Daftar isi
Oligospermia ialah kondisi di mana konsentrasi sperma pada semen yang diejakulasikan terlalu rendah untuk mendukung terjadinya fertilisasi secara alami pada ovum (sel telur)[1, 2].
WHO mengkategorikan jumlah sperma sebanyak 15 juta per ml semen atau lebih sebagai normal. Jumlah sperma kurang dari 15 juta per ml, dikategorikan rendah dan didiagnosis sebagai oligospermia[2, 4].
Berikut kategori oligospermia[3, 4]:
Belum diketahui prevalensi pria yang mengalami oligospermia. Hal ini disebabkan tidak semua orang dengan kondisi tersebut terdiagnosis[4].
Berbagai kondisi dan faktor gaya hidup dapat meningkatkan seorang pria mengalami risiko oligospermia. Meskipun sering kali penyebab pasti dari oligospermia tidak teridentifikasi[1, 4].
Berikut beberapa penyebab potensial oligospermia[1, 3, 4]:
1. Varikokel
Varikokel ialah pembengkakan vena pada testis. Varikokel merupakan penyebab infertilitas reversibel pada pria yang paling umum. Sekitar 40% pria dengan jumlah sperma rendah atau kualitas sperma rendah mengalami kondisi ini.
Penyebab pasti varikokel belum diketahui. Kondisi ini mempengaruhi produksi sperma secara negatif karena menyebabkan peningkatan suhu testis.
2. Infeksi
Beberapa infeksi dapat mempengaruhi produksi sperma atau kesehatan sperma atau menyebabkan perlukaan yang menyumbat saluran sperma.
Infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya inflamasi pada epididimis (epididimitis) atau pada testis (orkitis). Beberapa infeksi mengakibatkan kerusakan testis permanen, tapi biasanya sperma masih dapat diambil.
3. Masalah Ejakulasi
Ejakulasi retrograde berupa kondisi di mana semen mengalir masuk ke kandung kemih selama orgasme, sehingga tidak dikeluarkan lewat penis.
Kondisi ini dapat menurunkan jumlah sperma dan menyebabkan infertilitas pria. Beberapa kondisi penyebab ejakulasi retrograde meliputi:
Beberapa masalah ejakulasi dapat dipulihkan, sementara beberapa kasus bersifat permanen.
4. Antibodi Anti-sperma
Sel-sel sistem imun spesifik yang dikenal sebagai antibodi anti sperma cenderung membunuh sperma yang salah mengenali sperma sebagai materi asing berbahaya. Hal tersebut berakibat pada rendahnya jumlah sperma.
Hormon yang diperlukan untuk produksi sperma dihasilkan oleh testis, kelenjar hipotalamus dan kelenjar hipofisis. Adanya perubahan atau ketidakseimbangan pada hormon-hormon tersebut mengakibatkan terganggunya produksi sperma.
6. Testis Tidak Turun
Pria yang terlahir dengan testis yang tidak menurun dari rongga tubuh kemungkinan mengalami gangguan kesuburan. Kondisi ini terjadi karena kegagalan penurunan salah satu atau kedua testis ke dalam skrotum selama masa perkembangan janin.
7. Gangguan pada Saluran Sperma
Gangguan pada saluran sperma dapat berupa obstruksi dan penyumbatan. Obstruksi atau kerusakan merupakan salah satu penyebab utama oligospermia.
Saluran yang membawa keluar sperma dapat mengalami kerusakan atau penyumbatan akibat cedera, infeksi, atau perkembangan abnormal.
Gangguan saluran dapat terjadi pada berbagai bagian, seperti di dalam testis, di dalam epididimis, di dalam vas deferens, atau dekat duktus ejakulatoris.
8. Abnormalitas Kromosom
Kelainan yang disebabkan abnormalitas kromosom seperti sindrom Klinefelter, sindrom Kallmann, dan sindrom Kartagener dapat mengakibatkan perkembangan abnormal dalam organ reproduksi pria.
9. Cedera
Beberapa operasi dapat mengakibatkan cedera pada organ reproduksi, seperti:
Cedera dapat menimbulkan perlukaan pada saluran reproduksi, mengarah pada penurunan jumlah sperma dalam ejakulat.
10. Tumor
Kanker atau tumor tidak ganas dapat mempengaruhi organ reproduksi secara langsung, melalui kelenjar yang menghasilkan hormon terkait reproduksi, atau melalui sebab lain. Penanganan tumor seperti operasi, radiasi, atau kemoterapi juga dapat mempengaruhi fertilitas pria.
