Distonia: Penyebab, Gejala dan Cara Mengobati

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Apa itu Distonia?

Distonia merupakan suatu kelainan yang dicirikan dengan kontraksi otot secara tidak sadar yang menyebabkan gerakan pelan berulang-ulang atau postur tidak wajar. [3]

Gerakan dapat menimbulkan rasa sakit dan beberapa orang dengan distonia dapat mengalami gemetaran atau gejala neurologis lainnya [3].

Distonia disebabkan oleh gangguan dalam regulasi bentuk otot, biasanya mengakibatkan kekakuan di sekujur tubuh[4].

Peningkatan tone pada otot yang berlawanan membatasi gerakan disadari. Ketika peningkatan bentuk pada otot yang berlawanan tidak simetris, kondisi dapat mengubah postur[4].

Fakta Distonia

Distonia mempengaruhi sekitar 1% dari populasi di seluruh dunia. Wanita lebih rentan terkena distonia daripada pria [1].

Menurut American Association of Neurological Surgeons, distonia mempengaruhi hingga 250.000 orang di US. Distonia juga dianggap sebagai kelainan gerak paling umum ketiga setelah tremor esensial dan penyakit parkinson [2].

Distonia dapat terjadi pada semua umur, meski umumnya kasus distonia mulai muncul pada usia 40 hingga 60 tahun [3].

Distonia bukan suatu kondisi tunggal, namun berbagai kelainan [2].

Distonia merupakan suatu kondisi neurologis yang mempengaruhi otak dan saraf. Meskipun demikian, distonia tidak mempengaruhi kemampuan kognitif (kecerdasan), ingatan, dan kemampuan komunikasi [2].

Distonia cenderung menjadi kondisi progresif, tapi tidak pada semua kasus [2].

Jenis Distonia

Berdasarkan Penyebabnya

Distonia dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya, menjadi:

  • Distonia primer

Distonia primer disebut juga distonia idiopatik. Penyebabnya tidak teridentifikasi dan tidak terkait dengan penyakit lain. Banyak kasus distonia tiba-tiba merupakan jenis idiopatik [2].

  • Distonia Sekunder

Distonia sekunder berkaitan dengan faktor genetik, perubahan neurologis, atau suatu cedera [2].

  • Distonia akibat genetik

Terdapat beberapa faktor genetik penyebab distonia. Beberapa bentuk tampak diwariskan dalam pola manner dominan, yang berarti kelainan dapat diturunkan ke anak dengan hanya satu orang tua yang membawa gen cacat. Pada kasus tertentu anak yang mewarisi gen cacat tidak mengalami distonia [3].

  • Distonia acquired

Distonia acquired disebabkan oleh faktor ligkungan atau kerusakan pada otak, atau akibat pemaparan terhadap obat tertentu. Distonia acquired sering tanpa kemajuan dan tidak menyebar ke bagian lain dari tubuh[3].

Berdasarkan Bagian Tubuh

Distonia dapat dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang terpengaruh menjadi [2, 3]:

  • Distonia umum: mempengaruhi sebagian besar atau seluruh bagian tubuh.
  • Distonia fokal: mempengaruhi pada bagian tubuh tertentu saja
  • Distonia multifokal: memengaruhi dua atau lebih bagian tubuh yang tidak berhubungan
  • Distonia segmental: mempengaruhi dua atau lebih bagian tubuh yang berhubungan
  • Hemidistonia: mempengaruhi tangan dan kaki pada satu sisi tubuh yang sama

Berdasarkan Polanya

Distonia juga dapat diklasifikasikan sebagai sindrom berdasarkan polanya [1, 3]:

Distonia serviks

Distonia serviks disebut juga sebagai tortikolis spasmodik atau tortikoli. Distonia jenis ini adalah yang paling umum dari distonia fokal. Distonia cervical mempengaruhi otot pada leher yang mengendalikan posisi kepala [3].

Gejala distonia serviks meliputi [2]:

  • Memutar kepala dan leher
  • Kepala dan leher tertarik ke depan
  • Kepala dan leher tertarik ke belakang
  • Kepala dan leher tertarik ke samping

Gejala yang ditimbulkan dapat berupa ringan hingga berat. Terkadang disertai dengan tertariknya bahu ke atas [2, 3].

Distonia serviks dapat dialami oleh semua usia, meskipun umumnya penderita mengalami gejala pertama pada usia pertengahan middle age atau paruh baya. Pada mulanya kemunculan gejala sering perlahan dan biasanya mencapai plateau setelah beberapa bulan atau tahun[3].

Sekitar 10% dari penderita tortikolis dapat mengalami remisi spontan, namun remisi ini tidak berlangsung lama[3].

