Tempe telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Penamaan tempe sendiri nerujuk pada dua kata yaitu tape yaitu panganan hasil fermentasi dan tempayan yang merupakan wadah besar tempat menaruh produk fermentasi[1].
Karena kaya akan nutrisi, tempe pernah menyelamatkan bangsa ini dari kelaparan pada masa penjajahan belanda 1875. Tempe juga yang menolong para tahanan Jepang dari busung lapar dan wabah disentri[2]. Kandungan tempe tinggi akan protein, karbohidrat, serat, zat besi, asam folat, dan vitamin B12 menempatkan tempe sebagai makanan super.
Harganya yang murah dan mudah ditemukan menjadikan tempe popular sebagai alternatif utama memenuhi kebutuhan protein selain daging. Beberapa praktisi diet vegan juga memasukkan tempe sebagai menu wajib diet seimbangnya.
Mengkonsumsi tempe secara terus menerus dalam jumlah besar dapat menimbukan beberpa gangguan kesehatan terutama jika pengolahan tempe kurang tepat maka resiko tersebut akan berlipat ganda. Berikut rangkuman efek samping ketika mengkonsusmi tempe berlebihan:
Proses fermentasi pada tempe menyebabkan jumlah protein dalam kedelai meningkat. Dalam 80 gr tempe mengandung sekitar 17 gr protein, ini lebih tinggi dibanding produk hewani seperti daging sapi yang hanya memiliki kandungan protein 12gr[3].
Daftar isi
Protein sendiri dibutuhkan untuk perkembangan otak dan pembentukan otot, namun ketika jumlah protein yang masuk kedalam tubuh berlebihan akan membuat kerja hati lebih keras dalam deaminasi protein. Ini menyebabkan hasil ekskresi akan kelebihan nitrogen[4].
Hasil ekskresi ini berupa urea yang masih perlu disaring dan dibuang oleh ginjal dalam bentuk urine. Inilah yang menyebabkan kelebihan mengkonsumsi makanan tinggi protein seperti tempe akan menyebabkan kerja hati dan ginjal lebih keras yang dapat berujung pada gangguan fungsi kedua organ vital tersebut.
Secara umum produk makanan berbahan kedelai seperti tempe dapat mempengaruhi fungsi tiroid bahkan menyebabkan hipotiroid atau rendahnya fungsi tiroid[5]. Mengkonsumsi tempe dapat menghambat penyerapan yodium oleh kelenjar tiroid, yodium sangat diperlukan dalam pembentukan hormon tiroid.
Hal ini dapat menyebabkan kelenjar tiroid membengkak dan membentuk gondok[6]. Selain menyebabkan gondok, kekurangan hormon tiroid juga menyebabkan gejala mudah lelah, gangguan memori, rambut kering, dan depresi.
Dalam sebuah studi yang meninjau efek konsumsi makanan tinggi protein menunjukkan bahwa konsentrasi plasma glukosa dan hormon glukoregulasi setelah memakan makanan tinggi protein nabati seperti tempe secara subtansial meningkatkan konsentrasi plasma glukagon, insulin dan glukosa dibanding dengan konsumsi makanan tinggi protein hewani[7].
Hal ini akan merangsang sekresi insulin dan glukagon yang menyebabkan gangguan kerja insulin yang potensial peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 2[8]. Jika anda sedang menjalani terapi insulin maka sangat dianjurkan untuk mengurangi konsumsi makanan tinggi protein seperti tempe, sebab dapat mengganggu kerja insulin dalam darah anda.
Tempe memiliki antigenisitas[9] atau senyawa yang secara normal tidak terdapat pada makhluk hidup. Hal ini dapat memicu gejala alergi pada seseorang. Meski kandungannya tergolong rendah namun beberapa orang memiliki toleransi yang rendah terhadap zat tersebut[10].
Orang-orang yang memiliki Riwayat alergi kacang-kacangan dan jamur sebaiknya menghindari konsumsi tempe dan produk kedelai lainnya. Alergi dan intoleransi tempe dapat ditandai dengan gejala seperti sensasi kesemutan pada mulut, gatal-gatal, eksim, diare, mual, muntah, pembengkakan pada anggota tubuh seperti bibir, wajah, lidah, dll.
