Daftar isi
Turun peranakan disebut juga dengan istilah prolaps uteri, yaitu sebuah keadaan melemahnya jaringan ikat sekaligus otot dasar (ligamen) dari pelvis [1,2,3].
Ligamen dan otot dasar yang meregang otomatis sulit untuk menyangga rahim secara benar dan normal, hal inilah yang kemudian mengakibatkan turun peranakan.
Turunnya rahim karena tidak adanya penyangga memengaruhi kondisi jaringan ikat dan otot dasar pelvis yang kemudian menjadikan rahim menonjol sampai ke vagina.
Pelvis sendiri adalah lokasi beradanya uretra, rektum, usus, dan kandung kemih serta merupakan bagian dari tulang panggul.
Di dalam tulang panggul, terdapat rahim yang dapat berada di tempatnya secara normal karena berbagai ligamen dan otot yang menjadi penyangganya.
Tinjauan Prolaps uteri adalah istilah lain untuk kondisi turun peranakan, yaitu rahim yang turun mencapai vagina karena melemahnya kondisi otot serta ligamen pelvis.
Terjadinya turun peranakan adalah karena jaringan, ligamen serta otot yang berperan sebagai penyangga rahim di dalam rongga panggul mengalami kelemahan.
Ketiga bagian penting tersebut dapat menyebabkan rahim yang seharusnya tersangga dengan baik mengalami penurunan hingga ke vagina.
Namun selain itu, perlu diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang juga mampu meningkatkan risiko turun peranakan yaitu :
Turunnya peranakan dapat berhubungan dengan faktor genetik [1,2].
Kondisi pelvis yang mudah lemah dapat terjadi karena merupakan keturunan dari keluarga, khususnya orang tua yang juga memiliki kondisi sama.
Salah satu faktor yang mampu menyebabkan seorang wanita mengalami turun peranakan adalah berkurangnya kadar hormon estrogen saat sudah memasuki masa menopause [1,2,4].
Hormon estrogen akan menurun bila indung telur juga berhenti dalam menghasilkannya.
Karena hal ini, kekuatan otot pelvis juga menurun dan berdampak pada rahim.
Persalinan melalui vagina atau persalinan secara normal sangat berisiko pada turunnya peranakan [1].
Jika bayi yang dilahirkan juga memiliki berat badan di atas 4 kg, hal ini lebih meningkatkan risiko rahim turun.
Tekanan berat pada perut dapat pula menjadikan rahim atau peranakan turun [1].
Faktor-faktor yang mampu berakibat pada timbulnya tekanan di perut adalah seperti batuk kronis, tumor pelvis, obesitas, akumulasi cairan pada perut, dan aktivitas mengejan saat buang air besar.
Faktor lainnya yang mampu memperbesar potensi seseorang dalam mengalami turun peranakan adalah faktor usia (usia yang sudah cukup tua), aktivitas fisik yang terlalu berlebihan, dan kebiasaan merokok [1,2,5].
Mengangkat beban berat terlalu sering adalah jenis aktivitas fisik yang mampu meningkatkan risiko peranakan turun.
Tinjauan Penyebab turunnya peranakan adalah kondisi jaringan, ligamen serta otot yang berperan sebagai penyangga rahim di dalam rongga panggul mengalami kelemahan. Namun beberapa faktor turut menjadi pemicu, yaitu faktor genetik, menopause, melahirkan normal, tekanan pada perut, kebiasaan merokok, aktivitas fisik berlebihan, faktor usia, serta obesitas.
Pada tahap yang masih ringan, biasanya turun peranakan tidaklah menunjukkan gejala sama sekali.
Namun jika tahap kondisi yang dialami penderita sudah pada tahap sedang atau parah, maka sejumlah keluhan seperti berikut ini akan dirasakan [1,2,5] :
Umumnya, keluhan gejala justru tidak terlalu dirasakan pada pagi hari.
Hanya saja ketika hari telah siang atau malam, kondisi gejala akan memburuk dan sangat menganggu aktivitas yang sedang dikerjakan.
Tinjauan Pada kondisi sedang hingga parah, gejala turun peranakan yang dapat dialami antara lain meliputi nyeri punggung bawah, rasa penuh di bagian pelvis, perdarahan dari vagina, sulit berjalan, sembelit, inkotinensia urine, infeksi kandung kemih berulang, retensi urine, serta gangguan aktivitas seksual.