Blepharospasm

Blepharospasm adalah distonia fokal paling umum kedua. Dicirikan dengan kontraksi tidak disadari dan memaksa forcible otot-otot yang mengendalikan kedipan mata [3].

Gejala pertama biasanya berupa peningkatan berkedip dan biasanya mempengaruhi kedua mata[3].

Gejala lain dari blepharospasm meliputi[2]:

  • Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
  • Iritasi mata
  • Berkedip secara berlebihan, sering kali tidak terkendali
  • Mata menutup secara tidak terkendali

Spasme dapat mengakibatkan kelopak mata tertutup sepenuhnya, menyebabkan kebutaan fungsional meski kondisi bola mata sehat dan penglihatan normal[3].

Umumnya, pada penderita blepharospasm gejala makin memburuk seiring waktu[2].

Distonia Cranio-facial

Distonia cranio-facial merupakan distonia yang mempengaruhi otot-otot pada kepala, wajah, dan leher (seperti blepharospasme). Istilah sindrom meige kadang digunakan untuk distonia cranio-facial disertai dengan blepharospasme.

Distonia Oromandibular

Distonia ini mempengaruhi otot pada rahang, mulut, dan lidah. Distonia ini dapat mengakibatkan kesulitan untuk membuka tutup rahang, serta kesulitan bicara dan menelan [3].

Beberapa penderita hanya mengalami gejala saat otot mulut dan rahang digunakan, sementara pada penderita lain gejala dapat timbul ketika otot tidak sedang digunakan. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan disfagia (kesulitan menelan) [2].

Distonia Laryngeal

Distonia laryngeal atau disfonia spasmodik mempengaruhi otot yang mengendalikan pita suara. Distonia jenis ini dicirikan dengan gangguan bicara[3].

Distonia Spesifik Tugas

Disitonia spesifik tugas adalah distonia fokal yang cenderung terjadi hanya ketika melakukan suatu aktivitas spesifik secara terus menerus.

Contohnya ialah kram penulis yang mempengaruhi otot pada tangan dan sesekali lengan bawah, dan hanya terjadi ketika menulis. Distonia serupa juga disebut kram juru ketik, kram pianis, dan kram musisi [3].

Distonia Paroksimal

Distonia paroksimal tergolong kondisi yang langka. Ditandai dengan spasme otot dan gerakan tubuh tidak wajar yang terjadi pada waktu tertentu saja[2].

Serangan distonia paroksimal dapat terlihat seperti epilepsi selama kejang-kejang. Akan tetapi, penderita tidak kehilangan kesadaran seperti pada epilepsi. Serangan distonia hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi pada kasus tertentu dapat berlangsung berjam-jam[2].

Beberapa faktor berikut dapat menjadi pemicu terjadinya serangan distonia [2]:

  • Stres mental
  • Kelelahan (kelesuan)
  • Mengkonsumsi makanan atau minuman beralkohol
  • Mengkonsumsi kopi
  • Suatu gerakan tiba-tiba

Berdasarkan Faktor Genetik

Selain jenis distonia yang telah disebutkan, terdapat dua bentuk distonia yang diduga disebabkan faktor genetik, yaitu [3]:

  • Distonia DYT1

Distonia ini merupakan bentuk distonia umum yang diwariskan secara dominan yang diduga disebabkan oleh mutasi pada gen DYT1.

Jenis dystonia ini biasanya dimulai ketika masa kanak-kanak, dengan gejala pertama mempengaruhi tungkai, dan berkembang hingga sering kali menyebabkan disabilitas yang signifikan. [3]

Distonia jenis ini disebabkan pengaruh gen yang dapat berbeda-beda, beberapa orang yang membawa mutasi dalam gen DYT1 dapat tidak mengalami distonia [3].

  • Distonia Responsif Dopa

Distonia responsif dopa dikenal juga sebagai penyakit segawa. Penderita biasanya mengalami onset selama masa kanak-kanak dan mengalami kesulitan progresif untuk berjalan.

Gejala mengalami fluktuasi secara khas dan bertambah buruk saat sore hari dan setelah berolahraga [3].

Beberapa bentuk distonia responsif dopa disebabkan oleh mutasi pada gen DYT5.

Pasien dengan kelainan ini mengalami peningkatan gejala yang dramatis setelah pengobatan dengan levodopa, suatu obat yang umum digunakan untuk menangani penyakit parkinson [3].

Penyebab Distonia

Distonia Primer

Pada kebanyakan kasus distonia tidak memiliki penyebab spesifik. Menurut para ahli, distonia berkaitan dengan gangguan pada ganglia basal, yaitu suatu bagian otak yang bertanggung jawab dalam menginisiasi kontraksi otot. Gangguan yang terjadi meliputi cara komunikasi antar saraf [2].

