya, kondisi ADHD pada orang dewasa adalah hasil berlanjutnya perkembangan gejala dari masa kanak-kanak.
Maka dengan kata lain, ADHD tak dapat terjadi pada orang dewasa tanpa lebih dulu dialami saat masih usia anak.
Diperkirakan kurang lebih ada 15% orang dewasa usia 25 tahun yang didiagnosa ADHD pada waktu usianya masih anak-anak dan pada usia dewasa pun masih mengalami gejala.
Bahkan sekitar 65% dari penderita ADHD semasa kecil, gejalanya akan tetap bertahan saat mereka tumbuh dewasa dan memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Menurut sejumlah ahli yang dilaporkan dari National Health Service, berikut ini adalah rangkaian gejala ADHD pada orang dewasa di mana pada umumnya gejala tidak sekentara gejala pada anak [5].
Tinjauan Gejala ADHD tergantung dari jenis kondisi ADHD maupun dari usia penderita. Namun pada umumnya, gejala utama Pada orang dewasa penderita ADHD, gejala tidaklah sekentara gejala pada anak.
Saat orangtua memerhatikan adanya pola perilaku, pola berpikir dan suasana hati anak yang berubah seperti gejala-gejala yang mengarah pada ADHD, penting untuk segera membawa ke ahli medis profesional (psikolog, ahli saraf atau psikiater yang spesialisasinya menangani anak serta remaja) [2,4].
Gejala ADHD pada anak maupun remaja dapat memiliki kemiripan dengan kondisi medis lainnya, aka pemeriksaan medis berikut inilah yang paling penting dan umum diterapkan [6] :
Bila dokter menemukan adanya beberapa kondisi berikut ini setelah pemeriksaan dilakukan, maka itu artinya dokter mendiagnosa bahwa anak mengalami ADHD [7] :
Pemeriksaan berupa tes pemindaian otak seperti CT, PET maupun MRI scan tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa ADHD pada anak karena fokus dokter dalam mendiagnosa adalah pengamatan perilaku anak itu sendiri [4].
Tinjauan Pemeriksaan untuk mendiagnosa ADHD meliputi pemeriksaan fisik, riwayat medis (anak, orangtua dan anggota keluarga lainnya), pemeriksaan pendengaran dan penglihatan, dan melalui pengamatan beberapa perilaku anak.
Cara menangani ADHD terdiri dari dua metode, yakni terapi perilaku dan penggunaan obat-obatan.
Rekomendasi penanganan ADHD pada anak yang usianya masih di bawah 6 tahun oleh AAP (American Academy of Pediatrics) adalah pelatihan khusus bagi para orangtua pasien supaya dapat mengelola kondisi anak mereka dengan benar.
Pelatihan bagi para orangtua dalam manajemen perilaku adalah penanganan yang utama sebelum mengandalkan obat-obatan.
Sementara itu, bagi anak-anak dengan ADHD yang usianya 6 tahun ke atas, termasuk remaja, perlu didampingi oleh orangtua yang sudah menempuh pelatihan manajemen perilaku sekaligus menggunakan obat-obatan sesuai anjuran dokter.
Karena perilaku anak dengan ADHD dapat berisiko merugikan orang lain, maka terapi perilaku adalah penanganan yang mampu membantu agar gejala mereda [6,7].
Orangtua yang memiliki anak dengan masalah ADHD perlu memahami betul bagaimana terapi perilaku ini diterapkan.
1. Terapi Perilaku untuk Anak Usia < 6 Tahun
Sebelum mengandalkan obat-obatan, penting bagi para orangtua bekerja sama dengan dokter dan para guru di sekolah untuk membantu menerapi si kecil.
Berikut adalah alasan mengapa terapi perilaku adalah prioritas dalam menangani ADHD untuk usia di bawah 6 tahun [6].