Saat menemui dokter untuk memeriksakan diri, biasanya dokter akan melakukan beberapa metode sebagai berikut untuk mendiagnosa pasien :
Dokter perlu mengawali proses diagnosa dengan mengecek kondisi pelvis pasien menggunakan sebuah alat berupa spekulum [1,3].
Alat ini akan lebih dulu dokter masukkan melalui vagina dengan tujuan agar vagina melebar dan kondisi di dalamnya dapat diidentifikasi.
Dokter perlu mengecek adanya gangguan atau kelainan pada liang vagina maupun leher rahim.
Pada prosedur pemeriksaan ini, dokter biasanya akan minta pasien mengejan seperti saat sedang buang air besar.
Hal ini bertujuan utama untuk melihat rahim yang turun ke vagina sudah sejauh mana.
Dokter juga perlu tahu seberapa kuat otot pelvis pasien dengan meminta pasien bergerak seperti ketika menahan buang air kecil.
Pemeriksaan riwayat kesehatan adalah prosedur berikutnya yang dokter lakukan untuk memeriksa pasien [1,3].
Sejumlah pertanyaan mengenai apa saja riwayat medis pasien dan juga riwayat gejala yang dialami akan diajukan oleh dokter.
Meski demikian, informasi-informasi ini perlu didukung lebih dengan penerapan beberapa tes penunjang lainnya.
Untuk mengetahui secara detail kondisi pasien, maka rontgen saluran kemih harus dilakukan dengan kontras atau IVP (pielografi intravena) [3,6].
Tujuan prosedur pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat gangguan saluran kemih.
Jika pun ada, maka dokter perlu tahu apakah hal tersebut terjadi akibat peranakan pasien yang turun.
Tes penunjang ini bertujuan untuk membantu dokter dalam memastikan apakah di dalam tubuh pasien khususnya di bagian panggul dan saluran kemih terdapat masalah [7].
Selain memastikan adanya kondisi turun peranakan, dokter juga dapat mengecek keberadaan gangguan kesehatan lain.
Metode pemeriksaan ini dapat mendeteksi seberapa baik fungsi uretra dan kandung kemih pasien [1].
Jika penyimpanan dan pembuangan urine tidak berjalan dengan lancar, maka dokter biasanya akan meminta pasien menempuh tes penunjang ini.
Pada pasien dengan gejala inkontinensia urine yang sudah cukup serius dan mengganggu, maka tes ini perlu dijalani.
Kondisi turun peranakan dibagi menjadi empat tahap, yaitu sebagai berikut [1,8] :
Tinjauan Pemeriksaan fisik, riwayat kesehatan dan gejala adalah awal pemeriksaan. Namun sebagai tes penunjang, rontgen saluran kemih, USG, serta tes urodinamik akan direkomendasikan oleh dokter.
Tingkat keparahan pasien menjadi pertimbangan dokter mengenai penanganan yang seharusnya diberikan.
Tahap kondisi turun peranakan sangat menentukan, sebab bila kondisi tergolong ringan maka biasanya dokter hanya memberikan solusi perawatan mandiri.
Namun bila perawatan mandiri tak terlalu efektif, maka biasanya dokter segera merekomendasikan tindakan medis.
Solusi perawatan mandiri yang dianjurkan dokter bertujuan sebagai pereda gejala saja agar tidak berujung pada komplikasi berbahaya.
Pada beberapa kasus turun peranakan ringan, gejala sama sekali tidak nampak atau hanya beberapa saja yang dialami penderita.
Jika demikian, biasanya dokter segera memberikan anjuran perawatan mandiri sebagai berikut [9,10] :
Bila menurut dokter kondisi pasien memang sudah terlampau serius untuk ditangani menggunakan cara mandiri, maka dokter akan memberikan rekomendasi beberapa prosedur medis.
Dokter kemungkinan akan menganjurkan pasien untuk menempuh prosedur pemasangan cincin penyangga vagina [1,3].
Proses yang disebut dengan pessarium ini adalah penopang jaringan yang turun hingga ke vagina.
Jika pasien tak dapat menjalani operasi, maka opsi tindakan medis ini akan direkomendasikan, namun tentu saja setelahnya cincin penyangga harus teratur dibersihkan.
Pada pasien turun peranakan yang telah sampai pada tahap serius atau berat, tindakan operasi menjadi opsi utama yang dokter tawarkan [1].
Salah satu metode operasi yang dianjurkan dokter adalah operasi yang bertujuan untuk memperbaiki posisi rahim.
Dokter kandungan adalah yang paling tepat untuk melakukan tindakan ini.