Diduga kesalahan jenis neurotransmitter yang diproduksi pada ganglia basal menyebabkan munculnya gejala distonia. Para ahli juga menduga bahwa bagian otak lainnya terlibat [2].

Distonia Sekunder

Distonia sekunder disebut juga acquired dystonia. Distonia jenis  ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi dan penyakit, antara lain:

Distonia primer atau idiopatik sering diwariskan dari orang tua. Beberapa carrier gen dari penyakit ini dapat tidak pernah mengalami distonia. Gejala yang muncul juga dapat berbeda di antara anggota keluarga [2].

Distonia Terinduksi Obat

Beberapa obat dapat menyebabkan distonia. Umumnya, distonia terinduksi obat muncul setelah satu kali pemaparan terhadap satu jenis obat saja. Distonia jenis ini relatif mudah untuk diobati[2].

Pada beberapa kasus distonia juga dapat muncul setelah mengkonsumsi obat selama beberapa waktu, disebut sebagai distonia tardif.

Distonia jenis ini paling umum disebabkan oleh obat neuroleptik, yaitu obat yang digunakan untuk menangani psikiatrik, kondisi gastrik, dan gerakan[2].

Berikut beberapa obat yang dapat menimbulkan distonia terinduksi obat, yaitu[2]:

Gejala Distonia

Gejala distonia berbeda-beda mulai ringan hingga berat dan dapat mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang berbeda[2, 3].

Gejala awal dapat meliputi kram kaki atau kecenderungan satu kaki untuk diputar atau diseret, baik secara sporadis atau setelah berlari atau berjalan hingga jarak tertentu, atau bertambah buruknya tulisan tangan setelah menulis beberapa baris[3].

Berikut beberapa gejala awal distonia[3]:

  • Kaki kram
  • Leher menoleh atau tertarik secara tidak sadar, terutama ketika penderita kelelahan atau mengalami stres
  • Terkadang kedua mata berkedip secara cepat dan tidak terkendali, di lain waktu, spasme menyebabkan mata tertutup
  • Gemetaran dan kesulitan bicara
  • Kecenderungan untuk menyeret kaki

Ketika penyakit muncul di usia muda, biasanya gejala melibatkan kaki. Gangguan pada gaya berjalan, atau gangguan berjalan dapat merupakan satu-satunya gejala dalam beberapa waktu[4].

Progres gejala bervariasi tapi terjadi lebih cepat pada pasien yang menunjukkan gejala sejak usia muda. Ketika penyakit muncul di usia tua, gejala yang timbul lebih banyak melibatkan tubuh utama batang tubuh dan leher[4].

Distonia dapat berkembang hingga menyebabkan ketidakmampuan bergerak secara total dan kematian akibat komplikasi sekunder, biasanya pneumonia[4].

Diagnosis Distonia

Untuk mendiagnosis distonia biasanya dilakukan pengetesan gejala fisik. Selain itu, dokter dapat melakukan beberapa tes lain dan mengajukan beberapa pertanyaan untuk menentukan jenis distonia yang dialami[2].

Mulanya, dokter akan menganalisa catatan kesehatan pasien dan keluarga[2].

Beberapa tes dan prosedur berikut dapat membantu dalam menentukan jenis distonia yang dialami pasien[2]:

  • Tes Darah dan Tes Urin

Kedua tes ini dapat dilakukan untuk menentukan ada tidaknya zat racun atau infeksi. Selain itu, tes darah dan urin dapat digunakan untuk mengecek fungsi organ (misalnya hati).

  • Tes Genetik

Tes genetik dapat dilakukan untuk menguji ada tidaknya abnormalitas atau mutasi pada gen dan menentukan rule out kondisi lain, seperti penyakit Huntington.

Scan MRI dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan pada otak atau suatu tumor.

  • Levodopa

Jika gejala meningkat dengan cepat setelah mengkonsumsi levodopa, dokter dapat mendiagnosis onset awal distonia.

Pengobatan Distonia

Pengobatan distonia dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pemberian obat, terapi fisik, dan prosedur bedah neurologis [2, 5].

Obat Distonia

  • Antikolinergik

Obat antikolinergik berfungsi menghambat pelepasan asetilkolin, suatu neurotransmiter yang menyebabkan spasme otot pada beberapa jenis distonia[2].

Untuk distonia umum, obat antikolinergik paling umum digunakan, seperti trihexyphenidyl atau benzotropine, dengan dosis sesuai petunjuk dokter[5].

  • Relaksan Otot

Relaksan otot biasanya diresepkan jika perawatan lain tidak efektif. Relaksan otot meningkatkan konsentrasi GABA (Gamma-Aminobutyric Acid), suatu neurotransmitter yang merelaksasi otot.

