Daftar isi
Sindrom Gilbert merupakan sebuah kondisi di mana terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah sehingga lebih dari normalnya. [1,2,3,4,6,7,8]
Penyakit turunan ini ditandai dengan menguningnya kulit dan bagian putih pada bola mata [1,2,3,4,6,7,8].
Bilirubin indirek sendiri merupakan pigmen warna kuning agak coklat hasil pembentukan sel darah merah yang dipecah oleh limpa [10].
Menguningnya bagian putih bola mata serta kulit penderita tidak ada kaitannya dengan gangguan pada organ hati [1,3].
Pada umumnya, penderita sindrom Gilbert justru memiliki kondisi organ hati yang baik-baik saja [1,3].
Tinjauan Sindrom Gilbert adalah peningkatan kadar bilirubin indirek yang ditandai utamanya dengan kondisi jaundice namun kondisi liver/hati baik-baik saja.
Mutasi atau perubahan gen UGT1A1 diketahui menjadi penyebab utama sindrom Gilbert [1,2,4].
Gen UGT1A1 sendiri adalah gen yang memiliki fungsi utama di dalam tubuh sebagai pengendali kadar bilirubin [1,2,6].
Organ hati dapat menghasilkan enzim pengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk karena mendapatkan instruksi dari otak yang disampaikan oleh gen UGT1A1 [2,4].
Setelah menjadi bilirubin direk, barulah pembuangan ke feses dan urine bisa terjadi.
Namun bila seseorang memiliki kondisi sindrom Gilbert, enzim tersebut tak terproduksi secara normal oleh organ hati.
Sebagai akibatnya, bilirubin indirek yang tak bisa diubah menjadi bilirubin direk mengalami akumulasi.
Penimbunan bilirubin indirek pun terjadi pada aliran darah dan dari sini akan terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek.
Hanya saja, alasan atau penyebab pasti bagaimana mutasi gen UGT1A1 bisa terjadi belum jelas diketahui.
Berikut ini adalah sederet faktor yang mampu menjadi peningkat risiko peningkatan kadar bilirubin dalam darah dan sebaiknya diwaspadai :
Tinjauan Sindrom Gilbert adalah jenis penyakit genetik/keturunan/herediter yang dikaitkan dengan mutasi gen UGT1A1.
Sindrom Gilbert utamanya dapat menyebabkan gejala berupa kulit yang berubah menguning bersama dengan bagian putih bola mata [1,2,3,4].
Hal tersebut kerap disebut dengan istilah jaundice atau penyakit kuning di mana beberapa gejala lain dapat turut menyertai, seperti [1,3,4] :
Kebanyakan penderita sindrom Gilbert bahkan tak sadar bahwa mereka sedang mengalami sindrom Gilbert walau gejala-gejala di atas mulai nampak.
Karena gejala tergolong umum dan mirip dengan gejala penyakit lain, maka sangat jarang gejala dicurigai sebagai kondisi sindrom Gilbert.
Banyak orang juga belum tahu bahwa sebenarnya gejala sindrom Gilbert telah ada sejak bayi lahir [5].
Hanya saja, perkembangan gejala terus terjadi dan sehingga mulai nampak justru di masa pubertas atau remaja, yakni ketika kadar bilirubin semakin tinggi [1,5].
Tinjauan Jaundice atau menguningnya kulit dan bagian putih mata adalah gejala utama yang ditimbulkan oleh sindrom Gilbert. Namun, beberapa gejala lain pun dapat menyertai, seperti tidak nafsu makan, diare, tubuh kelelahan berlebihan, mual, dan perut sakit.
Ketika gejala mulai jelas, maka penderita sangat dianjurkan untuk segera memeriksakan diri ke dokter.
Umumnya, pasien perlu menempuh sejumlah metode pemeriksaan berikut untuk mengetahui secara pasti penyakit yang diderita sekaligus penyebabnya.
Pemeriksaan fisik selalu diterapkan di awal, terutama untuk mengetahui gejala fisik seperti perubahan warna kulit [6,7].
Selain itu, dokter kemungkinan akan bertanya kepada pasien terkait riwayat medis, begitu pula riwayat kesehatan keluarga [6,7].
Pemeriksaan fisik dan riwayat medis saja tidak cukup, dibutuhkan tes penunjang seperti pengukuran kadar bilirubin dalam darah [1,2,3,4].
Untuk mengetahui kadar bilirubin, sampel darah pasien perlu dianalisa di laboratorium.
Pada bayi baru lahir (terutama pemeriksaan dalam 24 jam pertama setelah lahir), kadar normal bilirubin dalam darah adalah kurang dari 3 mg/dL [1].
Sedangkan pada orang dewasa, kadar normal bilirubin dalam darah adalah antara 0,3 hingga 1,2 mg/dL [8].
Untuk memastikan apakah kondisi organ hati pasien bermasalah atau tidak karena adanya tanda jaundice, tes fungsi hati perlu pasien jalani [3,4,6,7,8].
Gangguan pada organ hati biasanya menyebabkan pelepasan enzim oleh hati ke darah yang berakibat pada penurunan kadar protein yang diproduksi [3].
Oleh sebab itu, dokter perlu mengukur kadar protein dan enzim tersebut sebagai upaya mendeteksi apakah fungsi hati terganggu [3,6,8].
Tes penunjang lainnya yang juga penting dalam membantu penegakan diagnosa oleh dokter adalah CT scan, USG, atau biopsi hati [9].
Tujuan pemeriksaan adalah sebagai pendeteksi kondisi lain yang mungkin pasien derita karena gejala sindrom Gilbert dapat mengarah pada penyakit lain.
Pada prosedur pemeriksaan ini, sampel DNA dalam darah pasien akan diperiksa [1,3,4,6,7].
Tujuan pemeriksaan adalah sebagai pendeteksi apakah telah terjadi mutasi gen sehingga gejala-gejala sindrom Gilbert dialami oleh pasien.
Bagaimana mengetahui bahwa gejala mengarah pasti pada sindrom Gilbert?
Biasanya, tes darah akan sangat membantu di mana bila kadar bilirubin sangat tinggi tapi tidak ada tanda-tanda penyakit hati, bisa dipastikan kondisi pasien adalah sindrom Gilbert [3].
Berikut ini adalah sejumlah kondisi yang memiliki kemiripan gejala dengan sindrom Gilbert sehingga dokter perlu melakukan pemeriksaan mendalam agar bisa membedakannya [1].
Tinjauan Metode diagnosa yang perlu ditempuh pasien gejala sindrom Gilbert untuk memastikan kondisi dan mengetahui penyebabnya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes darah, tes pemindaian, tes fungsi hati dan biopsi.
Sindrom Gilbert pada dasarnya bukanlah jenis penyakit mematikan karena sifat penyakit ini ringan dan pasien mudah untuk pulih kembali [1,2,3,4].
Pasien sindrom Gilbert bahkan seringkali tak memerlukan perawatan medis khusus karena beberapa perawatan mandiri dan sejumlah obat resep mampu mengatasi gejala.
Jika gejala yang dialami oleh pasien berupa mual dan kelelahan ekstrem, biasanya obat yang dokter resepkan adalah phenobarbital [1,2,7].
Tujuan penggunaan obat ini adalah sebagai penurun kadar bilirubin dalam darah yang mengalami lonjakan [1].
Ketika kadar bilirubin berhasil distabilkan, gejala pun akan mereda.
Perubahan pola hidup biasanya dapat pasien lakukan sebagai bentuk perawatan mandiri baik ketika gejala ringan maupun saat dokter telah meresepkan obat untuk gejala yang cukup berat.
Perubahan pola hidup yang dimaksud dan bertujuan mencegah gejala kembali antara lain adalah [3] :
Bagaimana prognosis sindrom Gilbert?
