Penyakit & Kelainan

Anafilaksis : Penyebab – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Anafilaksis?

Anafilaksis ( img : Healthline )

Anafilaksis merupakan sebuah kondisi reaksi alergi yang mengancam jiwa penderitanya [1,3,4,7,8,9,10].

Kondisi ini memiliki tingkat keparahan yang tinggi saat seseorang terpapar alergen, seperti gigitan serangga atau makanan seperti kacang.

Anafilaksis adalah sebuah kondisi di mana sistem imun akan melepaskan sejumlah zat dan menyebabkan tubuh penderita alergi mengalami syok.

Hal ini akan ditandai dengan saluran pernafasan yang tiba-tiba menyempit, tekanan darah yang menurun drastis, dan sesak nafas.

Tinjauan
Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang sangat serius di mana hal ini terjadi umumnya usai seseorang terpapar alergen berupa makanan atau gigitan/sengatan serangga.

Fakta Tentang Anafilaksis

  1. Prevalensi anafilaksis seumur hidup pada populasi global adalah 1-3% yang diketahui terus mengalami peningkatan [1].
  2. Anafilaksis kerap tidak terdiagnosa atau justru kondisi ini didiagnosa secara salah karena kemiripan gejalanya dengan beberapa kondisi medis lain [1].
  3. Kesalahan diagnosa atau tidak terdiagnosanya anafilaksis sama sekali dapat berakibat pada semakin tingginya risiko kematian penderita [1].
  4. Prevalensi anafilaksis lebih tinggi di negara-negara berkembang dan berpotensi lebih besar dialami oleh populasi berusia muda, khususnya 0-19 tahun [1].
  5. Di Indonesia walau belum terdapat data spesifik mengenai prevalensi anafilaksis, diketahui bahwa rata-rata kasus alergi terjadi karena faktor makanan menurut penelitian di berbagai golongan masyarakat dan rumah sakit [2].

Penyebab Anafilaksis

Antibodi di dalam tubuh manusia diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan berbagai zat atau senyawa asing yang masuk dan mengancam tubuh.

Antibodi berfungsi utama sebagai pembasmi virus atau bakteri pada umumnya, namun di dalam tubuh beberapa orang sistem imun dapat bereaksi berlebihan [3,5].

Karena reaksi berlebihan tersebut, antibodi justru melawan zat-zat asing yang sebenarnya bahkan tak berbahaya bagi tubuh.

Reaksi alergi yang tergolong ringan tidak akan mengancam jiwa penderitanya walaupun tak dapat disembuhkan secara total.

Namun pada kasus anafilaksis, reaksi alergi sudah sangat parah sehingga mampu membahayakan kesehatan penderita.

Lateks, gigitan serangga, dan efek penggunaan beberapa jenis obat (aspirin dan antibiotik) diketahui menjadi pemicu anafilaksis yang paling umum pada orang dewasa.

Sementara pada anak-anak, pemicu anafilaksis yang paling banyak dijumpai meliputi kerang, ikan, dan kacang-kacangan.

Pada beberapa kasus anafilaksis, faktor pemicunya adalah olahraga ringan seperti jogging atau sekadar berjalan kaki.

Tak seluruh kasus anafilaksis ditemukan dengan penyebab; bila penyebabnya tak diketahui sama sekali, maka hal ini disebut juga sebagai kondisi anafilaksis idiopatik.

Faktor Risiko Anafilaksis

Sejumlah faktor di bawah ini mampu menjadi peningkat risiko anafilaksis pada tubuh seseorang [1,2,3].

Tinjauan
Penyebab anafilaksis pada umumnya adalah reaksi sistem imun tubuh yang terlalu berlebihan terhadap faktor atau zat yang menyebabkan alergi sehingga mampu membahayakan jiwa penderitanya.

Gejala Anafilaksis

Beberapa menit setelah seseorang terkena paparan alergen, maka gejala anafilaksis dapat langsung timbul.

Namun tak semua kasus anafilaksis secara langsung menimbulkan gejala.

Pada beberapa orang, gejala dapat terjadi sekitar setengah jam hingga berjam-jam kemudian dari sejak waktu terpapar alergen.