Relaksan otot dapat diberikan secara oral atau injeksi, contohnya diazepam dan clonazepam[2].

Pemberian relaksan otot, biasanya baclofen atau jenis benzodiazepine (seperti clonazepam), atau keduanya dapat memberikan manfaat tambahan [5].

  • Toksin Botulinum

Toksin botulinum adalah jenis racun kuat, tapi aman untuk digunakan dalam dosis yang sangat kecil. Sering digunakan sebagai penanganan pertama untuk kebanyakan jenis distonia fokal atau segmental, atau dystonia umum yang mempengaruhi terutama pada satu bagian tubuh [2, 5].

Toksin botulinum tipe A dan tipe B terpurifikasi diinjeksikan ke dalam otot yang terpengaruh distonia. Toksin botulinum melemahkan kontraksi otot berlebih melalui chemodenervation, tapi tidak mengubah circuitry otak abnormal yang menyebabkan distonia [5].

Pemberian toksin botulinum diulangi setiap 3-4 bulan karena durasi aktivitas toksin terbatas[5].

  • Levodopa

Orang yang didiagnosis distonia responsif dopa akan diresepkan pengobatan levodopa. Obat ini meningkatkan konsentrasi dopamine, suatu neurotransmitter[2].

Pada mulanya, konsumsi levodopa dapat menimbulkan mual, namun efek tersebut akan menurun dan hilang setelah tubuh terbiasa terhadap obat[2].

Terapi Fisik Distonia

Terapi fisik yang umum digunakan untuk menangani distonia adalah dengan trik sensorik. [2]

Gejala distonia terkadang dapat diredakan dengan menyentuh bagian tubuh yang terpengaruh penyakit atau bagian tubuh di dekatnya.

Sebagai contoh penderita dystonia cervical dapat merasa gejala membaik atau menghilang saat menyentuh bagian belakang kepala atau bagian sisi wajah[2].

Terapi bicara dan/atau terapi suara dapat sangat membantu untuk pasien yang terkena disfonia spasmodik. Terapi fisik, penggunaan bidai, manajemen stres, dan biofeedback juga dapat membantu penderita distonia tertentu[3].

Prosedur Bedah

Prosedur bedah biasanya dianjurkan dokter jika terapi lain tidak bekerja efektif [2]. Berikut beberapa prosedur bedah untuk distonia:

  • Deep Brain Stimulation (DBS)

DBS dapat direkomendasikan untuk beberapa individu dengan distonia, khususnya ketika pengobatan tidak meringankan gejala dengan baik atau efek samping yang ditimbulkan terlalu berat. [3]

DBS melibatkan implantasi secara bedah suatu elektroda kecil yang terhubung dengan pulse generator ke dalam bagian otak spesifik yang mengendalikan gerak[3].

Sebuah elektroda kecil ditempatkan dalam globus pallidus, suatu bagian dari ganglia basal. Elektroda tersebut dihubungkan dengan pulse generator yang ditanamkan di dalam kulit, biasanya di dalam dada atau perut bagian bawah.

Pulse generator mengirimkan sinyal ke globus pallidus yang membantu menghambat produksi impuls saraf abnormal oleh ganglia basal [2].

  • Denervasi Perifer Selektif

Prosedur operasi denervasi perifer selektif terkadang digunakan pada penderita distonia serviks.

Operasi dilakukan dengan pemotongan beberapa ujung saraf yang terhubung dengan otot yang terpengaruh distonia[2].

Pencegahan Distonia

Ada beberapa kasus distonia yang tidak diketahui penyebabnya, terutama pada distonia primer, sehingga sulit untuk dicegah.[6]

Sedangkan untuk distonia sekunder dapat dicegah dengan menjaga gaya hidup, yang meliputi:[8]

  • Melakukan latihan peregangan secara teratur untuk mencegah mati rasa dan kontraksi otot
  • Hindari duduk dengan postur yang sama dalam jangka waktu yang lama
  • Jalan kaki secara teratur akan membantu mengatasi kejang otot
  • Hindari obat-obatan yang mengganggu aktivitas neuromuskuler

Pada kasus distonia fokal yang paling umum dijumpai, terutama pada musisi, terkadang ada yang tidak bisa diprediksi penyebabnya.

Tetapi terdapat faktor-faktor tertentu yang dapat memperburuk distonia dan harus dihindari, diantaranya:[7]

  • Stres yang ekstrim
  • Kelelahan
  • Berbicara berlebihan
  • Agitasi yang berlebihan

Menghindari hal-hal ekstrem tersebut dapat membantu mengelola kondisi dan mencegah distonia menjadi lebih buruk.

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment