Penyakit & Kelainan

Orthorexia : Penyebab – Gejala dan Penanganan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Orthorexia?

Orthorexia juga dikenal dengan istilah orthorexia nervosa, yaitu sebuah kondisi gangguan makan di mana seseorang terlalu terobsesi dengan pola makan sehat [1,2,3,4,6,8,9,10,11].

Istilah orthorexia berasal dari kata ortho di mana dalam bahasa Yunani memiliki makna tepat atau benar di mana istilah ini ditemukan pertama kali kali ini pada tahun 1997 [1].

Jika gangguan makan lainnya adalah kondisi ketika seseorang memaksakan diri untuk tidak makan atau memuntahkan kembali makanannya, orthorexia adalah kondisi seseorang yang berkutat dengan makanan sehat.

Walau mengutamakan atau cenderung memiliki obsesi terhadap kualitas makanan (bukan kuantitas), penderita orthorexia tidak seperti penderita bulimia atau anorexia yang memiliki fokus pada penurunan berat badan.

Obsesi orang-orang dengan orthorexia lebih kepada manfaat dari pola makan baik dan sehat namun secara berlebihan.

Tinjauan
Orthorexia atau orthorexia nervosa, yaitu sebuah kondisi gangguan makan di mana seseorang terlalu terobsesi dengan pola makan sehat tanpa berfokus pada berat badan. Namun, obsesinya ini dapat merugikan secara fisik, psikologis dan sosial.

Fakta Tentang Orthorexia

  1. Pada tahun 1997, Steven Bratman adalah yang pertama kali menamai istilah gangguan makan ini sebagai orthorexia (ortho = benar dan orexi = selera makan) [1].
  2. Sebuah hasil studi dari Jerman tahun 2017 menunjukkan bahwa media sosial Instagram berpengaruh terhadap peningkatan kasus gejala orthorexia [3].
  3. Dari orang yang menjadi partisipan di penelitian tersebut, 680 orang diantaranya (remaja puteri dan perempuan dewasa) mengalami orthorexia, yaitu sekitar 49% kasus [3].
  4. Sebuah hasil studi tahun 2017 mengenai kesehatan, olahraga dan diet menunjukkan bahwa 71% dari 275 orang mahasiswa Amerika yang menjadi partisipan diketahui memiliki gejala perilaku yang mengarah pada orthorexia [2].
  5. Dari 11 hasil studi, diketahui bahwa prevalensi orthorexia pada populasi umum adalah 6,9% di mana orang-orang dengan profesi petugas medis dan artis memiliki persentase 35-57,8% [5].

Penyebab Orthorexia

Orthorexia merupakan fokus hidup sehat yang terlalu ekstrem dengan melakukan diet sehat melebihi tingkat kewajaran.

Tujuan seseorang dalam mengonsumsi makanan sehat umumnya sangat baik namun pada beberapa orang dapat berkembang menjadi orthorexia karena tendensi obsesif-kompulsifnya.

Mengonsumsi makanan yang benar dan sehat tidaklah salah, namun obsesi berlebihan tentunya bukan suatu hal yang baik karena kebiasaan seperti ini terkait dengan gangguan mental sekaligus fisik.

Beberapa faktor risiko yang diketahui menjadi pemicu seseorang mengalami gangguan makan satu ini antara lain adalah [1,4,5,11] :

  • Tingkat kecemasan yang tinggi.
  • Memiliki sifat perfeksionis.
  • Memiliki sifat pengontrol.
  • Mempunyai karir/profesi yang berhubungan dengan kesehatan atau kebugaran secara fisik, seperti penari balet, penyanyi opera, petugas kesehatan, dan atlet.

Beberapa faktor lain seperti status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, jenis kelamin serta usia dapat berpengaruh namun belum dapat dibuktikan dan masih perlu diteliti lebih dalam.

Tinjauan
Beberapa faktor yang diduga erat menjadi peningkat risiko seseorang mengalami orthorexia adalah tingkat kecemasan berlebih, sifat perfeksionis, hingga seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai artis, atlet, atau petugas kesehatan.

Gejala Orthorexia

Perilaku obsesif terhadap diet sehat dengan pola makan super sehat memiliki sejumlah tanda yang dapat dikenali.

Selain menjaga diet sehat tetap sempurna (tanpa memerhatikan dan tidak fokus pada berat badan), beberapa hal berikut ini adalah gejala penderita orthorexia [8] :

  • Menghindari sumber makanan atau produk hewani.
  • Menghindari produk olahan susu.
  • Menghindari garam.
  • Menghindari gula dan makanan-makanan manis.
  • Menghindari makanan berlemak.
  • Menghindari makanan berpengawet, makanan dengan pewarna, dan makanan dengan perasa.

Selain itu, sejumlah perilaku di bawah ini menjadi pertanda bahwa seseorang terlalu terobsesi dengan pola makan sehat adalah :

  • Terlalu memerhatikan dan mempermasalahkan teknik dalam mempersiapkan makanan.
  • Terlalu mempermasalahkan cara mencuci bahan makanan maupun peralatan makan.
  • Mengonsumsi suplemen, probiotik, dan/atau obat herbal yang jumlah takarannya berpotensi meningkat seiring waktu.
  • Menghindari makanan tertentu secara berlebihan tanpa saran medis.
  • Terlalu mempermasalahkan hubungan antara makanan tertentu dengan penyakit tertentu, khususnya jika memiliki alergi, kecemasan, masalah pencernaan, penyakit pernafasan (seperti asma), serta suasana hati yang buruk.
  • Mengurangi jumlah makanan yang dimakan dalam sehari, seperti misalnya tidak mengonsumsi lebih dari 10 makanan sehat.
  • Menghindari konsumsi makanan yang telah disiapkan atau dibuatkan oleh orang lain.
  • Membuat perencanaan menu jauh-jauh hari.
  • Menggunakan waktu yang cukup banyak hanya untuk memikirkan tentang makanan

Tak hanya dari segi perilaku, gejala emosional pun akan nampak pada penderita orthorexia walau mungkin penderitanya sendiri tak menyadari.

Seperti halnya anorexia maupun bulimia, peraturan ketat yang diciptakan sendiri mampu menimbulkan masalah emosional, seperti :

  • Perubahan suasana hati drastis (mood swing).
  • Kecemasan yang meningkat.
  • Diliputi rasa bersalah ketika keluar dari aturan diet sehat walau sedikit.
  • Menjaga jarak atau menghindari anggota keluarga maupun teman yang tidak memiliki pandangan sama mengenai pola makan sehat.
  • Ketakutan berada jauh dari rumah yang akan menghambat pola makan atau diet sehatnya.
  • Kondisi depresi yang dapat bertambah buruk.
  • Merasa lebih puas ketika mengonsumsi makanan-makanan sehat.
  • Berpikir atau bahkan mengritisi orang lain yang tak memiliki pola makan yang sama dengannya.

Apakah orthorexia dan anorexia nervosa merupakan kondisi yang serupa?

Orthorexia nervosa dan anorexia nervosa pada dasarnya merupakan jenis gangguan makan.

Beberapa ahli menyatakan bahwa anorexia nervosa dan orthorexia adalah dua kondisi berlainan yang tak berkaitan.

Namun beberapa ahli lainnya meyakini bahwa bila seseorang mengalami gejala-gejala orthorexia, maka itu artinya dirinya juga sedang mengalami anorexia.

Beberapa poin kesamaan yang dimiliki oleh seseorang dengan anorexia serta orthorexia antara lain adalah [1,3,4,5,6] :

  • Memiliki gangguan obsesif-kompulsif (OCD/obsessive-compulsive disorder).
  • Memiliki keinginan mengendalikan dengan baik kehidupannya, salah satunya melalui asupan makanan yang terkontrol.
  • Mengaku terdiagnosa alergi makanan sebagai alasan yang logis untuk benar-benar menghindari jenis makanan tertentu.
  • Mencari kepuasan untuk diri sendiri dengan mengendalikan asupan makanan melalui diet sehat yang terlalu obsesif.
  • Memiliki kondisi isolasi sosial karena terlalu berfokus pada makanan sehat.

Sementara itu, perbedaan mencolok dari kedua kondisi adalah fokus dan tujuan penderita.

Jika anorexia dan bulimia cenderung membatasi asupan makanan karena tidak ingin gemuk, penderita orthorexia hanya ingin tubuhnya sehat secara alami [1,4,5,6,11].

Untuk sehat alami, segala macam makanan berkualitaslah yang dikonsumsi terlepas dari kuantitasnya.

Jika orang terdekat memiliki masalah dengan gejala orthorexia dan mengkhawatirkannya, maka ada baiknya untuk membawanya ke seorang psikiater atau psikolog.

Hal ini bertujuan untuk mengonfirmasi gangguan makan apa yang dialami dan tentu untuk mengatasinya secara dini agar tidak berakibat pada komplikasi berbahaya bagi tubuhnya.

Tinjauan
Gejala orthorexia dapat dilihat dari sisi pola pikir penderita, perilaku, dan sisi emosionalnya.

Perbedaan Orthorexia dengan Pola Makan Sehat Biasa

Jika antara orthorexia dan anorexia lebih mudah membedakannya, yang lebih sulit adalah membedakan antara orthorexia dengan kebiasaan atau pola makan sehat biasa.

Berikut ini beberapa hal yang dapat diperhatikan untuk membedakan antara gejala orthorexia dengan pola makan sehat pada umumnya [9].

  • Khawatir atau Takut Jatuh Sakit

Semua orang tentu tidak ingin jatuh sakit dan sebisa mungkin menjaga makan sehari-hari dengan baik.

Namun pada kasus orthorexia, penderitanya akan memiliki kekhawatiran dan ketakutan ini begitu konstan.

Perasaan takut jatuh sakit hanya karena sesekali mengonsumsi makanan yang tidak sehat atau takut terhadap makanan yang tidak sehat dapat meracuni tubuh adalah hal yang kurang wajar.

  • Pola Makan Tidak Fleksibel

Seseorang dengan kondisi orthorexia begitu ketat menjalani dietnya, jadi bila diet sehat biasa kemungkinan akan ada cheating day, maka penderita orthorexia tidak memiliki hari seperti itu.

Ketika dihadapkan hanya dengan pilihan makanan tidak sehat, maka mereka akan memilih untuk tidak memakan makanan tersebut.

  • Kualitas Makanan

Kualitas makanan menjadi hal nomor nomor satu yang difokuskan, yaitu makanan-makanan yang segar, organik, dan mentah seperti halnya gaya hidup vegan.

Kuantitas atau porsi makanan tidak begitu penting, karena yang terpenting makanan tersebut sangat sehat (jauh dari olahan).

  • Kecemasan Terhadap Makanan Tertentu

Ketika dihadapkan dengan makanan-makanan “terlarang” bagi mereka, para penderita orthorexia akan teramat intens dan tidak nyaman.

Hal ini dapat memicu depresi karena kekhawatiran berlebihan terhadap pilihan makanan yang dianggap penderita orthorexia tidak sehat.

  • Stres saat Melanggar Aturan Diet Sehat

Sekalipun terpaksa harus menghindari sebentar saja pola diet sehat berlebihan tersebut, kecemasan, stres, hingga depresi dapat terjadi pada penderita orthorexia.

Seseorang dengan kebiasaan makan sehat yang wajar tidak akan terlalu mempermasalahkan diet yang terhambat selama beberapa waktu.

Pola makan tak sehat sementara dapat diganti beberapa hari kemudian, namun penderita orthorexia akan mengalami rasa bersalah yang cukup besar.

Diet sehat biasa dan normal kemungkinan besar memberikan efek turunnya berat badan, namun pada kasus orthorexia, bukan tidak mungkin penurunan berat badan terjadi secara ekstrem.

Ketidakseimbangan asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh karena pola makan sehat berlebihan dapat menyebabkan malnutrisi.

Tubuh manusia tetap memerlukan gula, lemak, dan garam, maka jika menghindari seluruh makanan dengan kandungan tersebut secara total adalah tindakan yang kurang bijak.