Berikut ini adalah gejala-gejala umum anafilaksis yang perlu dikenali dan diwaspadai [1,4] :

  • Denyut nadi yang cepat namun lemah.
  • Hipotensi atau tekanan darah menurun drastis.
  • Pusing
  • Kulit memucat.
  • Mual disertai muntah.
  • Ruam dan gatal pada kulit.
  • Pembengkakan pada tenggorokan dan lidah sehingga saluran nafas terhambat dan menyebabkan sesak nafas.
  • Kehilangan kesadaran atau pingsan.

Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?

Bila anggota keluarga atau teman dekat memiliki reaksi alergi yang tergolong sangat parah, segera bawa ke dokter agar gejalanya dapat segera ditangani.

Hindari menunggu gejala untuk mereda dengan sendirinya karena gejala anafilaksis akan jauh lebih serius daripada alergi biasa yang tergolong ringan.

Menemui dokter secara dini dapat membantu agar penderita gejala anafilaksis memperoleh pengobatan yang tepat sebelum kondisi semakin parah.

Tinjauan
Beberapa menit hingga beberapa jam setelah terpapar alergen, umumnya gejala anafilaksis yang dapat dialami adalah denyut nadi lemah namun cepat, hipotensi, pusing, kulit pucat, mual, muntah, ruam, gatal, bengkak di tenggorokan dan lidah sehingga sulit bernafas, serta pingsan.

Pemeriksaan Anafilaksis

Ketika gejala timbul, maka sebaiknya segera ke dokter untuk memeriksakan diri agar dokter juga dapat segera menanganinya.

Beberapa metode diagnosa akan dilakukan oleh dokter, yaitu antara lain :

  • Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Gejala [1,7]

Dokter akan memeriksa fisik pasien, terutama gejala-gejala yang nampak dari kulit.

Dokter biasanya juga memberikan sejumlah pertanyaan terkait riwayat alergi pasien maupun riwayat medis keluarga pasien.

Pasien perlu memberikan informasi mengenai reaksi alergi yang dikeluarkan oleh tubuhnya apakah berhubungan dengan sengatan/gigitan serangga, obat tertentu, lateks, hingga makanan tertentu.

Dokter akan menanyakan riwayat penggunaan obat pasien untuk memastikan apakah gejala alergi berkaitan dengan obat tersebut.

Selain pemeriksaan fisik dan riwayat gejala, dokter kemungkinan menyarankan pasien untuk menempuh sejumlah tes penunjang.

Salah satu pemeriksaan lain yang mampu mendukung diagnosa dokter adalah tes darah.

Tes darah ini bertujuan utama mengukur kadar enzim tertentu (triptase) di dalam tubuh pasien.

Umumnya, maksimal 3 jam setelah terjadi anafilaksis kadar enzim tersebut dapat meningkat, maka dokter perlu memeriksa apakah terjadi kenaikan kadar.

Tes kulit kemungkinan besar diterapkan dokter untuk mengetahui kapan reaksi alergi timbul.

Dari hasil diagnosa tes kulit juga akan menunjukkan faktor apa yang mampu memicu reaksi alergi tersebut.

Tes kulit dan tes darah adalah tes penunjang yang juga mampu membantu dokter dalam mengeliminasi adanya kemungkinan penyakit lain dengan gejala yang mirip dengan anafilaksis.

Tinjauan
Dalam mendiagnosa anafilaksis, beberapa metode pemeriksaan yang dokter lakukan antara lain adalah pemeriksaan fisik dan riwayat gejala, tes kulit, dan tes darah.

Kondisi Medis Lain Serupa dengan Gejala Anafilaksis

Pemeriksaan mendalam terhadap kondisi pasien sangat diperlukan sehingga dibutuhkan sejumlah tes penunjang usai pemeriksaan fisik dan riwayat gejala.

