Demam Lassa atau Lassa fever merupakan jenis penyakit virus akut atau golongan zoonosis yang dibawa dan disebarkan oleh tikus besar [1,2,3,4,5,6,13].
Penyakit yang berbahaya dan mampu mengancam kesehatan ini lebih banyak dijumpai di Afrika Barat dan mampu memengaruhi beberapa bagian organ penting manusia yang terkena, mulai dari limpa, ginjal, hingga hati [1,2,3,4,5,6,13].
Karena merupakan virus hemoragik, maka penderita demam Lassa dapat mengalami perdarahan walaupun gejala di awal sangat sulit terdeteksi karena bersifat asimptomatik [1,6].
Tinjauan Demam Lassa adalah penyakit infeksi virus menular yang penyebarannya dilakukan oleh tikus mesar jenis Mastomys dan lebih banyak dijumpai di daerah Afrika Barat.
Daftar isi
Tikus multimammate atau Mastomys natalensis merupakan jenis tikus besar yang menjadi pembawa virus yang menyebabkan infeksi demam Lassa terjadi [1,2,4].
Ketika tikus Mastomys ini sudah terkena infeksi virus lebih dulu, ketika mereka buang air besar dan kecil, kotorannya mengandung virus tersebut [1,4].
Penyebaran virus sangat mudah terjadi karena virus bertahan sangat lama pada feses maupun urine [1,4].
Virus juga berkembang biak dengan cepat dan dapat bersarang serta bertahan hidup di manapun, termasuk rumah manusia [1,4]
Maka ketika virus ini tersebar di dalam rumah, kemudian manusia mengonsumsi makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi, manusia dapat terinfeksi [3,4].
Begitu pula dengan menghirup udara yang sudah terkontaminasi virus yang dibawa oleh tikus ini [3,4].
Bagi seseorang yang memiliki luka terbuka, bersihkan, obati, balut dengan perban, dan jaga tetap kering karena virus dari tikus dapat masuk melalui luka tersebut lalu menginfeksi [6].
Penyebaran virus dan penularan infeksi dapat pula terjadi ketika seseorang memutuskan mengonsumsi tikus pembawa virus ini [3,4].
Beberapa orang dapat mengonsumsi tikus Mastomys dan proses pengolahan daging tikus ini dapat menjadi awal penyebaran dan penularan virus [3,4].
Beberapa media penularan virus penyebab demam Lassa antar manusia adalah [3,4,6] :
Hanya saja, penularan virus antar manusia tidak dapat terjadi melalui sentuhan, maka menjaga kebersihan makanan hingga menghindari penggunaan barang pribadi maupun jarum bersama bisa dilakukan.
Selain itu, mengunjungi beberapa wilayah endemik seperti Nigeria, Guinea, Liberia dan Sierra Leone dapat meningkatkan risiko tertular dan terkena demam Lassa [1,2,3,4,5].
Tak hanya negara-negara di Afrika Barat, tikus Mastomys juga dapat dijumpai pada beberapa negara lain yang telah disebutkan sehingga risiko penyebaran dan penularan infeksi demam Lassa lebih besar.
Tinjauan Tikus multimammate atau Mastomys natalensis merupakan jenis tikus besar yang menyebabkan penyebaran dan penularan virus infeksi demam Lassa.
Pada banyak kasus demam Lassa, gejala bersifat asymptomatik atau infeksi muncul tanpa menimbulkan gejala apapun [1,3,6].
Pada beberapa kasus lain, bahkan penderita biasanya hanya mengalami demam ringan, sakit kepala, dan tubuh kelelahan [6].
Namun jika demam Lassa sudah pada tahap yang lebih parah, maka beberapa gejala akan sangat nampak.
Gejala umumnya baru timbul 1-3 minggu setelah pasien terpapar virus dan berikut ini merupakan gejala-gejala demam Lassa yang bersifat lebih berat [1,3,6] :
Infeksi yang terjadi pada kasus demam Lassa dapat berakibat fatal, walaupun kasus yang sangat serius ini jarang terjadi [1,4,5].
Pada wanita hamil, demam Lassa sangat mengancam jiwa, terutama ketika terinfeksi saat kehamilan menginjak usia trimester ketiga [1,4,5].