Walau penderita orthorexia menganggap makanan sehat yang dikonsumsi setiap hari membuat tubuh mereka juga sehat, sebenarnya penurunan badan yang terjadi justru sebaliknya.

Pemeriksaan Orthorexia

Untuk dapat membedakan apakah seseorang benar-benar mengalami orthorexia ataukah sekadar memiliki kebiasaan makan sehat yang normal, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan.

Kriteria menurut Bratman dan Dunn di bawah ini digunakan untuk mendiagnosa orthorexia pada seseorang [1,10].

1. Fokus Makan Sehat secara Obsesif

Untuk mengetahui apakah pola makan sehat seseorang telah masuk di dalam golongan gangguan kesehatan mental, sisi emosional terhadap makanan tertentu perlu dianalisa.

Dokter atau psikiater perlu mengetahui apakah pasien memiliki perilaku obsesif-kompulsif terkait diet dan pilihan makanannya selama ini.

Melanggar aturan diet sehat yang pasien berlakukan selama ini juga akan dilihat apakah mampu memengaruhi sisi emosionalnya.

Pembatasan makanan secara berlebihan juga akan ditelaah untuk mendeteksi tanda orthorexia.

2. Kebiasaan yang Menghambat Kelangsungan Hidup

Pemeriksaan juga dilanjutkan dengan melihat adanya perilaku kompulsif yang membuat keseharian pasien tidak berjalan dengan normal.

Dokter akan mengecek apakah pasien mengalami :

  • Mengalami penurunan berat badan yang drastis dan parah.
  • Mengalami kekurangan gizi karena pembatasan ekstrem terhadap makanan.
  • Mengalami kondisi medis tertentu akibat memiliki perilaku kompulsif ini.
  • Memiliki masalah akademis maupun sosial yang terjadi akibat pola diet sehat berlebihan.
  • Memiliki kepuasan yang berlebihan terhadap diet sehat tak wajar yang selama ini dijalani.
Tinjauan
Pemeriksaan atau diagnosa orthorexia adalah berdasarkan kriteria Bratman dan Dunn, yaitu melihat dari fokus pasien dalam menjalani makan sehat dan tingkat obsesinya serta adakah kebiasaan sehat tersebut yang memengaruhi kehidupan sehari-hari pasien.

Penanganan Orthorexia

Para penderita orthorexia tidak menyadari sama sekali bahwa pola diet sehat yang mereka jalani mampu berdampak buruk bagi kesehatan.

Bagi mereka, pola makan sehat yang sudah benar tentunya memberikan manfaat kesehatan maksimal bagi tubuh mereka.

Untuk itu, membantu pasien mengidentifikasi masalah utama atau penyebab orthorexia ini adalah awal perawatan yang dibutuhkan.

Lalu, mengubah pola pikir penderita orthorexia dan memberikan informasi terkait dampak buruk diet tersebut bagi kesehatan, kehidupan sosial hingga kegiatan sehari-hari juga penting.

Penderita perlu tahu apa saja efek negatif dari diet sehat berlebihan dan hal ini dapat disampaikan utamanya oleh ahli diet, ahli nutrisi, atau psikolog.

Beberapa perawatan yang mampu mengatasi masalah orthorexia antara lain adalah :

  • Pemberian obat.
  • Metode relaksasi dalam berbagai bentuk.
  • Restrukturisasi kognitif.
  • Modifikasi perilaku (dapat melalui terapi perilaku kognitif atau terapi perilaku dialektik).
  • Pemberian edukasi dan informasi mengenai nutrisi yang tepat untuk membuang segala keyakinan dan pola pikir mengenai makanan yang salah.
Tinjauan
Memberikan pemahaman yang benar melalui edukasi pola hidup sehat serta terapi perilaku merupakan cara yang terbaik untuk membantu pasien lepas dari orthorexia.

Komplikasi Orthorexia

Orthorexia merupakan sebuah kondisi yang sebaiknya tidak diabaikan, sebab berbagai komplikasi terkait kesehatan fisik dan psikologis penderitanya cukup serius.