Hal ini bertujuan agar dokter tidak salah dalam membuat hasil diagnosa dan mampu mengeliminasi berbagai kemungkinan kondisi medis lain yang serupa dengan anafilaksis, seperti [1] :

  • Asma : Penyakit kronis ini menyerang saluran pernafasan yang ditandai dengan sesak nafas serta mengi. Pada kondisi anafilaksis, penderitanya dapat mengalami gejala berupa sesak nafas sehingga perlu diperiksa untuk menemukan perbedaannya dari asma.
  • Gastroenteritis : Kondisi flu perut ini ditandai dengan muntah serta diare di mana pada kondisi anafilaksis pun penderita dapat mengalami muntah serta mual.
  • Ansietas/Kecemasan : Ansietas atau gangguan kecemasan dapat ditandai dengan sesak nafas, mual, muntah, kulit pucat, hingga gangguan pencernaan yang cukup mirip dengan kondisi anafilaksis sehingga perlu dipastikan melalui pemeriksaan mendetail.
  • Benda Asing pada Esofagus : Benda asing yang masuk di esofagus atau tenggorokan dapat juga menjadi hambatan saluran nafas yang berakibat pada proses pernafasan yang terganggu mirip dengan kondisi anafilaksis.
  • Aritmia : Irama jantung tidak teratur (terlalu lambat, terlalu cepat, maupun keduanya) dapat menjadi salah satu kondisi yang dibandingkan dengan gejala anafilaksis oleh dokter.
  • Angioedema :  Penyakit ini ditandai utamanya dengan lapisan dalam kulit (khususnya bagian bibir dan wajah) yang membengkak; walau tidak berbahaya, gejalanya sepintas memiliki kemiripan dengan anafilaksis.
  • Disfungsi Pita Suara : Kondisi ini terjadi ketika pita suara menutup ketika proses pernafasan sedang terjadi di mana penderita tak mampu mengendalikannya. Penderita akan mengalami suara serak dan sesak nafas sebagai tanda utamanya.
  • Mastositosis : Kondisi ini merupakan menumpuknya sel mast, yaitu golongan sel darah putih di bagian jaringan tubuh dan umumnya menumpuk pada kulit.
  • Epiglotitis : Radang pada epiglotis (katup pencegah makanan/minuman masuk ke saluran udara) dapat menyebabkan sulit bernafas pada penderitanya ditambah suara yang berubah serak, sakit di tenggorokan dan mengi.

Pengobatan Anafilaksis

Beberapa pengobatan berikut ini adalah yang paling umum diberikan kepada pasien anafilaksis, baik sebagai pertolongan pertama maupun sebagai pereda gejala yang dialami.

Bentuk perawatan yang pasien dapatkan antara lain adalah :

  • CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) : Bila penderita mengalami henti nafas atau henti jantung, maka CPR adalah bentuk penanganan medis untuk pertolongan pertama [8].
  • Oksigen : Pemberian oksigen juga membantu agar penderita dapat bernafas dengan lebih lancar dan baik [9,10].
  • Epinephrine : Obat ini diberikan kepada penderita untuk mengurangi gejala yang timbul karena reaksi alergi yang berlebihan [1,3,4,7,8,9,10].
  • Beta Agonist : Albuterol adalah contoh jenis obat yang umumnya diresepkan dan tujuan obat ini adalah untuk meredakan masalah pernafasan pada penderita [1,8].
  • Antihistamin dan Kortison Intravena : Dokter kemungkinan dapat memberikan kedua obat ini melalui intravena atau melalui injeksi. Obat ini bermanfaat untuk meningkatkan fungsi pernafasan yang mengalami masalah karena reaksi alergi [1,3,4,5,7,8,9,10].
  • Autoinjector : Autoinjector atau perangkat jarum tersembunyi dan jarum suntik berisikan sedosis obat ini dapat dibawa-bawa oleh penderita untuk menyuntikkan sendiri epinephrine setiap gejala anafilaksis timbul. Namun tak hanya penderita saja yang perlu tahu cara memakainya, pastikan bahwa orang terdekat pun mengetahui cara penggunaannya agar mampu membantu saat penderita tak mampu mengatasi gejala sendiri [1,8,10].
  • Imunoterapi : Imunoterapi dengan beberapa suntikan alergi biasanya sangat menolong dalam meredakan gejala anafilaksis, khususnya gejala yang timbul pasca terkena sengatan/gigitan serangga [1,3,9,10].
  • Menghindari Alergen : Bagaimanapun cara terbaik untuk mengatasi anafilaksis dan tidak memperburuk gejalanya adalah dengan menghindari berbagai macam faktor yang berpotensi menjadi alergen [1,9].
Tinjauan
Pengobatan anafilaksis umumnya meliputi pemberian CPR (untuk keadaan darurat), epinephrine, oksigen, beta-agonist, antihistamin dan kortison intravena, imunoterapi, dan autoinjector (penggunaan mandiri oleh pasien).

