Penyakit & Kelainan

Monoplegia : Penyebab – Gejala – Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Monoplegia?

Monoplegia merupakan jenis kondisi kelumpuhan yang memengaruhi anggota tubuh terutama salah satu tungkai dan salah satu lengan [1,2].

Monoplegia adalah jenis paralisis atau kelumpuhan yang intinya berpengaruh pada satu anggota tubuh saja [1,2].

Pada anggota tubuh yang berpasangan, monoplegia hanya terjadi pada satu diantaranya [1,2].

Dan pada beberapa kasus, kelumpuhan ini bersifat permanen; meski demikian, ada pula yang bersifat sementara [1].

Penyebab Monoplegia

Cerebral palsy kerap menjadi penyebab utama monoplegia [1,2,3].

Cerebral palsy sendiri adalah kelumpuhan otak yang kemudian memengaruhi keseimbangan, koordinasi dan gerakan tubuh penderitanya [1,2,3].

Seseorang dengan gangguan perkembangan pada otak memiliki risiko lebih tinggi dalam mengalami monoplegia [1,2,3].

Namun selain cerebral palsy, penyebab umum monoplegia lainnya adalah cedera pada otak dan tulang belakang [1,4].

Sementara itu, beberapa faktor di bawah ini adalah penyebab monoplegia lain yang lebih jarang terjadi :

Multiple sclerosis atau sklerosis ganda dapat menjadi salah satu penyebab monoplegia walaupun kasus monoplegia karena penyakit ini sangat jarang [1,2,5].

Multiple sclerosis merupakan penyakit saraf mata, saraf otak, dan tulang belakang  yang kemudian berdampak negatif pada gerakan tubuh maupun penglihatan penderita [1,6].

Multiple sclerosis tergolong sebagai penyakit autoimun, yakni kondisi ketika sistem imun secara salah menyerang jaringan tubuh yang sehat dan normal, padahal seharusnya sistem imun melawan benda-benda asing yang masuk ke tubuh dan berpotensi berbahaya [1,6].

Selain itu, multiple sclerosis dapat terjadi karena faktor genetik maupun lingkungan; maka ketika monoplegia terjadi, ada kemungkinan ini terkait penyakit keturunan [6].

  • Monomelic Amyotrophy / Penyakit Hirayama

Monomelic amyotrophy atau juga disebut dengan istilah penyakit Hirayama merupakan jenis penyakit saraf langka yang ditandai dengan kelemahan otot pada anggota tubuh bagian atas [1,7].

Pria dewasa muda memiliki risiko lebih tinggi dalam mengalami hal ini dan penyakit ini pun lebih umum dijumpai di Asia daripada negara-negara Timur Tengah [1].

Neuron motorik bawah (sel-sel yang membawa informasi dari otak ke otot-otot untuk tubuh bisa bergerak) adalah yang paling terpengaruh pada penyakit ini [1,7].

Neuropati perifer merupakan jenis penyakit sistem saraf yang terjadi pada saraf perifer (sistem saraf tepi) dan kondisi ini mampu memicu monoplegia [1,9].

Fungsi saraf tepi mengalami masalah karena adanya kerusakan sehingga pengiriman sinyal menuju otak dari organ maupun kebalikannya akan terhambat [9].

Orang-orang dengan usia lebih dari 40 tahun, menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi, serta obesitas memiliki risiko lebih tinggi terhadap neuropati perifer [9].

Ketika penderita mulai mengalami mati rasa, kesemutan, dan nyeri pada kaki secara berulang, ditambah dengan kelemahan tubuh jangka panjang, segera ke dokter memeriksakan diri [9].

Tubuh yang juga mulai kehilangan keseimbangan, disertai luka pada bagian kaki yang tak sembuh-sembuh segera perlu diperiksakan [9].

  • Neuritis

Neuritis merupakan istilah bagi peradangan saraf perifer (saraf yang terletak pada bagian luar sumsum tulang serta otak) [1].

Ketika bermasalah, saraf perifer tak mampu menjalankan fungsi utamanya dengan baik, yakni sebagai pembawa sinyal menuju otak dari berbagai organ [1].

Wanita dalam hal ini memiliki risiko lebih tinggi terkena neuritis daripada pria, terutama jika usia memasuki 50-55 tahun lebih [1].

  • Tumor Otak atau Tumor Tulang Belakang

Tumor otak atau tumor tulang belakang adalah kondisi ketika tumor tumbuh pada otak atau tulang belakang [10].

Tumor sendiri merupakan jaringan abnormal yang dapat bersifat jinak (non-kanker) maupun bersifat kanker dan ganas [10].

Pada beberapa kasus, tumor otak atau tumor tulang belakang mampu menjadi salah satu penyebab timbulnya kondisi monoplegia [10].

Hanya saja, tumor otak dan tumor tulang belakang biasanya tidak dapat terdeteksi di awal karena tumor yang masih berukuran kecil tak menyebabkan gejala apapun [1,10].

