Alexithymia adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan masalah yang dialami seseorang dalam merasakan emosi. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang, jika diterjemahkan secara bebas, berarti “tak ada emosi”.
Meskipun kondisi ini tidak terlalu dikenal, tetapi diperkirakan sekitar 1 dari 10 orang mengalaminya. [2]
Daftar isi
Di tahun 1972, Peter Sifneos memperkenalkan istilah alexithymia pada dunia kesehatan mental. Kondisi ini seringkali diambil sebagai diagnosa kedua yang menyertai gangguan kesehatan mental yang telah ada sebelumnya, termasuk depresi dan autisme. [1, 2]
Alexithymia adalah suatu cara untuk memberi karakter pada pasien yang tampaknya tidak memahami perasaan yang jelas-jelas sedang ia alami, atau pasien yang tidak punya cara untuk menggambarkan perasaan-perasaan ini pada orang lain. [1]
Ciri utama dari kondisi ini adalah ketidaksadaran emosional, kurangnya keterikatan sosial, dan buruknya hubungan antarpersonal. [1, 2, 3, 4]
Orang yang menderita alexithymia biasanya kesulitan mengekspresikan perasaan yang secara sosial dianggap layak, misalnya berbahagia di acara-acara yang menyenangkan, dan sebagainya. Sebagian lainnya mungkin kesulitan mengenali emosi apa yang sedang mereka rasakan.
Lebih jauh lagi, mereka yang menderita Alexithymia mengalami kesulitan mengenali dan memahami emosi yang dirasakan orang lain. Orang-orang seperti ini tidak selalu apatis, tetapi lebih cenderung tidak memiliki emosi sekuat orang lain dan mungkin kesulitan berempati. [2, 4]
Mengidentifikasi hilangnya ekspresi ini penting karena bisa membantu tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosa dan merencanakan terapi yang dibutuhkan oleh pasien.
Alexithymia adalah suatu kondisi yang belum sepenuhnya dipahami. Ada kemungkinan gangguan ini bersifat genetik.
Kondisi ini juga bisa terjadi akibat kerusakan otak di bagian insula. Bagian otak ini diketahui bertanggung jawab atas kemampuan sosial, empati, dan emosi seseorang. Kerusakan insula berhubungan dengan apatis dan kecemasan.
Beberapa gangguan mental berikut juga berhubungan dengan alexithymia: [2, 3]
1. Autisme
Gejala-gejala gangguan autisme bersifat luas, tetapi ada beberapa stereotipe yang berhubungan dengan alexithymia.
Stereotipe yang paling besar adalah kurangnya empati, dan sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa autisme tidak menyebabkan seseorang menjadi apatis.
Pada saat bersamaan, beberapa riset menunjukkan bahwa sekitar 50% penderita autisme juga mengalami alexithymia. Hal ini berarti bahwa alexithymia lah yang menyebabkan kurangnya empati, dan bukan autisme itu sendiri.
2. Emosi dan Depresi
Seseorang juga mungkin mengalami alexithymia dan depresi secara bersamaan.
Kondisi ini telah dikenali terjadi pada orang dengan depresi berat dan gangguan pasca melahirkan, serta juga schizophrenia.
Riset menunjukkan bahwa antara 32-51% orang dengan depresi juga mengalami alexithymia.
3. Kecenderungan Bunuh Diri
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa alexithymia bisa berhubungan dengan kecenderungan untuk bunuh diri pada pasien-pasien yang mengalami kondisi klinis seperti:
4. Trauma
Selain hal-hal di atas, kondisi ini juga tampak terjadi pada mereka yang pernah mengalami trauma, terutama di masa kecilnya.
Trauma dan pengabaian di masa kecil bisa menyebabkan perubahan di otak yang mengakibatkan penderitanya sulit untuk merasakan dan mengenali emosi di kemudian hari.
5. Kondisi-Kondisi Lainnya
Penelitian juga menunjukkan bahwa alexithymia bisa muncul pada penyakit dan cedera syaraf tertentu, termasuk:
Karena kondisi ini berhubungan dengan kurang atau tidak adanya perasaan, maka gejala-gejalanya bisa sulit untuk dikenali.
Karena kondisi ini berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan, maka penderitanya mungkin akan tampak tidak peduli atau apatis. [1, 2, 3]
Penderita alexithymia mengalami hal-hal berikut: [4]
Selain itu, orang yang mengalami alexithymia mungkin akan, secara pribadi, mengalami beberapa konteks sosial berikut, meskipun tidak mampu menjelaskannya: [2]
Kondisi ini juga bisa menyebabkan kesulitan bagi penderitanya untuk menerjemahkan perubahan pada tubuh sebagai respon emosional.
Misalnya, pasien mungkin kesulitan menghubungkan jantung berdebar dengan rasa takut atau semangat, tetapi masih tetap bisa mengenali bahwa tubuhnya sedang mengalami respon fisik pada saat itu. [2, 4]
Alexithymia bisa didiagnosa oleh ahli kesehatan mental, tetapi tidak diakui secara resmi oleh DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) edisi ke-5. [2]
Beberapa tes yang akan dokter berikan diantaranya:[2]
Hingga saat ini, tidak ada satu tes khusus untuk alexithymia, serupa dengan gangguan syaraf dan penyakit mental secara umum. Dibutuhkan waktu untuk menegakkan diagnosa dengan tepat.
Hingga saat ini, masih belum ada satu jenis perawatan khusus untuk alexithymia. Jenis perawatan yang diberikan akan tergantung dari kebutuhan kesehatan pasien secara keseluruhan.
Misalnya, jika pasien mengalami depresi atau gangguan kecemasan (anxiety), maka mengonsumsi obat-obatan tertentu untuk kondisi-kondisi tersebut bisa membantu meredakan gejala-gejala gangguan emosional yang menyertainya. [2]
Terapi juga bisa membantu penderita alexithymia. Terapi bisa mendorong pasien untuk berpartisipasi dalam latihan-latihan untuk meningkatkan kualitas kesehatan emosionalnya.
Pilihan terapi yang bisa dilakukan termasuk: [2, 3]
Masih diperlukan penelitian dan studi lebih lanjut mengenai alexithymia dan hubungannya dengan berbagai gangguan kesehatan mental.
Hal ini dibutuhkan agar pasien yang mengalami kondisi ini bisa mendapatkan perawatan dan pengobatan yang sesuai dengan akar penyebabnya.
1. René J. Muller, PhD. When a Patient Has No Story To Tell: Alexithymia. Psychiatric Times; 2000.
2. Kristeen Cherney, Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP. All About Alexithymia, or Difficulty Recognizing Feelings. Healthline; 2020.
3. Laura Hemming, Gillian Haddock, Jennifer Shaw, Daniel Pratt. Alexithymia and Its Associations With Depression, Suicidality, and Aggression: An Overview of the Literature. Frontiers in Psychiatry; 2019.
4. Allan N. Schwartz, PhD. The Loneliness of Alexithymia. Mental Help.