Prognosis sindrom Gilbert tergolong sangat baik karena tingkat kelangsungan hidup penderitanya tinggi.
Para penderita sindrom Gilbert dapat pulih dengan baik dan menjalani segala rutinitas dengan normal [1,4].
Penderita bahkan tak perlu mengkhawatirkan masalah kesehatan jangka panjang efek dari sindrom ini.
Tinjauan Sindrom Gilbert umumnya tidak memerlukan penanganan medis khusus, namun dokter akan meresepkan obat penurun kadar bilirubin jika gejala cukup mengganggu. Gaya hidup sehat juga dapat membantu memulihkan kondisi tubuh pasien.
Sindrom Gilbert diketahui sebagai kondisi seumur hidup karena kelainan yang berhubungan dengan mutasi genetik sulit untuk disembuhkan secara total [3].
Meski demikian, umumnya sindrom Gilbert tidak mengancam jiwa penderitanya sebab gejala-gejalanya pun tidak membutuhkan penanganan medis khusus.
Tidak ada risiko komplikasi yang perlu dikhawatirkan penderita, termasuk risiko penyakit hati/liver [3].
Bahkan gejala penyakit kuning atau jaundice adalah sebuah kondisi bersifat sementara dan dapat segera berlalu [3,4].
Tinjauan Karena kondisi sindrom Gilbert dapat pulih dengan cepat dan baik, hingga kini belum diketahui adanya risiko komplikasi yang berbahaya.
Penyakit sindrom Gilbert tak dapat dicegah karena penyebab mutasi gen sendiri belum diketahui jelas [3].
Namun untuk mencegah gejala kembali terjadi, menjaga pola hidup tetap baik adalah upaya yang bisa ditempuh.
Tinjauan Tidak ada langkah pencegahan khusus untuk sindrom Gilbert, namun menjaga gaya hidup sehat mampu meminimalisir risiko kekambuhan gejalanya.
1. Viveksandeep Thoguluva Chandrasekar & Savio John. Gilbert Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Lei Sun, MD, Man Li, PhD, Liang Zhang, MR, Xiaoying Teng, MD, Xiangmei Chen, MS, Xingang Zhou, MD, Zhiyuan Ma, MR, Liming Qi, MS, & Peng Wang, MD. Differences in UGT1A1 gene mutations and pathological liver changes between Chinese patients with Gilbert syndrome and Crigler-Najjar syndrome type II. Medicine; 2017.
3. Anonim. Gilbert's syndrome. National Health Service; 2018.
4. Cleveland Clinic medical professional. Gilbert's Syndrome. Cleveland Clinic; 2021.
5. Nedeljko Radlović, Zoran Leković, Marija Mladenović, Dragana Ristić, Vladimir Radlović, Vojislav Lekić, Biljana Vuletić, Jelena Djurdjević, & Milan Gajić. Gilbert's syndrome in children--our experience. Srpski arhiv za celokupno lekarztvo; 2007.
6. Lisa B. VanWagner, MD, MSc & Richard M. Green, MD. Evaluating Elevated Bilirubin Levels in Asymptomatic Adults. HHS Public Access; 2015.
7. Fariba Hemmati, Forugh Saki, Nasrin Saki, & Mahmood Haghighat. Gilbert syndrome in Iran, Fars Province. Annals of Saudi Medicine; 2010.
8. Rajendra G. Kulkarni, K. B. Lakshmidevi, Vidya Ronghe, & U. S. Dinesh. Gilbert's syndrome in healthy blood donors what next??. Asian Journal of Transfusion Science; 2016.
9. Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Chapter 87 - Jaundice. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Clinical Methods: The History, Boston: Butterworths; 1990.
10. Vaishali Kapila; Chase J. Wehrle; & Faiz Tuma. Physiology, Spleen. National Center for Biotechnology Information; 2020.