Tinjauan Pada awal kondisi, demam Lassa tidak menimbulkan gejala apapun, namun ketika sudah cukup serius, maka perdarahan dari beberapa area wajah dan masalah pernapasan dapat terjadi.
Demam Lassa pada umumnya tidak menimbulkan gejala sehingga sulit untuk mendiagnosa kondisi ini.
Jika pun timbul gejala, keluhan yang diderita cukup umum dan bervariasi sehingga dapat menjadi tanda adanya penyakit lain dan berpotensi terjadinya kesalahan diagnosa.
Gejala umum demam Lassa mirip dengan gejala sejumlah penyakit, seperti tifoid, malaria, dan virus Ebola.
Untuk mendiagnosa demam Lassa secara benar dan mengeliminasi adanya kemungkinan penyakit lain, beberapa metode pemeriksaan berikut perlu pasien tempuh.
Pemeriksaan fisik selalu dokter lakukan di awal untuk mengetahui gejala fisik apa saja yang dialami penderita [6].
Selain itu, beberapa pertanyaan juga dokter ajukan kepada pasien maupun keluarga pasien terkait riwayat penyakit yang pernah diderita [6].
Tentu saja pemeriksaan fisik dan riwayat medis tidak cukup dan masih perlu didukung dengan beberapa pemeriksaan penunjang.
Untuk menegakkan diagnosa, tes laboratorium sangat diperlukan sebagai tes penunjang [1,6,10].
Tes darah adalah salah satunya, yakni untuk memastikan terjadinya infeksi dan mengidentifikasi jenis virus yang menyebabkannya [1,6,10].
Tes ini merupakan salah satu jenis tes antibodi yang umumnya digunakan sebagai pendeteksi antibodi HIV untuk pasien dengan gejala infeksi HIV [1,6,10].
Namun untuk kasus demam Lassa, dokter juga dapat menerapkan metode ini untuk mendapatkan hasil diagnosa yang tepat [1,6,10].
RT-PCR kini lebih dikenal sebagai metode pemeriksaan untuk kasus COVID-19 yang bertujuan supaya material genetik virus korona dapat diketahui secara detail [6,10].
Tapi sebenarnya, RT-PCR sendiri merupakan metode diagnosa yang juga berguna dalam mendeteksi infeksi penyebab demam Lassa [6,10].
Namun, penggunaan metode diagnosa ini jauh lebih efektif dan umum dilakukan untuk memeriksa demam Lassa tahap awal.
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, tes ELISA, dan RT-PCR merupakan metode-metode diagnosa yang akan memastikan kondisi demam Lassa.
Karena demam Lassa dapat membahayakan jiwa penderitanya, maka dari sejak gejala awal timbul, penderita sebaiknya sudah menerima penanganan.
Berikut adalah beberapa pengobatan utama demam Lassa yang pasien dapat terima :
Rehidrasi juga dikenal dengan istilah terapi cairan yang bertujuan utama sebagai pengganti cairan yang terbuang karena pasien mengalami demam [4].
Obat antivirus adalah penanganan paling baik untuk kasus demam Lassa sejauh ini, yakni ribavirin [1,4,7,11].
Namun pemberian ribavirin hanya untuk mengatasi demam Lassa dengan gejala awal, bukan sebagai pencegah agar demam Lassa tidak terjadi.
Tekanan darah penderita demam Lassa dapat meningkat maupun menurun, maka diperlukan tindakan medis untuk mengembalikan kenormalan tekanan darah dan menjaganya tetap stabil [11].
Selain itu, oksigenasi (peningkatan oksigen dalam tubuh) pun merupakan penanganan demam Lassa yang pasien butuhkan agar pernafasan kembali lancar dan normal [11].
Apakah terdapat vaksin untuk mencegah demam Lassa?
Sayangnya, belum ada vaksin yang mampu mencegah infeksi penyebab demam Lassa.
Menurut sebuah artikel tahun 2018 di The Lancet, vaksin untuk demam Lassa tengah dalam proses pengembangan oleh Themis Bioscience dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations) [13].