Konsumsi tempe berlebihan terutama rutin setiap hari ternyata memengaruhi siklus bulanan wanita. Ini di sebabkan oleh zat estrogenik yang disebut fitoestrogen yang terdapat pada kedelai dan produk olahannya termasuk tempe. Sistem reproduksi wanita sangat bergantung pada hormon estrogen, sementara fitoestrogen pada tingkat yang sangat tinggi dapat mengganggu proses pada system ini[11].
Kandungan isoflavon dalam produk olahan kedelai seperti tempe juga dapat menyebabkan infertilitas sekunder pada wanita seperti yang ditunjukkan pada hasil studi dokter di SUNY Downstate Medical Center tahun 2008 silam. Studi ini menunjukkan bahwa wanita yang telah mengonsumsi makanan kaya kedelai sejak usia 14 tahun mengalami infertilitas sekunder, kondisi tersebut berangsur sembuh dan berhasil mengalami kehamilan setelah konsumsi produk kedelainya dikurangi secara bertahap[12].
Ukuran Porsi Tempe yang Aman Untuk di Konsumsi
Walaupun termasuk dalam makanan kaya nutrisi dan sangat bermanfaat untuk Kesehatan, konsumsi tempe secara berlebihan sangat tidak dianjurkan. Ukuran porsi tempe yang normal dikonsumsi sekitar 100gr/orang setiap harinya[13]. Untuk menghindari efek samping dari konsumsi tempe, sebaiknya lakukan beberapa hal berikut :
[1] Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1996.
[2] Shurtleff, William, Aoyagi, Akiko. History of Tempeh. Soyfoods Center. California. 2004.
[3] Winarno, Amadeus DA, Cordeiro, Lorraine, Winarno, Florentinus G , Gibbons J, Xiao, Hang . Tempeh: A semicentennial review on its health benefits, fermentation, safety, processing, sustainability, and affordability. Comprehensive Reviews In Food Science And Food Safety. 2021.
[4] Bilsborough, Shane, Mann, Neil. A Review of Issues of Dietary Protein Intake in Humans. International Journal of Sport Nutrition and Exercise Metabolism. 2006.
[5] de Souza Dos Santos MC, Gonçalves CF, Vaisman M, Ferreira AC, de Carvalho DP. Impact of flavonoids on thyroid function. Food Chem Toxicol. 2011.
[6] Tonstad, S.; Jaceldo-Siegl, K; Messina, M. et al. The association between soya consumption and serum thyroid-stimulating hormone concentrations in the Adventist Health Study-2.Pub Health Nutr. 2016.
[7] Markova, M. et al. Rate of appearance of amino acids after a meal regulates insulin and glucagon secretion in patients with type 2 diabetes: a randomized clinical trial. Am. J. Clin. Nutr. 2018.
[8] Muller, T. D., Finan, B., Clemmensen, C., DiMarchi, R. D. & Tschop, M. H. The new biology and pharmacology of glucagon. Physiol.
[9] Wilson, S., Martinez-Villaluenga, C., & De Mejia, E. G.Purification, thermal stability, and antigenicity of the immunodominant soybean allergen P34 in soy cultivars, ingredients, and products. Journal of Food Science. 2008.
[10] Anonym. urmc.rochester.edu. Canadian Society of Intestinal Research: "Food Allergy vs. Intolerance". 2021.
[11] Wendy N. Jefferson, Adult Ovarian Function Can Be Affected by High Levels of Soy, The Journal of Nutrition. 2010
[12] Chandrareddy A, Muneyyirci-Delale O, McFarlane SI, Murad OM. Adverse effects of phytoestrogens on reproductive health: a report of three cases. Complement Ther Clin Pract. 2008
[13] Shubrook, Nicola. The Health Benefits of Tempeh. bbcgoodfood.com. 2021.
[14] Anggriawan, Riyan. Microbiological and Food Safety Aspects of Tempeh Production in Indonesia. Faculty of Agricultural Sciences, Georg-August-University Göttingen, Germany. 2017.
[15] Sudarmadji, S. , & Markakis, P. Stillings, B. R., & Hackler, L. R. Amino acid studies on the effect of fermentation time and heat-processing of tempeh. Journal of Food Science. 1965.
[16] Stillings, B. R., & Hackler, L. R. Amino acid studies on the effect of fermentation time and heat-processing of tempeh. Journal of Food Science. 1965.