Tinjauan Medis : dr. Hadian Widyatmojo, SpPK
Difteri adalah salah satu jenis penyakit infeksi yang terdapat di Indonesia. Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae yang umumnya menyerang tenggorok, dan bisa diderita oleh segala usia.
Data WHO (World Health Organization) mengungkapkan bahwa penyakit difteri di Indonesia telah menunjukkan fluktuasi sejak tahun 1980.
Jumlah kasus difteri di Indonesia ada 811 kasus terjadi pada tahun 2011, 1.192 kasus pada 2012, 296 kasus pada tahun 2014 dan 954 kasus pada tahun 2017 [1].
Selain di Indonesia, wabah difteri pernah dilaporkan pada tahun 1990 di Rusia dan negara-negara baru pecahan Uni Soviet di mana WHO melaporkan ada lebih 157.000 kasus dan 5.000 kematian terjadi akibat wabah tersebut. [2] [3]
Daftar isi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynbacterium diphtheriae. Penyakit ini terutama menyerang saluran pernapasan bagian atas dan tenggorokan [2].
Pada hakikatnya difteri bisa menyerang siapa saja baik anak-anak maupun orang dewasa terutama bagi mereka yang tidak divaksinasi dan tinggal dalam kondisi ramai dan tidak sehat ataupun orang yang bepergian ke daerah yang sering terjadi infeksi difteri. [5]
Tinjauan Difteri adalah suatu penyakit infeksi bakteri pada saluran pernapasan dan tenggorokan, bisa terjadi pada siapapun baik anak-anak maupun orang dewasa.
Berikut ini fakta-fakta mengenai penyakit difteri: [6]
Masa inkubasi difteri biasanya pada 2–5 hari (kisaran: 1–10 hari). Difteri dapat melibatkan hampir semua selaput lendir. Untuk tujuan klinis, lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri ke dalam sejumlah manifestasi, tergantung pada lokasi penyakit: [4][5]
Gejala difteri faring bervariasi, dari faringitis ringan hingga hipoksia karena obstruksi jalan napas oleh pseudomembran.
Keterlibatan kelenjar getah bening leher dapat menyebabkan pembengkakan yang dalam pada leher (bull neck diphtheria), dan pasien mungkin mengalami demam (≥ 39°C).
Selain pada faring, difteri di saluran pernapasan bisa juga terjadi pada hidung dan laring.
Tipe kedua difteri dapat mempengaruhi kulit, menyebabkan rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan yang mirip dengan infeksi kulit bakteri lainnya. Bisul yang ditutupi oleh membran abu-abu juga bisa berupa difteri kulit.
Difteri tipe ini umum terjadi pada daerah beriklim tropis terutama pada orang yang hidup pada kondisi lingkungan dengan kebersihan yang buruk.
Difteri timbul disebabkan oleh bakteri gram positif bernama Corynebacterium diphtheriae yang berkembang biak di atau dekat permukaan tenggorokan. Penyebaran infeksi bakteri ini biasanya melalui beberapa faktor yaitu: [5]
Orang yang terinfeksi difteri saat bersin atau batuk melepaskan tetesan yang terkontaminasi, kemudian orang yang berada di dekatnya dapat menghirup bakteri difteri.
Seseorang bisa terkena difteri dengan bersentuhan dengan suatu benda, seperti tisu bekas atau sapu tangan, yang mungkin terkontaminasi dengan bakteri. Dalam kasus yang jarang, difteri juga dapat ditularkan ketika seseorang menyentuh luka orang yang terinfeksi difteri.