Komplikasi Anafilaksis

Ketika anafilaksis tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka beberapa risiko komplikasi di bawah ini dapat mengancam jiwa penderitanya [1] :

  • Hipoksemia
  • Gangguan detak jantung
  • Kematian

Pencegahan Anafilaksis

Anafilaksis dapat dicegah dengan cara menghindari alergen yang memicu timbulnya gejala.

Beberapa langkah yang dapat diterapkan sebagai upaya pencegahan adalah [1,8,9,10] :

  • Menghindari makanan-makanan yang kiranya mampu memicu reaksi alergi.
  • Membaca setiap label kemasan makanan dengan baik untuk mengetahui apa saja kandungan atau komponen makanan tersebut sebelum membeli dan mengonsumsinya.
  • Saat harus makan di luar, ketahui bahan apa saja yang digunakan dan terkandung pada makanan tersebut.
  • Mengenakan celana dan baju berlengan panjang saat berada di luar rumah untuk menghindari gigitan serangga.
  • Menghindari berjalan tanpa alas kaki, terutama saat berada di luar rumah.
  • Menghindari penggunaan lotion atau parfum yang memiliki aroma yang cukup menyengat.
  • Membawa obat resep dokter ke manapun, terutama epinephrine autoinjector.
  • Segera memberi tahu dokter apa saja bentuk reaksi tubuh terhadap jenis obat tertentu yang tengah digunakan. Beri tahu dokter segera mengenai efek samping dari obat yang sedang atau setelah dikonsumsi.
Tinjauan
Pencegahan anafilaksis dapat dilakukan dengan menghindari alergen dan berkonsultasi dengan dokter segera setelah timbulnya efek samping dari penggunaan obat tertentu.

1. Kevin McLendon & Britni T. Sternard. Anaphylaxis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
2. Wistiani & Harsoyo Notoatmojo. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada Anak. Sari Pediatri; 2011.
3. Teodorikez Wilfox Jimenez-Rodriguez, Marlene Garcia-Neuer, Leila A Alenazy, & Mariana Castells. Anaphylaxis in the 21st century: phenotypes, endotypes, and biomarkers. Journal of Asthma and Allergy; 2018.
4. Rui Tang, Han-Yi Xu, Ju Cao, Shi Chen, Jin-Lu Sun, Hong Hu, Hai-Chao Li, Ying Diao, & Zhi Li. Clinical Characteristics of Inpatients with Anaphylaxis in China. BioMed Research International; 2015.
5. Katheryn Birch & Anthony L. Pearson-Shaver. Allergy Testing. National Center for Biotechnology Information; 2020.
6. Constantinos Pitsios, Anastasia Dimitriou, Efthalia C Stefanaki, & Kalliopi Kontou-Fili. Anaphylaxis during skin testing with food allergens in children. European Journal of Pediatrics; 2010.
7. Jennifer Tupper, MD CCFP(EM) & Shaun Visser, MD CCFP(EM). Anaphylaxis - A review and update. Canadian Family Physician; 2010.
8. Scott P Commins, MD, PhD. Outpatient Emergencies: Anaphylaxis. HHS Public Access; 2018.
9. Laurent L. Reber, PhD, Joseph D. Hernandez, MD, PhD, & Stephen J. Galli, MD. The pathophysiology of anaphylaxis. HHS Public Access; 2018.
10. Johannes Ring, Tilo Biedermann, Andreas Bircher, Dorothea Duda, Jörg Fischer, Frank Friedrichs, Thomas Fuchs, Uwe Gieler, Thilo Jakob, Ludger Klimek, Lars Lange, Hans F. Merk, Bodo Niggemann, Oliver Pfaar, Bernhard Przybilla, Franziska Ruëff, Ernst Rietschel, Sabine Schnadt, Roland Seifert, Helmut Sitter, Eva-Maria Varga, Margitta Worm, & Knut Brockow. Guideline for acute therapy and management of anaphylaxis. Allergo Journal International; 2014.

Share