Namun, tumor yang berukuran kecil berpotensi tumbuh semakin besar dan kemudian menimbulkan gejala-gejala seperti kejang, saraf terganggu dan sakit kepala lebih sering [1,10]

Stroke merupakan jenis penyakit yang terjadi saat suplai darah menuju otak berkurang karena pembuluh darah pecah ataupun karena pembuluh darah mengalami sumbatan [1,2,5.11].

Akibatnya, aliran darah yang seharusnya terpasok ke otak tidak lagi memadai [11].

Jika demikian, otak tak lagi bisa memperoleh nutrisi maupun oksigen secara cukup dan pada akhirnya sel-sel otak mengalami kerusakan, gangguan dan berisiko mati [11].

Gejala stroke paling nampak adalah turunnya salah satu sisi wajah, kelumpuhan di salah satu sisi tubuh, serta sulit bicara (bicara cenderung tidak jelas) [11].

Namun selain itu, penderita stroke rentan mengalami disfagia (sulit menelan), vertigo, mual, muntah, gangguan penglihatan, hingga gangguan keseimbangan [11].

Gejala Monoplegia

Monoplegia dapat menimbulkan sejumlah gejala yang timbul secara tiba-tiba, terutama bila berkaitan dengan penyakit stroke atau cedera otak [1,2].

Meski tampak ringan di awal, gejala pun dapat berkembang lebih serius nantinya, terutama jika berhubungan dengan cerebral palsy [1,2,3].

Gejala utama pada monoplegia pada dasarnya adalah ketidakmampuan dalam menggerakkan salah satu tungkai ataupun lengan [1,2].

Selain itu, terdapat sejumlah keluhan atau tanda lain yang patut dicurigai mengarah pada monoplegia, yaitu [1,2] :

  • Kehilangan tonus otot
  • Terasa kesemutan
  • Mati rasa pada otot
  • Kekakuan pada otot
  • Kejang pada otot
  • Sensasi berkurang pada otot
  • Pada bagian tangan atau kaki yang terpengaruh bagian jari akan menekuk

Pemeriksaan Monoplegia

Untuk mengetahui apa penyebab gejala yang mengarah pada monoplegia, berikut ini adalah sejumlah metode pemeriksaan yang perlu pasien tempuh :

  • Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan

Pemeriksaan pasien umumnya diawali dengan pemeriksaan fisik lebih dulu untuk dokter mengetahui secara detail gejala fisik yang pasien alami [2].

Selain itu, dokter pun perlu tahu riwayat medis pasien dengan menanyakan pasien secara langsung [2].

Dengan demikian, dokter akan tahu apakah pasien memiliki riwayat cerebral palsy, stroke, cedera dan kondisi lain yang mampu meningkatkan risiko monoplegia [2].

Tak hanya riwayat medis pasien, jika perlu dokter akan bertanya mengenai riwayat kesehatan keluarga pasien untuk mengidentifikasi adanya penyakit keturunan [2].

  • EMG (Elektromiografi)

Metode pemeriksaan ini penting bagi dokter untuk memeriksa fungsi otot pasien [2].

Sensor listrik akan dipasang pada area anggota tubuh yang terpengaruh dan mengalami gejala monoplegia [2].

Lalu, pengukuran aktivitas listrik saraf yang menjalankan otot akan dilakukan [2].

Salah satu kondisi yang dapat terdiagnosa melalui EMG adalah plexopati brakialis ,2].

  • Tes Pemindaian

Tes pemindaian yang paling diperlukan untuk mendeteksi dan memastikan kondisi monoplegia ada dua, yakni MRI scan dan CT scan [2].

MRI scan adalah teknik pemindaian yang dilakukan dengan memanfaatkan kombinasi antara medan magnet serta gelombang radio untuk memeriksa secara akurat bagian dalam tubuh pasien [2].

Hasil pemeriksaan akan muncul melalui gambar yang muncul dari layar monitor komputer [2].

Untuk kondisi pasien dengan stroke iskemik akut, biasanya akan lebih mudah terdiagnosa melalui proses MRI scan, termasuk juga neuritis brakial yang disebabkan oleh virus varicella-zoster [2].

Sementara itu, CT scan adalah teknik pemindaian menggunakan sinar-X yang dikombinasi dengan teknologi komputer dalam mendeteksi kondisi struktur dalam tubuh pasien [2].

Pasien dengan kondisi stroke dapat terdiagnosa melalui CT scan, termasuk jika terdapat komplikasi berupa perdarahan [2].

Pengobatan Monoplegia

Hingga kini untuk masalah kelumpuhan belum terdapat obat atau metode terapi yang mampu menyembuhkan, termasuk pada kasus monoplegia.

Namun untuk pengobatan pereda gejala dan membantu supaya penderita dapat beraktivitas kembali seperti normal, berikut ini adalah sejumlah terapi yang dimaksud :

  • Terapi Fisik

Terapi fisik atau yang dikenal dengan istilah fisioterapi adalah metode penanganan utama yang umumnya perlu ditempuh penderita monoplegia [1,2].

Tujuan menjalani fisioterapi adalah untuk meningkatkan fleksibilitas dan gerakan tubuh, terutama pada area anggota tubuh yang mengalami monoplegia [1,2].