Bakteri yang menyebabkan difteri dapat masuk dan menempel pada lapisan sistem pernapasan, yang meliputi bagian-bagian tubuh yang membantu Anda bernapas. Ketika ini terjadi, bakteri dapat menghasilkan racun (toksin) yang dapat menyebabkan gejala dan tanda-tanda difteri seperti: [3] [5]
Pada beberapa orang, infeksi oleh bakteri penyebab difteri hanya menyebabkan penyakit yang ringan atau tidak ada tanda dan gejala sama sekali. Orang yang terinfeksi yang tetap tidak menyadari penyakitnya ini dikenal dengan pembawa difteri, karena mereka dapat menyebarkan infeksi tanpa mengalami sakit.
Kapan harus ke dokter?
Anda dapat menghubungi dokter Anda segera jika Anda atau anggota keluarga Anda telah terpapar oleh seseorang yang terinfeksi difteri. Jika Anda tidak yakin apakah Anggota keluarga Anda telah divaksinasi terhadap difteri, bertemulah segera dengan dokter untuk memastikannya. [5]
Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan masalah komplikasi seperti: [5]
Timbulnya masalah pernapasan ini disebabkan oleh racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri. Akibatnya, area pernapasan yang terinfeksi secara langsung seperti hidung dan tenggorokan mengalami kerusakan jaringan.
Selanjutnya pada area pernapasan terbentuk membran keras berwarna kelabu yang terdiri dari sel-sel mati, bakteri dan zat-zat lainnya yang disebut sebagai pseudomembran. Membran keras inilah yang kemudian menghambat pernapasan.
Selain bisa menyebabkan masalah pernapasan, toksin difteri juga diketahui bisa menyebabkan kerusakan jantung.
Kerusakan ini muncul dikarenakan adanya toksin pada aliran darah tubuh yang merusak jaringan-jaringan otot pada jantung.
Masalah yang lebih serius seperti komplikasi peradangan otot jantung (miokarditis) kemudian timbul. Kerusakan jantung akibat miokarditis bisa berupa kerusakan ringan bahkan berat.
Paling parah, miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.
Komplikasi selanjutnya yang bisa dihasilkan dari adanya toksin tersebut pada tubuh adalah rusaknya saraf tenggorokan.
Rusaknya saraf tenggorokan menjadikan seseorang sulit menelan. Selain saraf tenggorokan saraf lainnya juga bisa mengalami kerusakan.
Jika saraf yang rusak adalah saraf yang berperan dalam membantu mengendalikan otot yang digunakan dalam bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh.
Dengan pengobatan, kebanyakan penderita difteri dilaporkan sembuh dari komplikasi ini, walau pemulihannya seringkali lambat. Difteri berakibat fatal 5% hingga 10%, menurut WHO. Yang mana angka kematian paling tinggi ialah pada anak-anak.
Untuk mendiagnosis difteri, dokter biasanya memutuskan apakah seseorang menderita difteri dengan mencari tanda dan gejala umum yang tampak.
Dokter lalu menggunakan swab dari belakang tenggorokan dan melakukan uji bakteri penyebab difteri. Dokter juga dapat mengambil sampel dari luka kulit dan mencoba menumbuhkan bakteri.
Jika bakteri tumbuh, maka dokter dapat memastikan pasien memiliki difteri. Untuk mengevaluasi tingkat penyakit dan keterlibatan sistem organ lain dapat dilakukan tes darah tambahan, studi pencitraan (CT leher), dan EKG (elektrokardiogram). [3] [4]
Penderita difteri penting untuk segera melakukan pengobatan ke dokter. Difteri yang tidak segera diobati dapat berakibat fatal yang berujung pada kematian.
Umumnya pengobatan difteri bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu dengan:[4]
Pengobatan antitoksin difteri dilakukan untuk menghentikan racun (toksin) yang diproduksi oleh bakteri yang dapat merusak tubuh.
Tes alergi biasanya dilakukan sebelum pemberian antitoksin guna memastikan penderita tidak memiliki alergi terhadap antitoksin.
Pemberian dosis oleh dokter biasanya dilakukan bertahap dari dosis kecil hingga dosis yang lebih besar.