Komplikasi Fisik

Menerapkan asupan makanan yang terbatas dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sehat sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah dan jenis nutrisi yang seharusnya diterima oleh tubuh.

Beberapa risiko komplikasi yang terjadi pada fisik penderita orthorexia antara lain adalah [6,12,13,14] :

  • Anemia
  • Ketidakseimbangan hormon dan elektrolit dalam tubuh.
  • Detak jantung melambat.
  • Kurang gizi atau malnutrisi.
  • Masalah pencernaan (ketika malnutrisi parah sudah terjadi).
  • Gangguan kesehatan tulang.
  • Asidosis metabolik.

Jika komplikasi fisik tersebut terjadi dan tidak mendapatkan pertolongan medis secepatnya, maka kondisi orthorexia dapat berujung pada kematian.

Komplikasi Psikologis

Dari sisi psikologis, seseorang dengan orthorexia dapat mengalami rasa frustrasi dan stres yang intens terhadap kebiasaan makan dan dietnya, khususnya jika sekali saja dietnya terganggu.

Komplikasi pada sisi psikologis dapat diketahui ketika beberapa hal ini terjadi [6,7] :

  • Timbul rasa bersalah secara berlebihan ketika diet sehat tidak dijalankan seperti biasanya.
  • Timbul rasa benci terhadap diri sendiri ketika diet tidak berjalan seperti yang direncanakan.
  • Melakukan puasa untuk ‘membersihkan’ tubuh dari makanan-makanan ‘tidak sehat’ yang dikonsumsi.
  • Timbul rasa khawatir berlebih tentang sayuran yang terpapar pestisida, makanan dengan perasa dan bahan pengawet, hingga ‘anti’ terhadap produk olahan susu.
  • Sebagian besar waktu digunakan untuk merencanakan menu makanan untuk esok hari, menimbang makanan, dan mencari informasi mengenai jenis atau segala yang berhubungan dnegan makanan sehat.

Terlalu terobsesi dengan makanan sehat akan membuat fungsi memori otak menjadi lebih lemah.

Hal ini dapat memengaruhi kemampuan dalam memecahkan dan menyelesaikan masalah.

Tak hanya itu, daya konsentrasi akan sangat kurang pada hal-hal di sekeliling.

Komplikasi Sosial

Penderita orthorexia merasa terlalu frustasi ketika harus makan di luar rumah, karena rata-rata makanan yang disajikan di luar tidak sesuai dengan ekspektasi dan standar kesehatan yang dimilikinya.

Secara tak langsung, hal ini berpengaruh pada kehidupan sosial penderita, yaitu menarik diri dari acara-acara makan bersama atau pesta di luar rumah.

Bukan hanya berkemungkinan menolak ajakan makan di luar, biasanya orang-orang dengan orthorexia juga menganggap bahwa sudut pandangnya terhadap makanan dan pola hidup sehatnya lebih superior.

Kecenderungan untuk tidak setuju atau malah membenci cara pikir dan makan orang lain bisa saja terjadi.

Faktor ini mampu membuat interaksi sosial dengan orang lain menjadi terhambat, bahkan dengan anggota keluarganya sendiri.

Bukan tidak mungkin, orthorexia mengakibatkan seseorang mengisolasi diri karena ingin menghindari makanan yang tidak sehat menurut mereka serta menghindari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka [6,7].

Tinjauan
Komplikasi orthorexia yang diabaikan dapat memengaruhi fisik secara buruk. Tak hanya komplikasi fisik, komplikasi pada sisi psikologis atau emosional dan kehidupan sosial penderita dapat ikut terpengaruh.

Pencegahan Orthorexia

Seringkali orthorexia terjadi berawal dari seseorang yang ingin melakukan diet sehat, namun kemudian akhirnya berakhir sangat terobsesi dengan pola diet seperti itu. [9,11]

Agar tidak telanjur mengalami orthorexia, seseorang yang ingin melakukan diet perlu berkonsultasi dengan ahli diet dan nutrisi untuk melakukannya secara benar.

Diperlukan pemahaman yang benar dan positif terhadap makanan supaya tidak berlanjut pada kondisi ekstrem seperti orthorexia.

  • Tidak masalah mempertimbangkan setiap makanan dan jumlah kalorinya bagi tubuh dan apakah makanan tersebut merugikan atau bermanfaat, namun pastikan nutrisinya terpenuhi secara lengkap dan seimbang.
  • Jika dari diet sehat yang sedang dijalani justru memberikan efek negatif bagi kesehatan (secara fisik, psikologis dan sosial), pastikan untuk segera mengonsultasikannya dengan seorang psikolog/psikiater agar tidak berakhir orthorexia.
  • Jika gejala sudah mulai nampak dan dirasakan, sebelum orthorexia semakin serius, pastikan menemui dan berkonsultasi dengan psikolog, dokter, atau ahli diet agar komplikasi buruk tidak terjadi.
Tinjauan
Pemahaman yang benar terhadap diet sehat sangat penting dalam mencegah orthorexia. Pemenuhan nutrisi secara lengkap dan seimbang adalah pola diet terbaik yang dapat diterapkan sehingga tidak terlalu ekstrem. Bila gejala orthorexia mulai nampak atau dirasakan, berkonsultasi dengan dokter/psikolog/ahli diet dan nutrisi sangat dianjurkan.

1. Jonathan R. Scarff, MD. Orthorexia Nervosa: An Obsession With Healthy Eating. Federal Practitioner; 2017.
2. Thomas M Dunn, Josh Gibbs, Noelle Whitney & Amy Starosta. Prevalence of Orthorexia Nervosa Is Less Than 1 %: Data From a US Sample. Eating and Weight Disorders; 2017.
3. Pixie G. Turner & Carmen E Lefevre. Instagram use is linked to increased symptoms of orthorexia nervosa. Eating and Weight Disorders; 2017.
4. Fabrizio Bert, Maria Rosaria Gualano, Gianluca Voglino, Paola Rossello, Jean Paul Perret, Roberta Siliquini, & Emily Sauers. Orthorexia Nervosa: A cross-sectional study among athletes competing in endurance sports in Northern Italy. PLoS One; 2019.
5. Jana Strahler, Andrea Hermann, Bertram Walter, & Rudolf Stark. Orthorexia nervosa: A behavioral complex or a psychological condition? Journal of Behavioral Addictions; 2018.
6. Nancy S Koven & Alexandra W Abry. The clinical basis of orthorexia nervosa: emerging perspectives. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 2015.
7. Márta Varga, Szilvia Dukay-Szabó, Ferenc Túry, & Eric F van Furth. Evidence and Gaps in the Literature on Orthorexia Nervosa. Eating and Weight Disorders; 2013.
8. Anonim. The Leading Orthorexia Treatment Center for Women & Girls. Timberline Knolls; 2020.
9. Kimberly Wick. 8 Warning Signs of Orthorexia. Walden Eating Disorders; 2020.
10. Thomas M. Dunn & Steven Bratman. On orthorexia nervosa: A review of the literature and proposed diagnostic criteria. Eating Behaviors. Volume 21. Elsevier; 2016.
11. Jacquelyn Ekern MS, LPC. Avoiding Orthorexia: Maintaining Nutritional Balance at College. Eating Disorder Hope; 2015.
12. Ryan M Moroze, Thomas M Dunn, J Craig Holland, Joel Yager & Philippe Weintraub. Microthinking About Micronutrients: A Case of Transition From Obsessions About Healthy Eating to Near-Fatal "Orthorexia Nervosa" and Proposed Diagnostic Criteria. Psychosomatics; 2015.
13. Sang Won Park, Jeong Yup Kim, Gang Ji Go, Eun Sil Jeon, Heui Jung Pyo, & Young Joo Kwon. Orthorexia Nervosa With Hyponatremia, Subcutaneous Emphysema, Pneumomediastimum, Pneumothorax, and Pancytopenia. Electrolyte and Blood Pressure; 2011.
14. Martina M Cartwright. Eating Disorder Emergencies: Understanding the Medical Complexities of the Hospitalized Eating Disordered Patient. Critical Care Nursing Clinics of North America; 2004.

Share