Daftar isi
Sindrom Ross atau Ross syndrome merupakan jenis penyakit langka yang juga diketahui sebagai salah satu varian dari sindrom Adie [1,2].
Sindrom Adie atau sindrom Holmes-Adie adalah kondisi saraf yang mengalami kelainan sehingga pupil mata tidak berfungsi dengan normal 4].
Pupil mata pada sebagian penderita sindrom Adie akan membesar secara abnormal [4].
Bahkan reaksi terhadap sumber cahaya juga tidak cukup cepat sepetri normalnya walaupun cahaya tersebut sangat dekat dengan mata [4].
Namun pada sebagian penderita lainnya, sindrom Adie menyebabkan pengecilan pupil mata [4].
Pada kasus sindrom Ross, penderita akan mengalami gangguan sistem saraf otonom perifer di mana kondisi ini ditandai dengan hiporefleksia/arefleksia, gejala sindrom Adie, hingga anhidrosis segmental [2].
Sindrom Ross belum diketahui jelas penyebabnya, namun penyakit langka ini diduga berkaitan dengan disfungsi serat simpatetik kulit [1,2].
Meski kelenjar keringat dalam keadaan yang tergolong normal, beberapa studi menunjukkan bahwa serat sudomotor kolinergik tidak ada [1,2].
Selain itu, regulasi aliran darah yang hilang pada kulit bisa menyebabkan pembesaran dan pelebaran pembuluh darah dermal bagian atas dan menjadi alasan yang mendasari sindrom Ross timbul [1,2].
Tidak hanya itu, pada beberapa kasus faktor genetik pun diduga kuat menjadi salah satu penyebab sindrom Ross karena adanya laporan kasus di mana sindrom ini diderita oleh anak kembar identik [1,2].
Kemungkinan lain yang mendasari sindrom Ross adalah kondisi autoimun meski keterkaitan antara penyakit autoimun dan timbulnya sindrom Ross pun masih diteliti [1,2].
Sindrom Ross sendiri bisa dialami oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, kelompok dan ras tertentu, namun usia 25-50 tahun adalah golongan usia yang berisiko lebih tinggi menderita sindrom Ross [1,2].
Walaupun dikatakan bahwa jenis kelamin tak memengaruhi, menurut data laporan seluruh kasus sindrom Ross, terdapat jumlah angka yang sedikit lebih tinggi pada penderita laki-laki daripada penderita perempuan [1,2].
Sindrom Ross menyebabkan penderitanya memiliki karakteristik atau gejala fisik sebagai berikut [1,2,3] :
Ketika anhidrosis terjadi, kondisi ini berkaitan dengan hipopigmentasi; sedangkan pada waktu hiperhidrosis terjadi, kondisi ini berkaitan dengan hiperpigmentasi.
Untuk memastikan bahwa tanda-tanda atau keluhan yang dialami penderita merupakan sindrom Ross, maka biasanya beberapa metode pemeriksaan berikut perlu pasien tempuh :
Dokter akan memeriksa kondisi fisik pasien untuk melihat apa saja gejala-gejala yang selama ini pasien alami [1].
Biasanya pemeriksaan fisik sudah termasuk keabnormalan berkeringat pada tubuh pasien [1,2].
Hiperhidrosis atau hipohidrosis menjadi tanda yang akan dokter perhatikan, begitu pula dengan hyperflexia atau areflexia [2].
Selain itu, dokter pun kemungkinan akan bertanya kepada pasien mengenai riwayat kesehatan sekaligus riwayat medis keluarga pasien.
Tes pati yodium atau starch-iodine test merupakan metode pemeriksaan lainnya yang dokter akan terapkan untuk menentukan kulit pada bagian tubuh pasien mana yang berkeringat secara berlebihan [1,2,3].
Tes ini merupakan tes penunjang yang akan membantu menegakkan diagnosa setelah proses pemeriksaan fisik [1,2,3].
Prosedur biopsi plong atau punch biopsi adalah metode pemeriksaan dengan memanfaatkan alat khusus [2].
Alat ini mirip tabung dengan ukuran kecil dengan ujung yang tajam; bagian tajam inilah yang digunakan dokter untuk mengambil sampel jaringan kulit pasien [2].
Jaringan kulit yang dokter ambil melalui biopsi ini berdiameter tertentu dalam bentuk lingkaran lalu akan dianalisa di laboratorium [2].
Hasil analisa menjadi salah satu penegak diagnosa [2].
Tes ini merupakan metode pemeriksaan sederhana yang bertujuan untuk mengetahui fungsi refleks polisinaptik [2].
Tes ini juga dapat dilakukan oleh dokter untuk mendukung hasil pemeriksaan tes-tes lainnya.
Seringkali dapat terjadi kesalahan diagnosa pada sindrom Ross, karena gejala-gejalanya menyerupai kondisi lain.
Berikut ini adalah beberapa kondisi yang dimaksud, sebab kelainan pada pupil mata maupun karakteristik penderita sindrom Ross mirip dengan penyakit-penyakit ini.
1. Sifilis
Sifilis adalah jenis penyakit menular seksual di mana wanita dengan gejala sekunder akan mengalami refleks yang berubah serta ukuran pupil mata yang tak teratur [2,5,6].
Hal ini memiliki kemiripan dengan gejala sindrom Ross sehingga gejala sindrom Ross berpotensi keliru didiagnosa sebagai sifilis [2].
2. Sindrom Sjogren
Penyakit autoimun ini menyerang kelenjar air mata dan air liur sehingga gejala dapat terjadi pada bagian mata [2,7].
