Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Epilepsi atau ayan adalah kondisi dimana kejang terjadi berulang akibat aktivitas listrik di otak yang terjadi secara abnormal. Epilepsi dapat dimulai pada usia berapapun, namun umumnya dimulai di masa
Daftar isi
Epilepsi atau yang seringkali disebut dengan istilah ayan adalah sebuah kondisi kesehatan kronis yang menyebabkan penderitanya alami kejang berulang [1,2,5,9,10].
Kejang yang timbul disebabkan oleh aktivitas listrik dari otak yang terjadi secara tiba-tiba.
Durasi berlangsungnya kejang beragam, ada yang bisa sangat singkat namun ada pula yang kejang cukup lama dengan frekuensi dari kurang dari 1 kali per tahun atau justru bisa terjadi beberapa kali dalam sehari [1].
Epilepsi dapat disebabkan oleh banyak faktor yang beragam, berikut ini merupakan deretan faktor umum penyebab maupun faktor risiko epilepsi yang perlu dikenali [2,3,10] :
Kejang pada kondisi epilepsi mungkin dirasa tiba-tiba, namun sebenarnya ada beberapa situasi atau kondisi tertentu yang mampu membuat kejang bisa timbul.
Beberapa faktor inilah yang dapat memicu kejang terjadi dan patut diwaspadai :
Untuk mengetahui apa pemicu yang paling sering terjadi, maka mencatatnya pada sebuah jurnal adalah hal yang penting dan dianjurkan.
Pencatatan ini dapat membantu penderita untuk mengetahui seberapa sering kejang terjadi berikut gejala lain bila ada.
Bahkan pemicu kejang tidak hanya terjadi karena satu hal saja, sebab seringkali kombinasi dari beberapa faktor pemicu mampu menyebabkan kejang.
Menurut penyebabnya, epilepsi dibagi menjadi dua jenis, yaitu epilepsi primer atau idiopatik serta epilepsi sekunder atau simptomatik [9].
Ada kondisi epilepsi yang sama sekali tak diketahui penyebabnya sama sekali dan inilah yang disebut dengan epilepsi primer atau idiopatik.
Karena belum diketahui penyebab pasti epilepsi ini, maka para ahli kesehatan menduga bahwa faktor genetik atau keturunanlah yang menjadi penyebab utama.
Epilepsi simptomatik atau sekunder adalah epilepsi yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari cedera, gangguan pada otak hingga penyakit menular.
Gangguan perkembangan otak pun dapat menjadi penyebab utama terjadinya epilepsi sekunder atau simptomatik ini.
Frekuensi kejang pada wanita yang sedang dalam masa kehamilan biasanya tidak akan mengalami peningkatan [7].
Bahkan diketahui bahwa wanita hamil dengan kondisi epilepsi justru 96% melahirkan bayi yang sehat tanpa ada kecacatan atau kerusakan pada otak.
Namun pemberian obat anti kejang untuk ibu hamil terbukti mampu membahayakan kesehatan sang ibu dan calon bayi.
Antiepilepsi adalah jenis obat yang justru meningkatkan risiko bayi lahir cacat.
Bahkan beberapa jenis obat antiepilepsi yang dianggap aman sekalipun bagi janin diketahui mampu meningkatkan frekuensi kejang serta memperbesar risiko bayi mati dalam kandungan.
Ada baiknya untuk benar-benar mengonsultasikan kepada dokter mengenai jenis obat yang aman bagi sang ibu hamil serta janinnya.
Tanyakan kepada dokter mengenai berbagai efek samping yang kemungkinan bisa terjadi dari penggunaan obat tersebut.
Kejang pada epilepsi diketahui terdiri dari dua jenis, yaitu kejang umum dan kejang fokal atau parsial yang perlu dikenali gejala-gejalanya [2,4] :
Kejang umum adalah suatu kondisi kemacetan pada sel-sel saraf di dua sisi otak.
Dan pada kejang umum sendiri, terdapat beberapa kondisi dengan gejala yang berbeda-beda pula.
Kondisi ini utamanya disebabkan oleh otot yang terasa kaku.
Tatapan penderita kosong dan gerakan wajah tampak berulang, seperti bibir mengecap atau mata yang berkedip.
Gerakan otot seperti tersentak, khususnya pada area lengan, leher, hingga wajah.
Kontrol pada otot hilang dan dapat membuat keseimbangan tubuh seseorang hilang dan memicunya jatuh secara tiba-tiba.
Ditandai dengan tubuh menjadi sangat kaku disertai dengan gemetaran serta menggigit lidah.
Penderita juga mengalami kehilangan kontrol usus serta kandung kemih hingga kehilangan kesadaran.
Ditandai dengan gerakan spontan yang sangat cepat khususnya gerakan kaki dan tangan.
Seperti sebutannya, hanya bagian-bagian tertentu pada otak yang mengalami masalah dan gejala-gejalanya seringkali dicurigai sebagai tanda penyakit saraf lain dan bukan epilepsi.
Bahkan ada pula kasus di mana gejala kejang fokal dianggap sebagai tanda penyakit mental.
Pada kejang fokal atau parsial sendiri pun dibagi lagi menjadi dua jenis kejang, yaitu kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks.
Penderita kejang jenis ini biasanya hanya mengalami rasa pusing, kesemutan atau kedutan di beberapa anggota tubuh.
Selain itu, ada kemungkinan penderita mengalami perubahan fungsi pada indera pendengaran, sentuhan, penglihatan, penciuman dan perasanya, namun tidak sampai kehilangan kesadaran.
