Xeroderma pigmentosum, yang dikenal sebagai XP, adalah suatu kelainan langka yang diwariskan, dimana penderitanya sangat sensitif terhadap paparan sinar UV (ultraviolet).
Daftar isi
Xeroderma pigmentosum (yang artinya kulit kering yang terpigmentasi), ditandai oleh sensitivitas yang sangat terhadap sinar matahari, sehingga mengakibatkan kulit terbakar (sunburn), perubahan pigmen pada kulit serta meningkat tajamnya kemungkinan terkena kanker kulit. [1, 2, 3, 4]
Secara statistik, penderita XP memiliki kemungkinan 10,000 kali lipat lebih banyak untuk mengalami basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma, dan melanoma. Mereka juga 2,000 kali lipat lebih berisiko terkena kanker mata dan jaringan di sekitarnya. [1, 2, 3, 4]
Sekitar 60% pasien yang terkena kelainan ini menunjukkan respon sunburn yang berlebih dan berlangsung dalam waktu lama. Kondisi ini paling kuat mempengaruhi kulit, kelopak mata dan permukaan bola mata namun ujung lidah juga bisa mengalami kerusakan.
Selain itu, sekitar 25% pasien XP juga mengalami ketidaknormalan pada sistem syaraf yang menyebabkan hilangnya pendengaran secara progresif. Tingkat keparahan gangguan pada sistem syaraf ini beragam pada tiap pasien. [1, 2, 3, 4]
Tanda-tanda XP biasanya muncul ketika pasien masih bayi atau di usia awal kanak-kanak. Selain sinar matahari, UV yang menyebabkan kerusakan kulit pada penderita XP juga bisa berasal dari lampu fluorescent yang tidak berpelindung, lampu asap merkuri dan lampu halogen. [1, 3]
Gejala yang timbul bisa berbeda pada tiap orang, tetapi biasanya menyerang kulit, mata, dan sistem syaraf. [1, 2, 3, 4]
Kelopak mata dan permukaan bila mata yang terpapar sinar matahari biasanya akan terdampak dalam 10 tahun pertama usia pasien. [2, 3, 4]
Sekitar 25% pasien XP mengalami degenerasi syaraf progresif. Degenerasi ini bisa muncul pada waktu yang berbeda dengan tingkat kemajuan yang berbeda pula.
Gejala-gejala neurodegenerasi adalah termasuk: mikrosefalus (ukuran kepala mengecil dan terjadi perubahan struktur otak), hilangnya refleks tendon dalam, hilangnya pendengaran akibat kerusakan pada syaraf di bagian telinga dalam, gangguan kognitif progresif, spastisiti (mengencang atau kekakuan pada otot wajah), ataksia (buruknya kontrol dan koordinasi otot), kejang, kesulitan menelan dan/atau kelumpuhan pita suara. [2, 3, 4]
XP disebabkan oleh mutasi pada gen yang bertugas memperbaiki DNA yang rusak. DNA bisa rusak akibat sinar UV dari matahari serta zat-zat kimia beracun seperti yang ada pada asap rokok, namun bisa juga diwariskan. [1, 2, 3, 4]
Sel-sel yang normal biasanya bisa memperbaiki kerusakan DNA sebelum timbul masalah. Tetapi, pada penderita XP, kerusakan DNA tidak diperbaiki secara benar. Dengan semakin banyaknya ketidaknormalan yang terbentuk dalam DNA, sel-sel mulai tidak berfungsi dan akhirnya menjadi kanker atau mati.
Sebagian besar gen yang berhubungan dengan XP adalah bagian dari proses perbaikan DNA yang dikenal sebagai nucleotide excision repair (NER). Protein yang dihasilkan oleh gen-gen ini bertanggung jawab atas tugas-tugas yang berbeda saat proses perbaikan berlangsung.
Protein-protein tersebut akan mengenali DNA yang rusak, mengurai bagian DNA yang mengalami kerusakan, memotong bagian yang tidak normal, dan mengganti bagian yang rusak dengan DNA yang benar.
Ketidaknormalan yang diwariskan pada gen-gen yang bekerja dalam NER mencegah sel-sel ini melakukan satu atau beberapa langkah perbaikan yang dibutuhkan.
Gejala-gejala yang terjadi pada penderita XP adalah hasil dari menumpuknya DNA rusak yang tidak diperbaiki. Ketika sinar UV merusak gen yang berfungsi mengendalikan pertumbuhan dan pembelahan sel, sel bisa mati atau tumbuh terlalu cepat dan tak terkendali. Pertumbuhan sel yang tidak teratur bisa mengakibatkan tumbuhnya tumor ganas. [1, 2, 3, 4]
Ketidaknormalan syaraf juga diduga terjadi akibat menumpuknya DNA yang rusak, meskipun otak tidak terpapar sinar UV. Para peneliti menduga ada faktor-faktor lain yang merusak DNA pada sel syaraf.
Masih belum jelas mengapa beberapa penderita XP mengalami ketidaknormalan syaraf, sementara sisanya tidak.
Biasanya, XP sudah bisa dideteksi pada saat pasien masih bayi, sekitar usia 1-2 tahun.
Anak yang mengalami sunburn setelah paparan pertamanya terhadap sinar matahari bisa menjadi gejala bahwa ia menderita XP.
Pada kebanyakan kasus, diagnosa klinis awal bisa ditegakkan berdasarkan sensitivitas terhadap sinar UV pada pasien yang menunjukkan gejala ini, atau dengan melihat ada tidaknya lentigo pada wajah di usia yang masih sangat muda. [1, 2, 3, 4]
Diagnosa bisa dikonfirmasi secara pasti dengan melakukan tes selular untuk perbaikan DNA yang rusak.
Tes yang paling umum digunakan adalah pengukuran sintesis DNA tidak terjadwal pada kultur kulit yang didapat melalui 3-4 mm punch biopsi yang diambil dari bagian kulit yang tidak terpapar, misalnya lengan bagian dalam. [4]
Tidak ada obat untuk xeroderma pigmentosum. Terapi gen untuk kondisi ini masih dalam tahap pengembangan dan penelitian. [2, 3, 4]
Tujuan utama dari perawatan yang dilakukan pada pasien XP adalah perlindungan dari UV dari sinar matahari serta lampu fluorescent yang tidak berpelindung. [2, 3, 4]
Pasien harus sering menjalankan pemeriksaan kulit yang dilakukan oleh ahli. Bila ada bintik-bintik yang diduga adalah tanda-tanda kanker kulit, maka harus segera ditindaklanjuti.
Beberapa pasien XP juga mungkin diberi resep isotretinoin. Ini adalah derivatif vitamin A yang bisa mencegah terbentuknya kanker baru.
Karena XP adalah gangguan genetik yang bersifat keturunan, maka tidak ada pencegahan yang bisa dilakukan.
Namun, diagnosa dini atas kelainan ini bisa memberikan harapan hidup yang baik bagi penderitanya, serta bisa membantu mencegah terjadinya komplikasi yang berat.
1. U.S. Department of Health and Human Services. Xeroderma pigmentosum. Medline Plus; 2010.
2. Vanessa Ngan, Dr Ebtisam Elghblawi, Prof Amanda Oakley. Xeroderma pigmentosum. DermNet NZ; 2017.
3. Stephanie Lin, Debby Tamura MS, RN, APNG, Kenneth H. Kraemer, MD. Xeroderma Pigmentosum. National Organization for Rare Disorders.
4. Alan R Lehmann, David McGibbon, Miria Stefanini. Xeroderma pigmentosum. Orphanet Journal of Rare Diseases; 2011.