Selain itu, melalui terapi fisik kekuatan tubuh akan bertambah perlahan [1,2].

Otot serta saraf juga akan jauh lebih baik dengan pemijatan, latihan fisik serta peregangan lewat terapi fisik [1,2].

  • Terapi Okupasi

Terapi okupasi juga diperlukan oleh para pasien untuk mempelajari teknik-teknik penting untuk bisa melakukan segala aktivitas sehari-hari secara normal [1,2].

Aktivitas sehari-hari yang dimaksud adalah meliputi mandi, berganti pakaian, menyikat gigi, atau memasak dan lainnya [1,2].

Seringkali karena kondisi otot dan saraf yang kurang baik, termasuk dalam kasus monoplegia, penderita menjadi kesulitan untuk melakukan kegiatan sederhana sekalipun [1,2].

  • Obat-obatan

Pada beberapa kasus, dokter tetap akan memberi obat selain merekomendasikan terapi fisik dan okupasi [1,2].

Obat-obatan seperti pereda nyeri dan relaksan otot sangat penderita butuhkan agar otot tak lagi mudah kaku apalagi kejang [1,2].

  • Alat Bantu

Beberapa pasien monoplegia memerlukan alat bantu untuk bisa melakukan kegiatan sehari-hari, seperti kursi roda, alat bantu jalan, dan alat bantu jenis lainnya yang akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pasien [1,2].

  • Operasi

Ketika obat, terapi fisik, serta alat bantu kurang efektif dalam memulihkan kondisi pasien, dokter kemungkinan besar akan merekomendasikan jalur operasi [1,2].

Gejala monoplegia yang timbul karena tekanan saraf atau keberadaan tumor sebaiknya diatasi dengan tindakan bedah [1,2].

Tindakan bedah sendiri dapat bertujuan mengangkat tumor yang menjadi penghambat gerakan tubuh pasien [1,2].

Komplikasi Monoplegia

Ketika monoplegia tak segera mendapatkan penanganan, hal ini akan cukup mengganggu aktivitas [1].

Penderita tidak lagi bisa melakukan kegiatan bahkan sesederhana apapun seperti normalnya [1].

Masalahnya, monoplegia dapat terjadi pada area tubuh bagian atas maupun bawah dengan gejala yang perlahan tetap berkembang yang bahkan kondisi dapat bersifat permanen pada beberapa kasus [1].

Pencegahan Monoplegia

Belum diketahui pasti bagaimana cara dan upaya pencegahan monoplegia agar tak terjadi sama sekali [2].

Terutama bila monoplegia disebabkan oleh penyakit tertentu, maka akan sulit untuk benar-benar mencegahnya [2].

Namun pada beberapa kasus monoplegia yang disebabkan oleh cedera saraf, cedera tulang belakang, tekanan pada saraf, hingga penyakit stroke, sejumlah upaya berikut dapat dilakukan demi meminimalisir monoplegia [2] :

  • Menggunakan sabuk pengaman setiap kali mengemudi atau melakukan perjalanan dengan mobil.
  • Menghindari penggunaan ponsel sewaktu mengemudi agar tidak mengalami kecelakaan lalu lintas.
  • Menghindari lantai yang permukaannya licin agar tidak mudah terpeleset dan terjatuh, terutama pada lansia.
  • Menghindari berkendara dalam keadaan mabuk.
  • Menghindari kontak terlalu kasar dan keras pada olahraga tertentu.

1. Nancy Hammond, M.D. & Jill Seladi-Schulman, Ph.D. What Is Monoplegia and How Does It Affect Your Body?. Healthline; 2020.
2. Dr. Lakshmi Venkataraman, MD & Dr. Kaushik Bharati, MSc, PhD, FRSPH (London). Diagnosis, Treatment and Prevention of Monoplegia; Med India; 2019.
3. Mohammed M. S. Jan. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update. Annals of Saudi Medicine; 2006.
4. Nebahat Sezer, Selami Akkuş, & Fatma Gülçin Uğurlu. Chronic complications of spinal cord injury. World Journal of Orthopedics; 2015.
5. Julie A Nelson, Chang Y Ho, & Meredith R Golomb. Spinal Cord Stroke Presenting With Acute Monoplegia in a 17-Year-Old Tennis Player. Pediatric Neurology; 2016.
6. Dawood Tafti; Moavia Ehsan & Kathryn L. Xixis. Multiple Sclerosis. National Center for Biotechnology Information; 2021.
7. J. Perk. Spinal Cord Diseases. Encyclopedia of the Neurological Sciences (Second Edition). Elsevier; 2014.
8. J N Kornegay. Monoparesis (monoplegia) and cranial mononeuropathy. Peripheral/cranial nerve and nerve root diseases. Problems in Veterinary Medicine; 1991.
9. Myron A. Bodman & Matthew Varacallo. Peripheral Diabetic Neuropathy. National Center for Biotechnology Information; 2021.
10. Asayel A. Alruwaili & Orlando De Jesus. Meningioma. National Center for Biotechnology Information; 2021.
11. Prasanna Tadi & Forshing Lui. Acute Stroke. National Center for Biotechnology Information; 2021.

Share