Mata tidak hanya mengalami penglihatan ganda, kelelahan, gatal serta nyeri, tapi juga bisa mengalami ketidaknyamanan terhadap paparan cahaya [7].
Gangguan pada mata semacam ini juga seringkali menjadi salah satu faktor yang membuat gejala sindrom Ross didiagnosa sebagai sindrom Sjogren [2].
3. Sindrom Harlequin
Sindrom Harlequin atau Harlequin ichthyosis adalah kelainan genetik yang ditandai dengan kulit tebal dan keras pada sebagian besar tubuh bayi yang baru lahir [8].
Dikatakan mirip dengan sindrom Ross karena penderita sindrom Harlequin mengalami hipohidrosis segmental walaupun refleks dan pupil mata normal [2,9].
Namun pada sindrom ini, gejala lain yang timbul adalah dehidrasi, keterbatasan gerakan kaki dan lengan, suhu tubuh yang rendah, mata yang tidak bisa menutup, hingga kelopak mata yang terbalik [8].
4. Sindrom Adie
Sindrom Adie merupakan kondisi ketika fungsi pupil mata tidak bekerja seperti normalnya karena kelainan saraf [4].
Sindrom ini paling sering dikaitkan dengan sindrom Ross karena memiliki keserupaan dalam gejala, seperti gangguan pada pupil mata dan areflexia, sementara itu keringat pada tubuh penderita terbilang normal [2].
5. Sindrom Horner
Sindrom Horner merupakan sekelompok gejala yang timbul karena jalur jaringan saraf dari otak ke waja mengalami kerusakan [10].
Sindrom ini pun memiliki karakteristik serupa dengan sindrom Ross sehingga gejala sindrom Ross bisa mengalami kekeliruan diagnosa.
Kemiripan yang dimaksud adalah kondisi pupil mata yang mengecil ditambah dengan anhidrosis, walaupun refleks penderita sindrom ini terbilang normal [2].
Penanganan bagi penderita sindrom Ross pada dasarnya mirip dengan penanganan untuk penderita hiperhidrosis primer atau sekunder [2].
Beberapa hal yang akan meredakan kondisi gejala penderita antara lain adalah [1,2,3] :
Bagaimana prognosis sindrom Ross?
Sindrom Ross merupakan kondisi yang tidak berbahaya dan tidak sampai mengancam jiwa penderitanya [2].
Namun seiring anak tumbuh dengan gejala sindrom Ross, aktivitas sehari-harinya pasti akan terpengaruh [2].
Gejala otonom tetap berkembang secara lambat, oleh sebab itu walau tak membahayakan kondisi ini akan berkepanjangan dan akan membuat penderita tidak nyaman setiap waktu [2].
Bila penderita sindrom Ross memiliki masalah keringat berlebihan, maka kehidupan sehari-harinya akan sangat terpengaruh [2].
Seseorang dengan keringat berlebih akan lebih sulit dalam menjalani aktivitas yang berat, terutama aktivitas fisik dan olahraga [2].
Sebagai akibatnya, penderita harus mengganti pakaian beberapa kali dalam sehari dan mencari cara agar tubuhnya selalu dalam kondisi yang dingin [2].
Anhidrosis berkepanjangan (biasanya pada sindrom Ross kondisi ini bisa berkembang lebih buruk) juga mampu menyebabkan hipertermia di mana hal ini juga bisa berhubungan dengan timbulnya heat stroke dan heat exhaustion [1,2].
Selain itu, rangkaian risiko komplikasi sindrom Ross lainnya antara lain adalah [2,3] :
Oleh sebab itu, baik saat memeriksakan gejala maupun saat menjalani pengobatan, penderita perlu mendiskusikan risiko komplikasi sindrom Ross dengan dokter.
Belum diketahui bagaimana cara mencegah sindrom Ross.
Namun dengan deteksi gejala secara dini, hal ini mampu membantu penderita memperoleh penanganan secepatnya.
Walaupun tidak benar-benar menyembuhkan, penanganan medis akan membantu pasien untuk merasa jauh lebih baik.
1. Manikanta Damagatla, Pratyusha Ganne, Rakesh Upparakadiyala & Prabhakaran N. Ross Syndrome. Neuroophthalmology; 2019.
2. Dr Monique Mackenzie, Dr Marc Lawrence, & Gus Mitchell. Ross syndrome. DermNet NZ; 2020.
3. Biju Vasudevan, MPS Sawhney, & S Vishal. Ross Syndrome With ANA Positivity: A Clue to Possible Autoimmune Origin and Treatment with Intravenous Immunoglobulin. Indian Journal of Dermatology; 2020.
4. Manbeer S. Sarao; Ayman G. Elnahry; & Sandeep Sharma. Adie Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2021.
5. Samhita Panda, Diwakar Verma, Anil Budania, Jyotsna N. Bharti, & Rajesh K. Sharma. Clinical and laboratory correlates of selective autonomic dysfunction due to Ross syndrome. Journal of Family Medicine and Primary Care; 2019.
6. Maria E. Tudor; Ahmad M. Al Aboud; & William Gossman. Syphilis. National Center for Biotechnology Information; 2021.
7. Steven E. Carsons & Bhupendra C. Patel. Sjogren Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2021.
8. Nelise Ritter Hans-Bittner, Guilherme Canho Bittner, & Günter Hans Filho. Do you know this syndrome? Harlequin syndrome. Anais Brasileiros de Dermatologia; 2018.
9. Puneet Jain, Ravindra Arya, Ashok Jaryal, & Sheffali Gulati. Idiopathic harlequin syndrome: a pediatric case. Journal of Child Neurology; 2013.
10. Zalan Khan & Pradeep C. Bollu. Horner Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2021.