Daftar isi
Anafilaksis merupakan sebuah kondisi reaksi alergi yang mengancam jiwa penderitanya [1,3,4,7,8,9,10].
Kondisi ini memiliki tingkat keparahan yang tinggi saat seseorang terpapar alergen, seperti gigitan serangga atau makanan seperti kacang.
Anafilaksis adalah sebuah kondisi di mana sistem imun akan melepaskan sejumlah zat dan menyebabkan tubuh penderita alergi mengalami syok.
Hal ini akan ditandai dengan saluran pernafasan yang tiba-tiba menyempit, tekanan darah yang menurun drastis, dan sesak nafas.
Tinjauan Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang sangat serius di mana hal ini terjadi umumnya usai seseorang terpapar alergen berupa makanan atau gigitan/sengatan serangga.
Antibodi di dalam tubuh manusia diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan berbagai zat atau senyawa asing yang masuk dan mengancam tubuh.
Antibodi berfungsi utama sebagai pembasmi virus atau bakteri pada umumnya, namun di dalam tubuh beberapa orang sistem imun dapat bereaksi berlebihan [3,5].
Karena reaksi berlebihan tersebut, antibodi justru melawan zat-zat asing yang sebenarnya bahkan tak berbahaya bagi tubuh.
Reaksi alergi yang tergolong ringan tidak akan mengancam jiwa penderitanya walaupun tak dapat disembuhkan secara total.
Namun pada kasus anafilaksis, reaksi alergi sudah sangat parah sehingga mampu membahayakan kesehatan penderita.
Lateks, gigitan serangga, dan efek penggunaan beberapa jenis obat (aspirin dan antibiotik) diketahui menjadi pemicu anafilaksis yang paling umum pada orang dewasa.
Sementara pada anak-anak, pemicu anafilaksis yang paling banyak dijumpai meliputi kerang, ikan, dan kacang-kacangan.
Pada beberapa kasus anafilaksis, faktor pemicunya adalah olahraga ringan seperti jogging atau sekadar berjalan kaki.
Tak seluruh kasus anafilaksis ditemukan dengan penyebab; bila penyebabnya tak diketahui sama sekali, maka hal ini disebut juga sebagai kondisi anafilaksis idiopatik.
Sejumlah faktor di bawah ini mampu menjadi peningkat risiko anafilaksis pada tubuh seseorang [1,2,3].
Tinjauan Penyebab anafilaksis pada umumnya adalah reaksi sistem imun tubuh yang terlalu berlebihan terhadap faktor atau zat yang menyebabkan alergi sehingga mampu membahayakan jiwa penderitanya.
Beberapa menit setelah seseorang terkena paparan alergen, maka gejala anafilaksis dapat langsung timbul.
Namun tak semua kasus anafilaksis secara langsung menimbulkan gejala.
Pada beberapa orang, gejala dapat terjadi sekitar setengah jam hingga berjam-jam kemudian dari sejak waktu terpapar alergen.
Berikut ini adalah gejala-gejala umum anafilaksis yang perlu dikenali dan diwaspadai [1,4] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Bila anggota keluarga atau teman dekat memiliki reaksi alergi yang tergolong sangat parah, segera bawa ke dokter agar gejalanya dapat segera ditangani.
Hindari menunggu gejala untuk mereda dengan sendirinya karena gejala anafilaksis akan jauh lebih serius daripada alergi biasa yang tergolong ringan.
Menemui dokter secara dini dapat membantu agar penderita gejala anafilaksis memperoleh pengobatan yang tepat sebelum kondisi semakin parah.
Tinjauan Beberapa menit hingga beberapa jam setelah terpapar alergen, umumnya gejala anafilaksis yang dapat dialami adalah denyut nadi lemah namun cepat, hipotensi, pusing, kulit pucat, mual, muntah, ruam, gatal, bengkak di tenggorokan dan lidah sehingga sulit bernafas, serta pingsan.
Ketika gejala timbul, maka sebaiknya segera ke dokter untuk memeriksakan diri agar dokter juga dapat segera menanganinya.
Beberapa metode diagnosa akan dilakukan oleh dokter, yaitu antara lain :
Dokter akan memeriksa fisik pasien, terutama gejala-gejala yang nampak dari kulit.
Dokter biasanya juga memberikan sejumlah pertanyaan terkait riwayat alergi pasien maupun riwayat medis keluarga pasien.
Pasien perlu memberikan informasi mengenai reaksi alergi yang dikeluarkan oleh tubuhnya apakah berhubungan dengan sengatan/gigitan serangga, obat tertentu, lateks, hingga makanan tertentu.
Dokter akan menanyakan riwayat penggunaan obat pasien untuk memastikan apakah gejala alergi berkaitan dengan obat tersebut.
Selain pemeriksaan fisik dan riwayat gejala, dokter kemungkinan menyarankan pasien untuk menempuh sejumlah tes penunjang.
