Tinjauan Medis : dr. Angelia Chandra
Demam chikungunya adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus chikungunya. Penularan virus ini diperantarai oleh jenis nyamuk yang sama dengan penyakit demam dengue namun dengan jenis virus
Demam Chikungunya telah menjadi salah satu wabah yang tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah beriklim subtropis dan tropis, termasuk Indonesia.
Indonesia, Maldives, Myanmar, dan Thailand telah melaporkan lebih dari 1.9 juta kasus sejak tahun 2005 (WHO). Kementerian kesehatan Indonesia mencatat 80,000 kasus tambahan dalam kurun satu tahun terhitung dari tahun 2008 ke 2009. [1]
Daftar isi
Penyakit chikungunya atau demam chikungunya adalah salah satu penyakit penyebab epidemi yang disebabkan oleh virus chikungunya dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Akibatnya, penderita chikungunya mengalami demam, ruam, dan arthritis (radang sendi). [2] [3]
Walaupun penyakit chikungunya dan demam berdarah disebarkan dari jenis nyamuk yang sama, namun virus penyebab penyakit ini berbeda.
Penyakit chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya, sedangkan demam berdarah disebabkan oleh virus Dengue.
Virus Chikungunya termasuk dalam kategori alphavirus dan tergolong dalam keluarga Togaviridae. Hingga saat ini, hanya ditemukan satu jenis/serotype virus chikungunya. [2]
Daerah beriklim tropis memungkinkan nyamuk berkembang biak. Hal inilah yang menyebabkan negara tropis memiliki kasus Chikungunya lebih besar. Namun penyakit ini juga sudah mewabah pada negara empat musim, seperti Perancis dan America dengan lebih dari satu juta kasus terhitung pada tahun 2015. [4] [5] [6]
Studi literatur telah melaporkan beberapa kasus ibu dan bayi dalam kandungan meninggal akibat penyakit chikungunya. Disebutkan bahwa virus ini melalui pembuluh darah janin, melewati kulit dan masuk ke sistem limfatik kemudian menginfeksi organ untuk melanjutkan replikasi virus. [7] [8]
Nyamuk berperan penting dalam penyebaran penyakit chikungunya. Di dalam proses penyebarannya, virus chikungunya memiliki dua siklus transmisi yaitu siklus sylvatic dan siklus urban. [9] [10]
Pada siklus ini, virus chikungunya muncul pada hewan liar (kasus jarang terjadi). Hal ini menjadi fatal ketika nyamuk mengisap dara hewan liar terinfeksi dan menginfeksi manusia di sekitar daerah tersebut.
Siklus ini terjadi ketika nyamuk menghisap darah penderita chikungunya, sehingga virus ikut termuat dalam tubuh nyamuk. Pada kondisi ini, virus chikungunya melakukan reporduksi cepat dengan memanfaatkan karateristik biologis nyamuk tanpa menyakiti kondisi nyamuk.
Kemudian, disaat nyamuk tersebut mengisap darah individu sehat, virus chikungunya masuk melalui kulit dan pembuluh darah kemudian bereproduksi kembali dalam tubuh manusia.
Selama proses inkubasi virus chikungunya dalam tubuh manusia, virus chikungunya menyerang beberapa jenis sel seperti, sel endothelium, fibroblast, dan makrofag yang penting dalam sistem imunitas tubuh.
Pada fase ini, sel tubuh akan mensekresi molekul inflamasi sehingga dapat memicu demam. Selain itu, virus chikungunya juga menyerang beberapa organ yaitu, otot, sendi, hati, dan otak.
Terdapat beberapa gejala yang dimiliki penderita chikungunya sebagai tanda virus berhasil menginfeksi tubuh dan berkembang biak di dalam inang. Hal ini akan muncul 4-7 hari setelah gigitan nyamuk dan gejala tersebut antara lain: [4] [11]
Pada beberapa kasus, penyakit chikungunya dapat berasosiasi dengan lymphadenopathy, gangguan saluran cerna, dan pendarahan ringan.
Pasien dewasa dengan penyakit bawaan seperti penyakit jantung, gangguan saluran pernafasan, diabetes, dan gangguan sistem syaraf memiliki risiko lebih tinggi terhadap chikungunya akut. [3] [4]
Pada fase ini, chikungunya akut dapat menyebabkan penyakit tambahan seperti encephalitis, encephalopathy, myocarditis, hepatitis, dan kegagalan fungsi organ lainnya.
Kemungkinan infeksi silang antara virus chikungunya dan virus dengue juga dapat terjadi. Pada kasus ini, hepatopathy kronis dapat terjadi. [2] [11]
Selain itu, pada beberapa kasus, arthritis kronis yang disebabkan oleh demam chikungunya tidak dapat langsung hilang setelah pasien dinyatakan sembuh dari penyakit chikungunya.
Studi literature menyebutkan hampir 50% pasien chikungunya mengidap arthralgia kronis setelah sembuh dan membutuhkan pengobatan panjang dan berkala selama beberapa tahun. [2]
Penyakit chikungunya juga dapat menyebabkan dampak yang fatal bagi ibu yang sedang mengandung.
Studi literatur melaporkan bahwa sebagian bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita chikungunya juga dapat menderita chikngunya akut koagulasi intravascular dan menigoencephalitis sehingga membutuhkan perawatan intensif. [12]
Pasien diwajibkan untuk mengunjungi dokter jika mengalami gejala yang telah disebutkan, dilanjutkan dengan tes laboratorium untuk mendeteksi keberadaan virus chikungunya.