Pengobatan dengan antibiotik seperti penisilin atau eritromisin dapat membunuh dan menyingkirkan bakteri dalam tubuh. Obat ini disuntikkan ke pembuluh darah atau otot pasien.
Orang yang telah terinfeksi difteri biasanya tidak lagi dapat menginfeksi orang lain 48 jam setelah mereka memulai minum antibiotik.
Namun, penting untuk meminum antibiotik sampai selesai. Hal ini, untuk memastikan bakteri dikeluarkan sepenuhnya dari tubuh.
Setelah pasien menyelesaikan perawatan penuh, dokter selanjutnya akan melakukan tes untuk memastikan bakteri tidak ada lagi di tubuh pasien.
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya difteri adalah dengan melakukan vaksinasi. Vaksin difteri biasanya dikombinasikan penggunaannya dengan vaksin untuk tetanus dan batuk rejan (pertusis). Vaksin three-in-one dikenal sebagai vaksin penyakit difteri, tetanus dan pertusis. [4]
Di Indonesia, ada beberapa jenis vaksin yang digunakan untuk imunisasi rutin dan lanjutan guna mencegah difteri yaitu DPT-HB-Hib, DT, dan Td .
Masing-masing vaksin ini mencegah difteri dan tetanus, DPT-HB-Hib juga dapat membantu mencegah pertusis, Hepatitis B, Meningitis, dan Pneumonia.
Petugas medis memberikan DPT-HB-Hib untuk anak-anak di bawah 18 bulan. Sementara anak-anak SD kelas 1 mendapatkan DT dan anak SD kelas 2 & 5 serta orang dewasa mendapatkan Td. [10]
Imunisasi pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan untuk difteri diberikan dosis DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
Imunisasi remaja direkomendasikan agar anak-anak mendapatkan dosis DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan sebanyak 1 kali. Anak Sekolah dasar kelas 1 mendapatkan DT pada saat bulan imunisasi Anak Sekolah.
Begitupun dengan anak-anak sekolah dasar kelas 2 dan 5 mendapatkan dosis pada bulan imunisasi Anak Sekolah.
Untuk perlindungan terhadap difteri dan tetanus, semua wanita usia reproduksi atau orang dewasa yang belum pernah menerima vaksin harus mendapatkan suntikan Td. Ini dapat diberikan kapan saja, terlepas dari kapan mereka terakhir kali mendapat Td.
Vaksin difteri pada beberapa kasus memang bisa menimbulkan efek samping. Efek samping dari vaksin difteri biasanya ringan dan akan hilang dalam beberapa hari. Berikut ini efek yang mungkin terjadi selama vaksinasi difteri: [7]
Sebelum menggunakan vaksin difteri Anda bisa berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter Anda. Hal ini guna mengetahui efek yang mungkin timbul jika Anda menggunakannya.
1) Mulya R. Karyanti1, Erni J. Nelwan2, Iqbal Z. Assyidiqie1, Hindra I. Satari1, Sri R. Hadinegoro . 2019. Diphtheria Epidemiology in Indonesia During 2010 – 2017
2) Robert M. Kliegman, Patricia S. Lye, Brett Bordini, Hearther Toth dan Donald Basel. 2018. Nielsen Pediatric Symptom - Based Diagnosis. Diphtheria
3) Steven Doerr, MD. 2020. Emedicinehealth. Diphtheria
4) Anonim. 2020. Centers for Disease Control and Prevention. Diphtheria
5) Anonim. 2019. Mayo clinic. Diphtheria
6) Anonim. 2020. Diphtheria - National Foundation for Infectious Diseases
7) Anonim. 2020. Department of Health & Human Services US. Vaccines.gov. Vaccine Diphtheria
8) Benjamin Wedro, MD, FACEP, FAAEM. 2020. emedicinehealth.com. What Is an Electrocardiogram (ECG, EKG)?
9) Anonim. 2020. Webmd.com. What Is a CT Scan?
10) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri