Sindrom adaptasi umum atau general adaptation syndrome adalah istilah untuk bagian dari mekanisme tubuh yang bekerja saat mendapatkan tekanan atau stres terus-menerus [1,2,3].
Sindrom ini berkaitan dengan stres, yakni sebuah proses tubuh berubah secara fisiologis yang terbagi menjadi beberapa tahap, terutama saat memperoleh tekanan yang bersifat intens [1,2,3].
Hans Selye adalah seorang tokoh dibalik sindrom adaptasi umum; ia merupakan seorang dokter sekaligus peneliti pencetus teori ini [1,2,3].
Hans Selye melakukan eksperimen terhadap tikus laboratorium serta pengamatan terhadap perubahan fisiologis pada tikus tersebut, terutama dengan memaparkan pemicu stres kepada si tikus [1,2,3].
Setelahnya, kita mengenal istilah sindrom adaptasi umum dengan tiga tahapnya sebagai berikut dan penyebab hingga cara mengatasinya.
Daftar isi
Tahap sindrom adaptasi umum ada tiga menurut deskripsi Hans Selye sejak tahun 1950-an, yaitu [1,2,3]:
Tahap reaksi alarm ini adalah tahap pertama dalam sindrom adaptasi umum di mana sistem saraf simpatetiknya teraktivasi oleh pelepasan hormon yang tiba-tiba [1,2,3].
Biasanya, kondisi aktifnya sistem saraf simpatetik lebih kepada adanya fight-or-flight response [1,2,3].
Perlu diketahui pula bahwa di dalam tubuh manusia, pengaturan fungsi berbagai organ tubuh seperti sistem kemih, bagian perut/pencernaan, otot dan jantung bergantung pada sistem saraf simpatetik yang juga masih menjadi bagian dari sistem saraf otonom [1,2,3].
Teraktivasinya sistem saraf simpatetik, ini kemudian menstimulasi kelenjar adrenal yang kemudian merangsang pelepasan hormon tertentu [1,2,3].
Hormon yang terlepas di dalam tubuh biasanya adalah noradrenaline dan adrenaline yang kemudian memicu timbulnya gejala-gejala fisik yang perlu diwaspadai [1,2,3].
Membesarnya pupil mata, napas cepat dan pendek-pendek, detak jantung lebih cepat, tubuh gemetar, dan kulit pucat adalah gejala-gejala yang dimaksud [4].
Umumnya, seseorang pada tahap alarm bisa mengalami tangan gemetaran dan rasa sensasi adanya kupu-kupu setiap hendak menghadapi acara penting dan semacamnya [4].
Gejala-gejala tersebut sebagian besar akan menghilang dengan sendirinya atau justru berlanjut ke tahap berikutnya hingga pada tahap akhir menurut penelitian Selye [3].
Tahap kedua pada sindrom adaptasi umum adalah tahap resistance, yakni ketika tubuh hendak memperbaiki diri menyusul kejutan stres pada tahap awal setelah pelepasan hormon [1,2,3].
Bila situasi stres tidak lagi buruk dan tidak lagi ada, biasanya manusia akan dengan mudah menghadapinya [1,2,3].
Tekanan darah maupun detak jantung akan kembali normal pada tahap pre-stres [3].
Meski demikian, situasi stres berkemungkinan untuk terus berlanjut dalam waktu lama [1,2,3].
Bila stres pada tahap pertama sindrom adaptasi umum tidak berhenti, tubuh belum akan dapat berfungsi normal lagi [1,2,3].
Artinya, hormon stres pun di dalam tubuh terus terproduksi dan pelepasan hormon yang terlalu banyak bisa memicu berbagai masalah kesehatan [1,2,3].
Pada tahap ini, seseorang akan kesulitan untuk fokus walau acara yang harus dihadapi atau dihadiri sudah selesai [3].