Salah satu pemeriksaan lain yang mampu mendukung diagnosa dokter adalah tes darah.
Tes darah ini bertujuan utama mengukur kadar enzim tertentu (triptase) di dalam tubuh pasien.
Umumnya, maksimal 3 jam setelah terjadi anafilaksis kadar enzim tersebut dapat meningkat, maka dokter perlu memeriksa apakah terjadi kenaikan kadar.
Tes kulit kemungkinan besar diterapkan dokter untuk mengetahui kapan reaksi alergi timbul.
Dari hasil diagnosa tes kulit juga akan menunjukkan faktor apa yang mampu memicu reaksi alergi tersebut.
Tes kulit dan tes darah adalah tes penunjang yang juga mampu membantu dokter dalam mengeliminasi adanya kemungkinan penyakit lain dengan gejala yang mirip dengan anafilaksis.
Tinjauan Dalam mendiagnosa anafilaksis, beberapa metode pemeriksaan yang dokter lakukan antara lain adalah pemeriksaan fisik dan riwayat gejala, tes kulit, dan tes darah.
Pemeriksaan mendalam terhadap kondisi pasien sangat diperlukan sehingga dibutuhkan sejumlah tes penunjang usai pemeriksaan fisik dan riwayat gejala.
Hal ini bertujuan agar dokter tidak salah dalam membuat hasil diagnosa dan mampu mengeliminasi berbagai kemungkinan kondisi medis lain yang serupa dengan anafilaksis, seperti [1] :
Beberapa pengobatan berikut ini adalah yang paling umum diberikan kepada pasien anafilaksis, baik sebagai pertolongan pertama maupun sebagai pereda gejala yang dialami.
Bentuk perawatan yang pasien dapatkan antara lain adalah :
Tinjauan Pengobatan anafilaksis umumnya meliputi pemberian CPR (untuk keadaan darurat), epinephrine, oksigen, beta-agonist, antihistamin dan kortison intravena, imunoterapi, dan autoinjector (penggunaan mandiri oleh pasien).
Ketika anafilaksis tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka beberapa risiko komplikasi di bawah ini dapat mengancam jiwa penderitanya [1] :
Anafilaksis dapat dicegah dengan cara menghindari alergen yang memicu timbulnya gejala.
Beberapa langkah yang dapat diterapkan sebagai upaya pencegahan adalah [1,8,9,10] :
Tinjauan Pencegahan anafilaksis dapat dilakukan dengan menghindari alergen dan berkonsultasi dengan dokter segera setelah timbulnya efek samping dari penggunaan obat tertentu.
1. Kevin McLendon & Britni T. Sternard. Anaphylaxis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
2. Wistiani & Harsoyo Notoatmojo. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada Anak. Sari Pediatri; 2011.
3. Teodorikez Wilfox Jimenez-Rodriguez, Marlene Garcia-Neuer, Leila A Alenazy, & Mariana Castells. Anaphylaxis in the 21st century: phenotypes, endotypes, and biomarkers. Journal of Asthma and Allergy; 2018.
4. Rui Tang, Han-Yi Xu, Ju Cao, Shi Chen, Jin-Lu Sun, Hong Hu, Hai-Chao Li, Ying Diao, & Zhi Li. Clinical Characteristics of Inpatients with Anaphylaxis in China. BioMed Research International; 2015.
5. Katheryn Birch & Anthony L. Pearson-Shaver. Allergy Testing. National Center for Biotechnology Information; 2020.
6. Constantinos Pitsios, Anastasia Dimitriou, Efthalia C Stefanaki, & Kalliopi Kontou-Fili. Anaphylaxis during skin testing with food allergens in children. European Journal of Pediatrics; 2010.
7. Jennifer Tupper, MD CCFP(EM) & Shaun Visser, MD CCFP(EM). Anaphylaxis - A review and update. Canadian Family Physician; 2010.
8. Scott P Commins, MD, PhD. Outpatient Emergencies: Anaphylaxis. HHS Public Access; 2018.
9. Laurent L. Reber, PhD, Joseph D. Hernandez, MD, PhD, & Stephen J. Galli, MD. The pathophysiology of anaphylaxis. HHS Public Access; 2018.
10. Johannes Ring, Tilo Biedermann, Andreas Bircher, Dorothea Duda, Jörg Fischer, Frank Friedrichs, Thomas Fuchs, Uwe Gieler, Thilo Jakob, Ludger Klimek, Lars Lange, Hans F. Merk, Bodo Niggemann, Oliver Pfaar, Bernhard Przybilla, Franziska Ruëff, Ernst Rietschel, Sabine Schnadt, Roland Seifert, Helmut Sitter, Eva-Maria Varga, Margitta Worm, & Knut Brockow. Guideline for acute therapy and management of anaphylaxis. Allergo Journal International; 2014.