Hal ini perlu dilakukan mengingat gejala yang penyakit chikungunya sangat mirip dengan penyakit demam berdarah.
Terdapat beberapa jenis tes yang biasa digunakan dalam deteksi chikungunya, yaitu kuantifikasi limfosit, enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). [3] [6] [11]
Limfosit adalah salah satu jenis sel darah putih yang berperan dalam pembuatan antibody. Pasien Chikungunya umumnya menunjukkan gejala lymphopenia dimana jumlah limfosit rendah (<1000/m3 darah). [11]
Umumnya protein yang dideteksi dalam uji ini adalah immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM).
Serum IgM terhadap virus chikungunya umumnya dapat dideteksi mulai dari hari ke 5 hingga beberapa bulan setelah serangan penyakit.
Uji ELISA terhadap C-reactive protein sebagai penanda inflamasi juga dapat dilakukan sebagai data tambahan untuk diagnosis dokter. [11]
Sampel yang digunakan dalam analisis RT-PCR adalah darah pasien pada beberapa hari setelah infeksi virus. RT-PCR juga biasa digunakan untuk mendeteksi virus chikungunya dalam jumlah kecil sehingga sangat baik untuk deteksi dini penyakit chikungunya. RT-PCR juga memungkinkan kuantifikasi virus dalam darah pasien sehingga dapat berguna bagi dokter untuk melakukan prognosis penyakit. [3] [9]
Hingga saat ini belum ditemukan antivirus spesifik terhadap virus chikungunya sehingga pengobatan penyakit ini dilakukan dengan meredakan sakit yang disebabkan chikungunya, meredakan demam, dan menunjang sistem imun tubuh untuk melawan virus chikungunya dalam tubuh.
Penggunaan obat anti-inflamasi non-steroid, anti-piretik, analgesic, atau kortikosteroid biasa ditujukan untuk mengurangi rasa sakit pada sendi dan demam.
Penggunaan ribavirin, anti-virus yang telah lolos kualifikasi oleh food drugs administration (FDA), dilaporkan efektif mengobati pasien yang terinfeksi virus chikungunya[10]. Penggunaan chloroquine juga dilaporkan dapat membantu proses penyembuhan demam chikungunya. [3] [10]
Pasien dianjurkan untuk melakukan olagraga ringan untuk mengurangi kekakuan dan arthralgia pada pagi hari. Olahraga berat harus dihindari untuk mencegah rematik.
Pasien yang terinfeksi chikungunya harus dilindungi dari keberadaan nyamuk selama masa inkubasi virus dalam tubuh untuk mencegah transmisi antar manusia. [3] [13]
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan pengobatan spesifik terhadap penyakit chikungunya.
Mencegah kontak dengan nyamuk adalah langkah paling efektif untuk mencegah penyakit ini. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: [3] [6] [11]
1. Masri Sembiring Maha, Ni Ketut Susilarini, Nur Ika Hariastuti. 2015. Emerging infectious Disease. Chikungunya Virus Mutation, Indonesia, 2011.
2. Claire Smalley, Jesse H. Erasmus, Charles B. Chesson, David W.C. Beasley. 2015. Elsevier. Status or Research and Development of vaccines for Chikungunya.
3. Manisha Jain MD, Sumit Rai MD, Anita Chakravarti. 2008. SAGE Publications. Chikungunya: A Review.
4. Jafet A. Ojeda Rodriguez, J.R. Walker III. 2019. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Chikungunya Fever.
5. Matthew John Valentine, Courtney Cuin Murdock, Patrick John Kelly. 2019. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Sylvatic Cycles of Arboviruses in Non-Human Primates.
6. Anonim. 2017. World Health Organization. Chikungunya
7. Rhaquel de Morais Alves Barbosa Oliveira, Fransisca Kalliene de Almedida Baretto, Ana Maria Peixoto Cabral Maia, Ileana Pitombeira Gomes, Adriana Rocha Simião, Rebeca Bandeira Barbosa, Adilina Soares Romeiro Rodrigues, Kima Wanderley Lopes, Fernanda Montenegro de Carvalho Araújo, Regina Lúcia Sousa do Vale, John Washington Cavalcante, Luciano Pamplona de Góes Cavalcanti. 2018. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Maternal and infant death after probable vertical transmission of chikungunya virus in Brazil-case report.
8. Despina Contopoulos-Ionanidis, Shoshana Newman-Lindsay, Camille Chow, A. Desiree LaBeaud. 2018. Journal PlosONE. Mother-to-child transmission of Chikungunya virus: A systematic review and meta-analysis.
9. Virginie Rougeron, I-Ching Sam, Mélanie Caron, Dieudonné Nkoghe, Eric Leroya,Pierre Roques. 2015. Elsevier. Chikungunya, a paradigm of neglected tropical disease that emerged to be a new health global risk.
10. Laurie A. Silva, Terence S. Dermody. 2017. The Journal of Clinical Investigation. Chikungunya virus: epidemiology, replication, disease mechanism, and prospective intervention strategies.
11. Scott C. Weaver Ph.D, Marc Lecuit MD Ph.D. 2015. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Chikungunya virus and the global spread of a mosquito-borne disease.
12. Jaime R. Torres, Luiza H Falleiros-Arlant, Lourdes Dueñas, Jorge Pleitez Navarrete, Doris M Salgado, José Brea-Del Castillo. 2016. National Center for Biotechnology Information, U.S National Library of Medicine, National Institutes of Health. Congenital and perinatal complications of Chikungunya fever: A Latin American Experience.
13. Anonim. 2014. Centers for Disease Control and Prevention. Chikungunya: Information for the general public.