Sakit kepala, kesedihan yang tiba-tiba, sulit tidur, gangguan pencernaan, daya konsentrasi yang turun dan buruk, mudah marah, frustrasi, mudah tersinggung, hingga gangguan reproduksi adalah akibatnya [1,2,3].
Pada beberapa kasus, level stres tinggi bisa mengganggu imun atau sistem daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terserang penyakit [3].
Sistem pencernaan dan kardiovaskuler (sistem jantung) dapat ikut terpengaruh bila stres berkelanjutan [3].
Saat tahap kedua ini menunjukkan adanya stres yang berlanjut dan kadarnya makin tinggi, timbul tahap ketiga, yakni exhaustion [1,2,3].
Stress kronis atau stres yang berkepanjangan kemudian membuat tahap exhaustion dialami oleh seseorang [1,2,3].
Tanda utama seseorang berada pada tahap ini adalah ketika energi fisik mulai mudah habis, begitu pula dari sisi emosional dan mental [1,2,3].
Tahap exhaustion biasanya menunjukkan bahwa tubuh tidak lagi mampu mengatasi apalagi mengendalikan stres yang didapat [2,3].
Saat itu terjadi, beberapa tanda umum tahap exhaustion yang perlu segera diatasi adalah kelelahan ekstrem, toleransi terhadap stres yang terus menurun, dan burnout [2,3].
Sebagai dampak dari stres berkepanjangan, imun tubuh akan semakin lemah dan risiko penyakit jantung juga semakin tinggi [5].
Begitu pula dengan risiko kondisi kesehatan lainnya yang bersifat kronis, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, hingga kecemasan dan depresi untuk gangguan mental [5].
Pada tahap ini, walau acara yang dihadiri atau dihadapi sudah lewat cukup lama, seseorang masih merasakan depresi dan kecemasan berlebih sampai mengalami insomnia/sulit tidur [3].
Sindrom adaptasi umum dapat disebabkan oleh faktor stres apapun, mulai dari yang ringan (tekanan pada pekerjaan atau masalah keluarga atau sekadar tubuh yang menghadapi perubahan cuaca ekstrem) hingga berat (bahaya mengancam) [2,3].
Ketika seseorang harus berada dalam situasi stres setiap hari, entah itu dalam keluarga, pekerjaan, sekolah atau dalam hubungan, sindrom adaptasi umum bisa terjadi [2,3,6].
Begitu pula saat terjadi perubahan mendadak dalam hidup, seperti terkena penyakit serius, tiba-tiba harus bercerai, atau kehilangan pekerjaan [2,3,6].
Kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik atau verbal, hingga berada di situasi perang juga bisa memicu sindrom ini [2,3,6].
Sindrom adaptasi umum dapat dikendalikan, salah satunya tentu dengan fokus pada pengendalian dan cara mengatasi stres [2,3,7].
Namun ketika stres sudah berkembang menjadi depresi berat dan gangguan kecemasan berlebih, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional seperti psikiater atau psikolog [2,3].
1. Hans Selye M.D., Ph.D., D.Sc., F.R.S.C. Stress and the General Adaptation Syndrome. British Medical Journal; 1950.
2. Timothy J. Legg, PhD, PsyD & Valencia Higuera. What Is General Adaptation Syndrome?. Healthline; 2018.
3. Ruth Edwards & Adjoa Smalls-Mantey, MD, DPhil. What Is General Adaptation Syndrome (GAS)?. Verywell Health; 2022.
4. Richard Gordan, Judith K Gwathmey, & Lai-Hua Xie. Autonomic and endocrine control of cardiovascular function. World Journal of Cardiology; 2015.
5. Agnese Mariotti. The effects of chronic stress on health: new insights into the molecular mechanisms of brain–body communication. Future Science; 2015.
6. National Institute of Mental Health. I’m So Stressed Out! Fact Sheet. National Institute of Mental Health; 2023.
7. Stephen Lupe, PsyD. How Digestive Disease Clinicians Can Help Patients Manage COVID-19-Induced Stress. Cleveland Clinic; 2022.