Parosmia merupakan istilah medis untuk kondisi penciuman yang terganggu dan mengakibatkan seseorang mengalami gangguan kemampuan mendeteksi aroma atau bau apapun di sekitar dengan benar [1,4].
Parosmia dan anosmia adalah dua hal berbeda, sebab dalam hal parosmia, penderita tak lagi memiliki intensitas aroma sehingga apa yang tercium selalu terkesan tidak menyenangkan atau bahkan terlalu kuat [2,4].
Parosmia pun bukan phantosmia, sebab keduanya adalah kondisi berbeda [3,4].
Phantosmia adalah sebuah kondisi ketika seseorang memiliki kemampuan mencium aroma ‘hantu’ atau aroma yang sebenarnya tidak ada namun tercium oleh indera penciuman [3].
Sementara parosmia adalah kemampuan tak normal dalam mendeteksi aroma yang ada dan kerap ditandai dengan kekeliruan dalam mencium dan mendefinisikan bau [1,4].
Daftar isi
Parosmia dapat terjadi pada beberapa orang usai sembuh dari Covid-19 terlebih apabila sebelumnya memiliki gejala Covid-19 berupa kehilangan kemampuan mencium dan mengecap [4,5].
Parosmia setelah sembuh Covid-19 sendiri merupakan kejadian yang cukup banyak dijumpai dan rupanya faktor jenis kelamin maupun faktor usia turut berperan sebagai peningkat risikonya [4,5].
Sebuah hasil studi menunjukkan bahwa parosmia terjadi pada 268 orang yang sudah sembuh dari Covid-19 [5].
Dari total 268 orang tersebut, 73,5% diantaranya adalah perempuan dan 70,1% diantaranya berusia 30 tahun ke bawah [5].
Apa kaitan antara parosmia dan Covid-19?
Covid-19 menimbulkan berbagai macam gejala pada penderitanya sekalipun seringkali penyakit ini menyerang tanpa adanya gejala [1,4].
Beberapa diantaranya adalah gejala umum yang mirip dengan flu, namun ada pula yang menunjukkan ketidakwajaran, seperti kehilangan fungsi indera pengecap dan penciuman [2].
Masalahnya, kondisi seperti ini tidak hanya terjadi saat seseorang terinfeksi, gangguan indera penciuman tetap bisa dialami oleh orang-orang yang sudah sembuh dari Covid-19 [1,4].
Jika anosmia seringkali menjadi salah satu gejala Covid-19, parosmia justru dialami usai penderita Covid-19 sembuh [1,4].
Tidak hanya indera penciuman, tapi juga indera pengecap atau perasa pun ikut terpengaruh. Beberapa distorsi aroma yang dialami oleh penderita parosmia antara lain adalah [1,4] :
Menurut sebuah survei yang dilakukan pada Juni 2021 lalu, dari 1.299 orang responden, diketahui bahwa parosmia dialami oleh 140 orang diantaranya atau sekitar 10,8% dari mereka yang sudah sembuh dari Covid-19 [6].
Parosmia dapat berkembang secara bertahap, namun ada pula yang mengalami onset yang tiba-tiba dengan sejumlah pemicu, seperti [4] :
Makanan-makanan dengan aroma khas yang juga biasanya cukup menyengat mampu memicu parosmia sehingga indera penciuman penderita akan terdistorsi [4].
Penciuman yang seharusnya normal menjadi tidak menyenangkan dan bau makanan-makanan tersebut akan tercium busuk [4].
Namun, belum diketahui secara pasti bagaimana Covid-19 mampu menyebabkan parosmia [4].
Sejumlah ahli meyakini bahwa inflamasi atau peradangan yang menyerang langit-langit hidung menjadi faktor risiko gangguan pada pernafasan [4].
Maka dalam kasus pasien yang sudah sembuh dari Covid-19, virus Sars-CoV-2 menginfeksi dan merusak saraf sekaligus reseptor yang berkaitan dengan kemampuan mencium [4].