11. Penggunaan Obat Tertentu
Beberapa obat dapat menyebabkan gangguan produksi sperma dan menurunkan fertilitas pria, seperti anti jamur, antibiotik, obat ulcer, obat-obat kemoterapi, dan obat pengganti testosterone. Selain itu penggunaan steroid anabolik jangka panjang juga dapat berpengaruh.
12. Penyakit Celiac
Penyakit Celiac ialah penyakit sistem pencernaan yang disebabkan sensitivitas terhadap gluten. Penyakit ini dapat menyebabkan infertilitas pada pria. Fertilitas dapat membaik setelah melakukan diet bebas gluten.
13. Faktor Lingkungan
Paparan terhadap racun, radiasi, dan logam berat dapat menurunkan produksi sperma.
Zat-zat kimia dalam industri seperti benzena, toluena, xylene, herbisida, pestisida, pelarut organik, zat pewarna dan semacamnya dapat mempengaruhi rendahnya produksi sperma.
Selain itu, suhu yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan gangguan produksi dan fungsi sperma.
14. Faktor Kesehatan dan Gaya Hidup
Penyebab faktor kesehatan dan gaya hidup, meliputi[1, 5]:
Pada beberapa kasus oligospermia, tidak terdapat tanda dan gejala yang terlihat. Kondisi biasanya baru terdiagnosis ketika pasien mengalami kesulitan mendapatkan keturunan[3].
Akan tetapi, pada pria yang mengalami oligospermia akibat faktor penyebab tertentu seperti abnormalitas kromosom, ketidakseimbangan hormon, atau terjadinya obstruksi, dapat timbul tanda dan gejala tertentu. Berikut beberapa gejala yang dapat dialami pasien oligospermia[3]:
Infertilitas yang disebabkan oleh jumlah sperma rendah dapat menimbulkan stres pada pasien dan pasangannya. Komplikasi kondisi ini meliputi[1]:
Umumnya, orang memeriksakan diri ke dokter setelah mengalami kesulitan mendapatkan keturunan. Dokter perlu melakukan pemeriksaan fisik, mengecek riwayat kesehatan pasien, dan melakukan tes tertentu untuk mendiagnosis. [1,3]
Meski diduga penyebab infertilitas adalah faktor pria, biasanya pasangannya juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan[1, 3].
Oligospermia didiagnosis berdasarkan analisis semen, yang melibatkan pemeriksaan kuantitas dan kualitas sampel semen di laboratorium.
Penghitungan semen umumnya ditentukan dengan memeriksa semen di bawah mikroskop untuk melihat berapa banyak semen yang muncul dalam kotak pada pola kisi-kisi. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan bantuan komputer[1, 2].
Penghitungan semen rendah sering kali terjadi karena pengumpulan sampel yang tidak baik. Jumlah sperma juga sering berubah-ubah. Oleh karena itu, umumnya dokter akan melakukan pengecekan dua atau lebih sampel lagi dari waktu ke waktu untuk memastikan konsistensi antar sampel[1].
Untuk memastikan akurasi koleksi sampel, dokter dapat menginstruksikan hal berikut[1]:
Pasien didiagnosis oligospermia jika jumlah sperma kurang dari 15 juta per ml atau total kurang dari 39 juta sperma per ejakulat[1].
Selain analisis semen, dokter dapat menganjurkan pasien melakukan tes tambahan untuk mencari tahu penyebab kondisi. Jenis tes yang dilakukan dipilih berdasarkan hasil analisis semen yang diperoleh[1].
Berikut beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab oligospermia[1, 3]:
Tes ini menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk memeriksa testis dan struktur pendukungnya
Dokter dapat menganjurkan tes darah untuk memeriksa kadar hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis dan testis, yang mana berperan penting dalam perkembangan seksual dan produksi sperma.
Kandungan sperma di dalam urin dapat mengindikasikan kondisi ejakulasi retrograde (sperma mengalir ke kandung kemih saat ejakulasi).
Jumlah sperma yang sangat rendah dapat disebabkan faktor genetik. Abnormalitas seperti perubahan dalam kromosom Y dapat menjadi penyebab kondisi. Selain itu, tes genetik juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis kondisi kongenital lainnya.
Tes ini dilakukan untuk mengecek ada tidaknya antibodi yang menyerang dan merusak sperma.
Tes ini dilakukan dengan memasukkan lubricated wand kecil ke dalam rektum untuk memeriksa prostat dan mengecek adanya penyumbatan dalam saluran sperma.
Biopsi dilakukan dengan pengambilan sampel jaringan dari testis menggunakan jarum. Biopsi testis dapat dilakukan untuk memastikan kondisi produksi sperma.
Jika produksi sperma normal, maka kemungkinan rendahnya jumlah sperma dalam semen disebabkan adanya penyumbatan dalam saluran. Biopsi testis hanya digunakan pada situasi tertentu.