Meski demikian, rupanya hingga kini vaksin untuk demam Lassa belum juga tersedia sebab walau telah ada beberapa kandidat vaksin, belum ada yang berlisensi [12].
Tinjauan Rehidrasi, ribavirin, dan oksigenasi (ditambah penyetabilan tekanan darah) merupakan penanganan utama bagi penderita demam Lassa karena belum adanya vaksin.
Sepertiga kasus demam Lassa menyebabkan penderitanya mengalami kehilangan pendengaran atau ketulian permanen [5].
Bahkan kehilangan pendengaran tak hanya dapat terjadi pada penderita demam Lassa dengan kondisi gejala berat, sebab gejala ringan pun bisa saja berakibat pada komplikasi ini [1,4,5].
Beberapa risiko komplikasi lainnya yang patut diwaspadai oleh penderita demam Lassa adalah [5] :
Tinjauan Demam Lassa dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran, gangguan kehamilan, hingga kematian jika tidak segera ditangani.
Seperti pada kasus infeksi virus kebanyakan, menjaga kebersihan diri dan lingkungan adalah upaya pencegahan terbaik agar tidak mudah terpapar virus dan terinfeksi.
Berikut ini merupakan langkah-langkah pencegahan yang bisa dilakukan dalam menjaga diri sendiri maupun lingkungan tetap bersih [4,14].
Tinjauan Menjaga kebersihan lingkungan dan diri sendiri menjadi pencegahan infeksi virus yang paling baik untuk dilakukan ditambah dengan mengedukasi diri mengenai bahaya tikus Mastomys dan penyebaran virus oleh tikus ini.
1. J Kay Richmond & Deborah J Baglole. Lassa fever: epidemiology, clinical features, and social consequences. British Medical Journal; 2003.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Lassa Fever. Centers for Disease Control and Prevention; 2019.
3. Global Alert and Response (GAR) & Disease Outbreak News (DONs). Lassa Fever – United States of America. World Health Organization; 2015.
4. World Health Organization. Lassa Fever - Key Facts. World Health Organization; 2017.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Lassa Fever - Signs and Symptoms. Centers for Disease Control and Prevention; 2014.
6. Mary J Choi, Shewangizaw Worku, Barbara Knust, Arnold Vang, Ruth Lynfield, Mark R Mount, Tina Objio, Shelley Brown, Jayne Griffith, Deborah Hulbert, Susan Lippold, Elizabeth Ervin, Ute Ströher, Stacy Holzbauer, Wendolyn Slattery, Faith Washburn, Jane Harper, Mackenzie Koeck, Carol Uher, Pierre Rollin, Stuart Nichol, Ryan Else, & Aaron DeVries. A Case of Lassa Fever Diagnosed at a Community Hospital—Minnesota 2014. Open Forum Infectious Disease; 2018.
7. Jenish Bhandari; Pawan K. Thada; & Elizabeth DeVos. Typhoid Fever. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Emily Buck & Nancy A. Finnigan. Malaria. National Center for Biotechnology Information; 2020.
9. Paula R. Patel & Sumir u. Shah. Ebola Virus. National Center for Biotechnology Information; 2020.
10. Centers for Disease Control and Prevention. Lassa Fever - Diagnosis. Centers for Disease Control and Prevention; 2014.
11. Centers for Disease Control and Prevention. Lassa Fever - Treatment. Centers for Disease Control and Prevention; 2014.
12. Robert J. Fischer, Jyothi N. Purushotham, Neeltje van Doremalen, Sarah Sebastian, Kimberly Meade-White, Kathleen Cordova, Michael Letko, M. Jeremiah Matson, Friederike Feldmann, Elaine Haddock, Rachel LaCasse, Greg Saturday, Teresa Lambe, Sarah C. Gilbert & Vincent J. Munster. ChAdOx1-vectored Lassa fever vaccine elicits a robust cellular and humoral immune response and protects guinea pigs against lethal Lassa virus challenge. npj Vaccines; 2021.
13. The Lancet Infectious Diseases. Lassa fever and global health security. The Lancet; 2018.
14. Centers for Disease Control and Prevention. Lassa Fever - Prevention. Centers for Disease Control and Prevention; 2014.