Parosmia pada dasarnya merupakan sebuah kondisi gangguan indera penciuman yang tak hanya terjadi setelah seseorang terkena Covid-19 [1,4,5].
Parosmia juga sudah terlampau sering terjadi pada pasien yang baru pulih dari sejumlah infeksi lain, terutama infeksi saluran pernafasan atas yang disebabkan oleh virus atau bakteri [1,4].
Gejala dari parosmia sendiri bisa bermacam-macam tergantung dari kasus infeksi yang dialami penderita.
Namun beberapa kondisi di bawah ini adalah gejala paling umum dari parosmia yang juga bisa diamati apakah terjadi usai sembuh dari Covid-19 [1,4,5].
Berapa lama penderita mengidap parosmia setelah sembuh Covid-19?
Parosmia yang timbul setelah penderita sembuh dari Covid-19 umumnya akan pulih dengan baik seiring waktu [4].
Meski demikian, parosmia biasanya tidak bisa hilang dalam hitungan hari, tapi membutuhkan beberapa minggu hingga beberapa bulan untuk penderita benar-benar pulih [4].
Menurut survei dari sebuah hasil studi, membutuhkan waktu sekitar 3 bulan bagi 49,3% pasien parosmia dan 50,7% penderita parosmia lainnya pulih dalam waktu 3 bulan lebih [4,6].
Sebuah studi pada Mei 2021 lalu juga menunjukkan bahwa ada sejumlah pasien parosmia yang dapat pulih dalam waktu 9 hari sampai dengan 6 bulan [4,5].
Jika setelah sembuh dari Covid-19 terdapat gejala yang mengarah pada parosmia, untuk memastikannya penderita dapat menjalani pemeriksaan dengan menemui otolaryngologist (dokter spesialis THT) [1,4,5].
Pada prosedur pemeriksaan, dokter akan lebih dulu memberikan beberapa material atau zat berbeda untuk pasien bisa cium [1,4].
Dokter kemudian akan bertanya kepada pasien mengenai deskripsi aroma zat-zat tersebut lalu mengurutkannya berdasarkan kualitas bau [1,4].
Sejumlah pemeriksaan lain yang penting bagi pasien untuk tempuh demi memastikan kondisi parosmia antara lain adalah [1,4,5] :
Parosmia yang timbul usai sembuh dari Covid-19 sebenarnya tidak memerlukan penanganan khusus karena dapat sembuh dengan sendirinya.
Namun jika mengkhawatirkan, beberapa metode penanganan di bawah ini dapat coba ditempuh agar kondisi tubuh lebih baik.
Perawatan yang dapat dijalani penderita parosmia salah satunya adalah smell training atau latihan mencium dan biasanya meliputi latihan mengendus selama 20 detik pada sekelompok aroma yang disediakan oleh tenaga medis [7].
Prosedur smell training perlu dijalani oleh pasien sehari setidaknya 2 kali selama 3 bulan dan bisa jadi lebih dari itu [8].
Namun selama menjalani perawatan ini, aroma-aroma tertentu yang membantu smell training pasien adalah aroma pedas (ketumbar), aroma bunga (mawar), aroma resin (kayu putih), dan aroma buah (lemon) [8].
Namun pada terapi latihan ini, pasien diperbolehkan untuk memilih aroma sendiri, terlebih aroma paling disukai yang membangkitkan beberapa kenangan [8].
Hasil studi tahun 2015 yang melibatkan para pasien disfungsi indera penciuman akibat infeksi yang menempuh smell training selama 12 sampai 24 minggu mampu membantu meningkatkan kemampuan indera penciuman mereka kembali [9].
Aroma berbeda setidaknya sudah mulai dapat tercium dan dibedakan oleh para penderita.
Oleh sebab itu, penderita parosmia setelah sembuh Covid-10 masih memiliki harapan untuk memulihkan indera penciuman melalui smell training ini.
