Daftar isi
Anthropophobia atau anthrophobia merupakan sebuah kondisi ketakutan berlebih terhadap orang lain [1,2,3,14].
Ketakutan dan kecemasan tak hanya timbul ketika penderita bertemu dengan orang asing, tapi juga terhadap teman dekat maupun anggota keluarga dekat.
Anthrophobia sendiri berasal dari dua kata, yaitu anthro yang berarti orang-orang dan phobia yang berarti takut.
Anthropophobia tergolong sebagai jenis phobia spesifik namun berbeda dari gangguan kecemasan sosial atau fobia sosial karena anthropophobia merupakan sub-tipe dari fobia sosial [3].
Tinjauan Anthropophobia adalah ketakutan berlebih terhadap orang lain yang walaupun tampak mirip dengan kondisi gangguan kecemasan sosial, keduanya adalah hal berbeda.
Gangguan kecemasan sosial atau phobia sosial merupakan gangguan mental di mana seseorang memiliki rasa cemas atau takut secara berlebih untuk berinteraksi dengan orang lain [5].
Kondisi ini ditandai dengan timbulnya rasa takut bahwa orang lain akan mempermalukan, menghakimi, atau mengawasinya.
Fobia sosial dapat dialami siapa saja, namun lebih berpotensi terjadi pada usia remaja hingga dewasa muda.
Fobia sosial adalah kondisi yang berbeda dari anthropophobia namun masih berkaitan satu sama lain.
Gangguan kecemasan sosial atau fobia sosial menimbulkan rasa cemas pada seseorang saat berada dalam situasi sosial yang mengharuskannya berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain.
Kencan atau pesta adalah acara-acara yang dapat menimbulkan kecemasan di dalam diri penderita fobia sosial, bahkan sekedar berinteraksi dengan penjaga toko pun akan membuat penderita takut.
Seseorang dengan kecemasan sosial takut ditolak dan dihakimi oleh orang lain sehingga kerap menghindari situasi sosial, sementara anthropophobia dapat menjadi bagian dari gejala fobia sosial dengan tanda-tanda yang sedikit berbeda dari fobia sosial.
Contoh kasus di mana seseorang mengalami kecemasan sosial atau fobia sosial adalah ketika seseorang memutuskan untuk tidak datang ke suatu acara pesta karena takut dipermalukan.
Hal ini lebih masuk ke dalam diagnosa fobia sosial daripada anthropophobia [3,4].
Avoidant personality disorder adalah sebuah kondisi di mana seseorang akan menghindari kegiatan-kegiatan yang mengharuskannya berinteraksi dengan orang lain karena merasa akan ditolak, dicela, dan dikritik oleh orang lain [7].
Rata-rata penderita APD ini hanya merasa ingin berinteraksi dengan orang lain apabila mereka disukai sehingga hubungan sosial dengan orang lain biasanya terjalin dengan kaku.
Biasanya penderita juga akan mengalami rasa cemas berlebih yang merasa rendah diri dan memiliki keraguan dalam memulai kegiatan baru ataupun mengambil risiko.
Kondisi ini berbeda dari anthropophobia namun anthropophobia dapat menjadi bagian dari diagnosa APD.
Contohnya adalah ketika seseorang memiliki kecemasan terhadap penolakan orang lain secara ekstrem dan persisten sehingga memilih untuk mengisolasi diri, maka hal ini bukanlah anthropophobia.
Kondisi seperti ini justru termasuk di dalam golongan diagnosa ganggaun kepribadian menghindar (avoidant personality disorder) karena mereka tidak sepenuhnya takut terhadap orang lain.
Anthropophobia dan agoraphobia juga merupakan dua kondisi yang berbeda karena agoraphobia adalah sebuah kondisi ketika seseorang tidak secara spesifik takut terhadap orang-orang secara umum [6].
Seseorang dengan kondisi agoraphobia cenderung memilih berada di rumah karena takut mengalami kepanikan di tempat umum, khususnya jika di tempat itu terdapat kerumunan orang.
Rasa tak nyaman timbul pada penderita agoraphobia setiap berada di tempat umum karena takut dipermalukan di mana hal ini berbeda dari kondisi anthropophobia.
Anthropophobia walau sepintas memiliki kemiripan dengan kondisi gangguan stres pasca trauma, keduanya pun sebenarnya berbeda.
Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan mental yang dialami seseorang tepat setelah dirinya mengalami pengalaman traumatis atau menjadi saksi dari sebuah kejadian tak menyenangkan [8].
Anthropophobia dapat menjadi salah satu gejala gangguan stres pasca trauma, karena seseorang dapat merasa takut terhadap orang-orang pada situasi tertentu.
Hanya saja, pada kondisi gangguan stres pasca trauma, penderita utamanya akan menghindari aktivitas, tempat, situasi, dan orang-orang yang berhubungan dengan kejadian traumatis tersebut.
Seperti misalnya, seseorang yang pernah mengalami penganiayaan, maka ia akan berusaha menghindari tempat ia dianiaya dan juga orang yang telah melakukan itu padanya.
Gangguan delusi adalah gangguan mental yang tergolong sangat serius dan disebut juga dengan istilah psikosis [9].
Dalam kondisi ini, imajinasi, emosi dan pemikiran penderita tidak seimbang dan selaras dengan realita.
Penderita gangguan delusi biasanya memiliki pengalaman yang jauh berbeda dari kenyataan yang seharusnya.
Ketika seseorang menghindari orang lain karena merasa yakin bahwa orang tersebut akan mencelakainya padahal belum tentu demikian, maka rasa takut ini tergolong sebagai gangguan delusi.
Anthropophobia adalah ketakutan terhadap orang-orang pada umumnya di mana jika seseorang menghindari orang tertentu karena takut dicelakai, hal ini kemungkinan merupakan sebuah delusi.
Penyebab pasti anthropophobia belum diketahui jelas, namun pengalaman traumatis dan riwayat kesehatan mental dapat menjadi faktor yang memicu phobia spesifik.
Berikut ini adalah sejumlah faktor yang mampu meningkatkan risiko anthropophobia [10,11] :
Tinjauan Pengalaman traumatis, faktor genetik, faktor lingkungan, perubahan atau kelainan otak, hingga perilaku yang dipelajari pada masa kecil dapat menjadi pemicu fobia spesifik seperti anthropophobia.
Anthropophobia bukanlah kondisi klinis yang dapat terlihat dari gejala fisiknya.
Penderita tidak mengalami gejala klinis secara spesifik, namun menurut klasifikas DSM-5, seseorang positif mengalami phobia tertentu apabila memenuhi kriteria seperti berikut [12] :
Anthropophobia dapat menjadi bagian dari diagnosa klinis, seperti kondisi gangguan delusi, gangguan kecemasan sosial dan PTSD (post-traumatic stress disorder atau gangguan stres pasca trauma).
Anthropophobia dapat dianggap mirip dengan sejumlah kondisi gangguan mental lainnya, namun jika ditelaah dengan jeli maka sebenarnya berbeda.
Selain beberapa kriteria DSM-5, beberapa gejala fisik yang kemungkinan terjadi pada penderita anthropophobia saat dihadapkan dengan hal yang membuatnya takut adalah [14] :
Dari mencari tahu secara mandiri akan berbagai gejala anthropophobia, kemungkinan seseorang dapat mendiagnosa dirinya sendiri tengah mengalami anthropophobia.
Hanya saja untuk benar-benar dapat menangani anthropophobia, diperlukan diagnosa oleh profesional medis agar diagnosa akurat.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya mengenai kriteria DSM-5, pasien dengan gejala anthropophobia perlu memenuhi kriteria tersebut untuk dapat dikatakan menderita anthropophobia.
Oleh sebab itu, pemeriksaan yang paling penting untuk diterapkan antara lain adalah [13] :
Bila pun terdapat metode pemeriksaan mandiri secara online atau melalui survei, hasil diagnosa secara online ini tidak dapat disamakan atau bahkan dianggap sebagai hasil diagnosa resmi dari profesional medis.
Evaluasi yang didapat secara online atau mandiri ini bukan dari profesional medis yang terpercaya.
Maka dari itu, penting untuk segera ke dokter khususnya ahli kesehatan jiwa dan mental untuk pemeriksaan yang sesungguhnya dan mendapat penanganan psikologis segera.
Tinjauan Pemeriksaan fisik oleh dokter akan dilakukan untuk mengidentifikasi adanya gangguan kesehatan fisik sebelum pasien kemudian dirujukkan ke ahli kesehatan jiwa dan mental. Setelah itu, evaluasi psikologis melalui pertanyaan seputar riwayat gejala, pengamatan dan observasi terhadap perilaku serta kebiasaan pasien akan dilakukan.
Penanganan untuk pasien anthropophobia seperti pada kasus fobia lainnya, yaitu melalui psikoterapi dan juga pemberian obat-obatan bila memang perlu.
Beberapa penanganan yang dimaksud antara lain adalah :
Melalui terapi ini, terapis akan membimbing dan membantu pasien dalam mengidentifikasi penyebab rasa takut dan juga rasa takut serta kecemasan itu sendiri [1,2,4,14].
Setelah teridentifikasi, terapis akan membantu memperbaiki pemikiran pasien.
Terapis bertugas mengubah pemikiran negatif pasien dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional.
Melalui terapi perilaku kognitif, pasien tak hanya menjadi lebih baik pada pikirannya, tapi juga perilaku yang sebelumnya lebih banyak menghindari orang lain.
Terapi eksposur adalah metode terapi di mana pasien akan dibantu oleh terapis profesional dalam mengekspos pasien langsung ke obyek atau faktor yang membuatnya takut [15].
Terapi ini akan terus diterapkan oleh pasien sampai reaksi takut dan cemas berlebih yang dirasakan pasien benar-benar hilang.
Latihan relaksasi adalah metode lainnya dalam menangani anthropophobia [1].
Sebagai bentuk fobia spesifik, metode relaksasi diyakini sebagai cara meredakan rasa cemas yang menghantui.
Metode relaksasi yang dimaksud di sini meliputi latihan fisik atau olahraga, hipnosis, dan latihan pernapasan.
Metode relaksasi tak hanya baik dan bermanfaat untuk reaksi emosional pasien, tapi juga baik untuk kondisi fisik.
Untuk gangguan kecemasan yang dialami oleh penderita fobia, pemberian obat-obatan tetap akan dilakukan oleh dokter.
Beta blockers dan obat anti cemas maupun antidepresan akan diresepkan agar penderita jauh lebih tenang, terutama saat harus berhadapan dengan publik [16].
Ada kemungkinan dokter akan mengombinasikan psikoterapi dengan obat-obatan jika memang kondisi pasien membutuhkannya.
Obat-obatan yang diresepkan oleh dokter tidak selalu dapat dianggap aman untuk seluruh pasien anthropophobia.
Oleh sebab itu, konsultasikan mengenai dosis penggunaan sekaligus efek samping yang dapat terjadi di kemudian hari.
Terapi medis dan psikologis juga perlu diimbangi dengan perubahan gaya hidup yang baik dan lebih positif.
Gaya hidup yang sehat mampu memulihkan pasien dengan kondisi gangguan mental.
Banyak minum air putih (memenuhi kebutuhan cairan sehingga tak terjadi dehidrasi) sangat dianjurkan agar tidak memicu suasana hati buruk
Tidur cukup setiap hari, membatasi asupan kafein yang mampu meningkatkan rasa cemas, berolahraga rutin tapi tak berlebihan, serta bersosialisasi dengan orang lain pun sangat membantu.
Tinjauan Psikoterapi berupa terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur adalah metode pengobatan yang perlu pasien tempuh. Selain itu, teknik relaksasi, obat-obatan serta perubahan gaya hidup lebih sehat juga akan membantu pemulihan pasien.
Penderita anthropophobia yang tak segera ditangani gejala-gejalanya dapat meningkatkan risiko depresi di dalam dirinya.
Depresi yang semakin berat dapat berujung pada timbulnya keinginan bunuh diri sekaligus percobaan untuk bunuh diri [14].
Karena tak diketahui faktor penyebab anthropophobia, tak diketahui bagaimana cara mencegah yang tepat.
Hanya saja, mengatasi gangguan kesehatan mental maupun fisik yang sudah diderita lebih dulu dapat meminimalisir kemungkinan berkembangnya anthropophobia maupun jenis fobia spesifik lainnya.
Untuk mencegah komplikasi, gejala yang berhubungan dengan anthropophobia sebaiknya segera ditangani.
Tinjauan Deteksi dan penanganan anthropophobia dini akan membantu penderita untuk terhindar dari komplikasi (kondisi gangguan mental yang lebih berat).
1. A Y Zhang 1, L C Yu, J Zhang, D Tang, & J G Draguns. Anthropophobia: its meaning and concomitant experiences. The International Journal of Social Psychiatry; 2001.
2. Dean Schuyler, M.D. Fear in the Presence of Others. The Primary Care Companion to the Journal of Clinical Psychiatry; 2001.
3. A Y Zhang, L C Yu, J G Draguns, & J Zhang, D Tang. Sociocultural contexts of anthropophobia: a sample of Chinese youth. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology; 2000.
4. N. Vriends, M. C. Pfaltz, P. Novianti, & J. Hadiyono. Taijin Kyofusho and Social Anxiety and Their Clinical Relevance in Indonesia and Switzerland. Frontiers in Psychology; 2013.
5. Gregory M. Rose & Prasanna Tadi. Social Anxiety Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2020.
6. Kripa Balaram & Raman Marwaha. Agoraphobia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
7. Kamron Fariba & Amit Sapra. Avoidant Personality Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Sukhmanjeet Kaur Mann & Raman Marwaha. Posttraumatic Stress Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2020.
9. Shawn M. Joseph & Waquar Siddiqui. Delusional Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2020.
10. Steven Taylor, Dana Thordarson, Kerry L Jang, & Gordon J.G Asmundson. Genetic and environmental origins of health anxiety: a twin study. World Psychiatry; 2006.
11. Polaris Gonzalez, BA & Karen G. Martinez, MD, MSc. The role of stress and fear on the development of psychopathology. HHS Public Access; 2015.
12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th edition. Washington DC; 2013.
13. Thierry Steimer, PhD. The biology of fear- and anxiety-related behaviors. Dialogues in Clinical Neuroscience; 2002.
14. Jacob Olesen. Fear of People Phobia – Anthropophobia. Fear Of; 2020.
15. Dubord G. Part 12 - Systematic desensitization. Can Fam Physician; 2011.
16. Ryoji Nishimura, MD, Tatsuya Hosoba, PhD, Masaaki Ide, PhD, & Hidetoshi Seiwa, PhD. The in¯uence of obsessive-compulsive neurosis patients' premorbid personality on obsessive-compulsive symptoms and efficacy of medication. Psychiatry and Clinical Neurosciences; 1998.