Penderita kejang jenis ini akan mengalami tatapan kosong di mana tidak ada reaksi apapun yang timbul dari diri penderita.
Gerakan tubuh pun mengalami pengulangan cukup sering. Pada kondisi kejang parsial kompleks pun rata-rata penderitanya mengalami kehilangan kesadaran.
Bila kejang terjadi cukup sering disertai dengan gejala-gejala lainnya, maka tempuhlah pemeriksaan ke dokter khusus ahli saraf.
Pada prosedur pemeriksaan, biasanya dokter akan melakukan beberapa hal ini [2,5] :
Tinjauan Dokter akan menanyakan lebih dulu riwayat gejala pasien, yang mungkin dapat dilanjutkan dengan serangkaian pemeriksaan lain seperti pemindaian otak, elektroensefalogram, hingga tes darah.
Pengobatan yang diberikan oleh dokter akan disesuaikan dengan tingkat keparahan kondisi gejala yang dialami pasien.
Beberapa metode penanganan inilah yang biasanya diperlukan oleh pasien epilepsi :
1. Obat-obatan
Terapi obat-obatan khususnya obat anti kejang bukanlah jenis obat yang dapat mengurangi tingkat keparahan maupun frekuensi kejang.
Obat anti kejang bukanlah obat untuk menyembuhkan epilepsi sama sekali karena obat ini tak mampu menghentikan kejang yang progresif.
Obat anti kejang bertujuan utama mengurangi aktivitas listrik yang memicu kejang dan berikut ini adalah jenis obat epilepsi yang umumnya diresepkan oleh dokter [2,5,10] :
Obat-obatan tersebut pun tidak sepenuhnya aman karena mampu menimbulkan sejumlah efek samping seperti kelelahan, gangguan ingatan, koordinasi tubuh yang buruk, ruam pada kulit, hingga pusing.
Obat anti kejang ada yang diberikan dalam bentuk cair, tablet ataupun injeksi/suntikan yang biasanya digunakan sehari 1-2 kali.
2. Diet Ketogenik
Bila obat-obatan seperti anti kejang kurang berhasil dalam menangani epilepsi, maka biasanya diet rendah karbohidrat tinggi lemak atau diet ketogenik menjadi salah satu yang disarankan [2,6].
Diet ini semula memang ditujukan untuk pasien epilepsi sebagai bentuk perawatan untuk pemulihan pasien [8].
Diet keto secara efektif dapat menurunkan risiko kejang dan terbukti ampuh dalam membantu penderita epilepsi jenis apapun.
Namun kini, diet keto mulai banyak diterapkan untuk program diet secara umum.
3. Stimulasi Saraf Vagus
Pada prosedur ini, dokter akan menggunakan alat yang akan ditempatkan pada bawah kulit dada dengan cara bedah [2,6].
Alat ini akan menstimulasi saraf yang ada di sepanjang leher secara elektrik untuk menurunkan risiko kejang berulang.
4. Operasi Otak
Bila gejala sudah sangat serius, maka ada kemungkinan dokter akan menyarankan pasien untuk menempuh operasi otak [1,2,6].
Tujuan operasi otak ini adalah untuk mengangkat bagian otak yang menyebabkan aktivitas kejang pada tubuh pasien.
Tinjauan Pengobatan epilepsi dapat dalam bentuk pemberian obat-obatan. Bila kondisi sudah sangat parah, maka diet ketogenik dapat dijalani oleh penderitanya. Pada epilepsi yang lebih serius lagi, stimulasi saraf vagus dan operasi otak mungkin dibutuhkan.
Epilepsi yang tidak ditangani dapat menjadi pemicu berbagai jenis kondisi komplikasi yang cukup menghambat kehidupan sehari-hari penderitanya [10] :
Jika epilepsi tidak diketahui sebab-musababnya seperti jenis epilepsi idiopatik, dan berkaitan dengan faktor genetik, maka hal ini cukup sulit untuk dicegah.
Namun untuk kasus epilepsi simptomatik dengan berbagai faktor penyebab, hal ini bisa dicegah.
Beberapa langkah upaya pencegahan epilepsi yang dapat coba dilakukan antara lain adalah [1,10] :
Tinjauan Telaah kembali apa saja kemungkinan penyebab atau pemicu dari epilepsi, terutama yang berkaitan dengan gaya hidup dan aktivitas sehari-hari dan minimalisirlah risiko epilepsi dari kedua hal tersebut.
1) Anonim. World Health Organization. Epilepsy.
2) Ann Pietrangelo & Jeanne Morrison, PhD, MSN. 2017. Healthline. Everything You Need to Know About Epilepsy.
3) Steven C. Schachter, MD, Patricia O. Shafer, RN, MN & Joseph I. Sirven, MD. 2014. Epilepsy Foundation. Epilepsy.
4) Neil Lava, MD. 2017. WebMD. Types of Seizures and Their Symptoms.
5) Anonim. 2017. National Health Service. Diagnosis Epilepsy.
6) Anonim. Epilepsy Society. Epilepsy Treatment.
7) Michael Owen Kinney & James Morrow. 2016. The British Medical Journal. Epilepsy in pregnancy.
8) Benedikta Desideria. 2018. Liputan 6. Diet Keto, Semula Ditujukan untuk Pasien Epilepsi.
9) dr. Rahmi Ardhini, Sp.S. 2019. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia - Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Fakta Epilepsi.
10) Joseph V. Campellone, MD, David Zieve, MD, MHA, Brenda Conaway & the A.D.A.M. Editorial team. 2018. Medline Plus. Epilepsy - overview.