Pola hidup pasien parosmia sekaligus pasien Covid-19 yang baru pulih perlu berubah menjadi lebih baik, sehat dan seimbang.
Artinya, pasien perlu menghindari aroma-aroma tertentu yang akan memicu aroma tertentu, seperti membatasi aktivitas penyajian dan konsumsi makanan dengan aroma khas (telur, bawang merah/putih, maupun daging-dagingan) [1,4].
Mengonsumsi makanan dingin atau setidaknya makanan yang berada di suhu ruang sangat dianjurkan [4].
Parosmia juga tidak akan terpicu oleh makanan-makanan tanpa rasa yang kuat seperti sayuran yang dikukus maupun oatmeal [1,4].
Jika terganggu dengan aroma tertentu, segera buka jendela atau nyalakan kipas angin untuk menghalau aroma yang tercium tak sedap [4].
Hindari juga sejumlah wilayah atau tempat dengan bau yang khas dan kuat (pusat perbelanjaan, konter parfum, restoran, dan swalayan) [4].
Parosmia yang terjadi setelah sembuh dari Covid-19 rupanya berpotensi menurunkan kualitas hidup penderitanya.
Sebab pada sejumlah penderita parosmia, beberapa risiko komplikasi ini dialami oleh mereka [4,10,11] :
Belum diketahui bagaimana cara mencegah parosmia, termasuk pada kasus pasien yang baru sembuh dari Covid-19.
Meski parosmia rata-rata dapat sembuh dengan sendirinya, tak ada salahnya untuk segera ke dokter untuk menempuh sejumlah perawatan.
Hal ini bertujuan untuk menghindari beberapa risiko komplikasi yang mampu membuat penderita tak nyaman, depresi, hingga memiliki penurunan kualitas hidup karenanya.
1. Rosella Ciurleo, Simona De Salvo, Lilla Bonanno, Silvia Marino, Placido Bramanti, & Fabrizia Caminiti. Parosmia and Neurological Disorders: A Neglected Association. Frontiers in Neurology; 2020.
2. Xi Li & Forshing Lui. Anosmia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
3. Sara Sjölund, Maria Larsson, Jonas K. Olofsson, Janina Seubert, & Erika J. Laukka. Phantom Smells: Prevalence and Correlates in a Population-Based Sample of Older Adults. Chemical Senses; 2017.
4. Meredith Goodwin, MD, FAAFP & Jill Seladi-Schulman, Ph.D. Parosmia After COVID-19: What to Know. Healthline; 2021.
5. Rasheed Ali Rashid, Ameer A. Alaqeedy, & Raid M. Al-Ani. Parosmia Due to COVID-19 Disease: A 268 Case Series. Nature Public Health Emergency Collection; 2021.
6. Nasim Raad MD, Jahangir Ghorbani MD, Ali Safavi Naeini MD, Neda Tajik MD, & Mahboobeh Karimi-Galougahi MD. Parosmia in patients with COVID-19 and olfactory dysfunction. International Forum of Allergy & Rhinology; 2021.
7. Katherine Lisa Whitcroft, BSc, MBChB & Thomas Hummel, MD. Olfactory Dysfunction in COVID-19 Diagnosis and Management. JAMA Insights; 2020.
8. Anonim. Sixty seconds on . . . smell training. British Medical Journal; 2021.
9. Aytug Altundag, Melih Cayonu, Gurkan Kayabasoglu, Murat Salihoglu, Hakan Tekeli, Omer Saglam & Thomas Hummel. Modified olfactory training in patients with postinfectious olfactory loss. Laryngoscope; 2015.
10. Duika L. Burges Watson, Miglena Campbell, Claire Hopkins, Barry Smith, Chris Kelly, & Vincent Deary. Altered smell and taste: Anosmia, parosmia and the impact of long Covid-19. PLoS One; 2021.
11. I Croy & S Yarina, T Hummel. Enhanced parosmia and phantosmia in patients with severe depression. Psychological Medicine; 2013.