Pengobatan oligospermia bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas sperma pasien. Pengobatan medis dapat meliputi[1, 2, 4]:
Jika infertilitas disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormon, dokter dapat meresepkan obat hormonal atau pengganti hormon. Pemulihan keseimbangan hormon dapat membantu peningkatan produksi sperma.
Infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik. Pengobatan antibiotik dapat mengatasi infeksi dan mencegah jumlah sperma makin rendah, namun tidak membantu meningkatkan jumlah sperma.
Dokter dapat meresepkan obat dan menganjurkan sesi konseling untuk membantu meningkatkan fertilitas pada pasien dengan kondisi seperti disfungsi erektil atau ejakulasi prematur.
Prosedur operasi dapat dilakukan untuk memperbaiki varikokel atau vas deferens yang mengalami obstruksi. Jika penyebab oligospermia adalah vasektomi, maka pasien dapat melakukan vasektomi terbalik.
Selain pengobatan medis, dokter dapat merekomendasikan beberapa perubahan gaya hidup dan perawatan rumah untuk mengatasi oligospermia. Berikut beberapa langkah perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan[1, 4]:
Berat badan berlebihan atau obesitas meningkatkan risiko oligospermia. Obesitas dapat menurunkan produksi sperma dan mempengaruhi produksi hormon.
Potensi terjadinya pembuahan sel telur dan tercapainya kehamilan lebih tinggi ketika seorang wanita berada pada pertengahan siklus menstruasi atau selama ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium).
Pasien oligospermia dapat mengatur waktu melakukan hubungan seksual bersama pasangan untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan terjadi.
Melakukan hubungan setiap hari atau setiap dua hari sekali pada setidaknya empat hari sebelum ovulasi dapat meningkatkan kemungkinan kehamilan terjadi.
Beberapa produk pelumas dapat mengganggu motilitas dan fungsi sperma, sehingga dapat mencegah sperma mencapai sel telur untuk pembuahan. Jika pelumas diperlukan, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu untuk mencegah terjadi kerusakan sperma.
Pria dengan oligospermia masih dapat melakukan pembuahan dengan sukses, meskipun dapat lebih sulit dibandingkan pria normal. Namun pada beberapa orang, oligospermia dapat menyebabkan kehamilan sulit dicapai. Hal ini disebabkan rendahnya jumlah sperma di dalam cairan semen menurunkan kemungkinan pembuahan dan kehamilan tercapai[1, 4].
Beberapa penyebab paling umum oligospermia juga dapat meningkatkan risiko pasien untuk mengalami masalah fertilitas atau kesuburan, meliputi gangguan motilitas sperma. Sperma yang mengalami gangguan motilitas dapat kesulitan berenang untuk mencapai sel telur[4].
Menurut studi tahun 2015, oligospermia termasuk salah satu faktor penyebab infertilitas pria yang paling signifikan, selain astenospermia (motilitas sperma rendah) dan teratospermia (morfologi sperma abnormal).[6]
Sebanyak 90% masalah infertilitas pria berhubungan dengan jumlah sperma, dan terdapat hubungan antara parameter semen abnormal dan jumlah sperma[6].
Opsi yang dapat membantu orang yang mengalami kesulitan pembuahan meliputi IVF (in vitro fertilization) dan ICSI (intracytoplasmic sperm injection). [2]
Kedua teknik reproduksi berbantu ini melibatkan pengambilan sperma langsung dari testis untuk kemudian dipertemukan dengan sel telur. Pada prosedur ICSI sperma diinjeksikan langsung ke sitoplasma sel telur untuk fertilisasi (pembuahan)[2].
Jika fertilisasi berhasil maka akan diperoleh embrio yang kemudian dimasukkan ke uterus wanita melalui prosedur embrio transfer[2].
Untuk mencegah oligospermia dan menjaga produksi sperma, pria dapat melakukan langkah-langkah pencegahan sebagai berikut[1, 5]:
1. Anonim. Low Sperm Count. Mayo Clinic; 2020.
2. Dr. Liji Thomas, MD. Low Sperm Count. News Medical Life Sciences; 2019.
3. Anonim. What Is Oligospermia? Nova IVF; 2019.
4. Kimberly Holland, reviewed by Daniel Murrell, MD. Oligospermia and Fertility: What You Should Know. Healthline; 2018.
5. Damayanthi Durairajanayagam. Lifestyle Causes of Male Infertility. Arab Journal of Urology; 2018.
6. Naina Kumar and Amit Kant Singh. Trends of Male Factor Infertility, an Important Cause of Infertility: A Review of Literature. Journal of Human Reproductive Sciences; 2015.