2. Terapi Perilaku dan Obat untuk Anak Usia > 6 Tahun dan Remaja
Bagi anak-anak dengan ADHD dan usianya sudah lebih dari 6 tahun serta yang termasuk usia remaja dapat ditangani menggunakan metode kombinasi antara terapi perilaku dan obat-obatan.
Pada penderita ADHD usia di atas 6 tahun, berikut ini adalah beberapa metode terapi perilaku yang bisa diandalkan [6] :
Obat-obatan dapat diberikan sebagai salah satu pertolongan bagi anak-anak dengan ADHD untuk bisa melakukan aktivitas sehari-harinya dengan baik dan perilaku yang berlebihan dapat lebih terkendali.
FDA (Food and Drug Administration) merekomendasikan beberapa jenis obat untuk anak-anak penderita ADHD yang aman.
Obat berupa stimulan adalah yang paling banyak digunakan untuk mengatasi ADHD pada anak, seperti methylphenidate, guanfacine, atomoxetine, lisdexamfetamine, atau dexamfetamine [5,6].
Sementara itu, obat non-stimulan dapat diberikan kepada pasien ADHD, hanya saja cara kerjanya lebih lambat daripada jenis stimulan.
Baik obat jenis stimulan maupun non-stimulan perlu diberikan oleh dokter dengan resep.
Orangtua anak penderita ADHD pun perlu memberikan obat-obatan ini sesuai dengan resep dokter.
Namun, orangtua perlu lebih dulu mengonsultasikan berbagai kemungkinan efek samping obat tersebut dengan dokter.
Sementara itu, bagi orang dewasa dengan ADHD, penanganan pada umumnya meliputi psikoterapi, pemberian obat-obatan, maupun edukasi terkait ADHD [2,6].
Kombinasi ketiganya dapat menjadi penanganan terbaik jika satu penanganan kurang efektif.
Tips Untuk Para Orangtua
Para orangtua yang memiliki anak dengan kondisi ADHD dapat mengikuti beberapa tips sebagai berikut [6,7] :
Tinjauan Peran orangtua dalam membantu mengatasi gejala ADHD pada anak sangat penting. Dukungan orangtua dan tenaga pendidik di sekolah anak, terapi perilaku dan/atau obat-obatan diperlukan untuk mengendalikan perilaku negatif anak.
ADHD dapat memicu berbagai kondisi kesehatan fisik maupun mental yang buruk pada penderitanya bila tidak ditangani dengan tepat [8].
Dalam upaya pencegahan ADHD pada anak, para orangtua yang khususnya berencana untuk memiliki anak perlu memerhatikan beberapa hal [6].
Namun bila ADHD berkaitan dengan faktor genetik, maka tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegahnya karena kondisi genetik sulit untuk dicegah.
Tinjauan Orangtua perlu menjaga pola hidup tetap sehat khususnya selama ibu sedang hamil. Bahkan ketika anak telah lahir, jaga dan lindungi dari cedera maupun paparan zat yang membahayakan otaknya untuk meminimalisir risiko ADHD.
1) Anonim. 2019. American Academy of Pediatrics. Causes of ADHD: What We Know Today.
2) Warren Magnus, Saad Nazir, Arayamparambil C. Anilkumar & Kamleh Shaban. 2019. National Center for Biotechnology Information. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
3) Ellen Braaten, PhD. Understood For All Inc. Is ADHD a Mental Illness?
4) Leslie A. Hulvershorn, M.D., M.Sc. Brain & Behaviour Research Foundation. How is ADHD diagnosed?
5) Anonim. 2018. National Health Service. Overview-Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
6) Anonim. 2019. Centers for Disease Control and Prevention. What is ADHD?
7) Shirin Hasan, MD. 2017. Kids Health from Nemours. ADHD.
8) Anonim. 2019. Centers for Disease Control and Prevention. Other Concerns and Conditions with ADHD.
9) Bunda Nefri. 2018. Yayasan Pusat Kemandirian Anak. Siapakah yang Berpotensi sebagai Penyandang ADHD.