Prosedur operasi ini bertujuan utama mengganti jaringan dasar panggul penyangga rahim dengan jaringan baru.
Jaringan pengganti yang biasanya digunakan dokter pada prosedur ini adalah jaringan donor atau jaringan dari tubuh pasien sendiri.
Meski begitu, ada pula kasus di mana dokter lebih memilih menggunakan bahan sintetis untuk dijadikan jaringan pengganti.
Operasi ini adalah operasi pengangkatan rahim di mana hanya akan direkomendasikan bila kondisi posisi rahim tidak memiliki kemungkinan untuk diperbaiki [1,2,3,8].
Pada pasien dengan turun peranakan yang lebih dan sangat berat, operasi ini paling tepat.
Apakah operasi dianjurkan bagi wanita yang berencana hamil?
Langkah operasi umumnya memiliki efektivitas cukup tinggi dalam memulihkan pasien turun peranakan.
Hanya saja untuk para pasien wanita yang masih memiliki keinginan untuk hamil lagi di kemudian hari, operasi adalah tindakan medis yang sama sekali tidak dianjurkan.
Proses hamil 9 bulan dan juga persalinannya dapat memengaruhi otot pelvis.
Jika menjalani operasi perbaikan posisi rahim sebelumnya, maka posisi yang sudah baik dapat kembali rusa karena otot pelvis yang memperoleh tekanan berat.
Tinjauan Metode penanganan turun peranakan meliputi perawatan mandiri (senam kegel, mengatasi sembelit, serta menurunkan berat badan) dan perawatan medis (pessarium, operasi pengangkatan rahim, dan operasi perbaikan posisi rahim).
Turun peranakan yang tidak segera mendapat penanganan akan berakibat pada timbulnya sejumlah komplikasi, yaitu antara lain [10] :
Jika telah mengetahui berbagai faktor yang mampu menyebabkan turun peranakan, maka lebih mudah untuk berupaya meminimalisir risikonya.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghindari kondisi turun peranakan adalah [1,9,10] :
Tinjauan Pencegahan atau upaya meminimalisir risiko turun peranakan dapat dilakukan dengan mengatasi faktor-faktor risikonya serta mengatasi segera kondisi medis yang memicunya.
1. Anjum Doshani, Roderick E C Teo, Christopher J Mayne, & Douglas G Tincello. Uterine prolapse. British Medical Journal; 2007.
2. Baiq Cipta Hardianti & Besari Adi Pramono. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Prolapsus Uteri di RSUP Dr. Kariadi Semarang; 2015.
3. Keith T. Downing. Uterine Prolapse: From Antiquity to Today. Obstetrics and Gynecology International; 2012.
4. Andrea Tinelli, Antonio Malvasi, Siavash Rahimi, Roberto Negro, Daniele Vergara, Roberta Martignago, Marcello Pellegrino, & Carlo Cavallotti. Age-related pelvic floor modifications and prolapse risk factors in postmenopausal women. Menopause (New York N.Y.); 2010.
5. Hridaya Raj Devkota, Tula Ram Sijali, Carisa Harris, Dirgha J Ghimire, Ndola Prata, & Michael N Bates. Bio-mechanical risk factors for uterine prolapse among women living in the hills of west Nepal: A case-control study. Women's Health; 2020.
6. J T Piscitelli, D L Simel, & W A Addison. Who should have intravenous pyelograms before hysterectomy for benign disease? Obstetrics and Gynecology; 1987.
7. Ilsup Yoon & Nishant Gupta. Pelvic Prolapse Imaging. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Renée J Detollenaere, Jan den Boon, Jelle Stekelenburg, Akeel HH Alhafidh, Robert A Hakvoort, Mark E Vierhout, & Hugo WF van Eijndhoven. Treatment of uterine prolapse stage 2 or higher: a randomized multicenter trial comparing sacrospinous fixation with vaginal hysterectomy (SAVE U trial). BMC Women's Health; 2011.
9. Lily A Arya, Joseph M Novi, Alka Shaunik, Mark A Morgan, & Catherine S Bradley. Pelvic organ prolapse, constipation, and dietary fiber intake in women: a case-control study. American Journal of Obstetrics and Gynecology; 2005.
10. Risa Bordman, MD CCFP FCFP, Deanna Telner, MD MEd CCFP, Bethany Jackson, MD CCFP & D’Arcy Little, MD CCFP. Step-by-step approach to managing pelvic organ prolapse. Canadian Family Physician; 2007.