Daftar isi
Gangguan konversi merupakan sebuah kondisi ketika fungsi sistem saraf terganggu namun bukan karena penyakit saraf atau penyakit lainnya [1,3,4,5,7,11,12].
Gangguan konversi berkaitan dengan tekanan emosional dan mental sehingga kemudian berakibat pada timbulnya gejala fisik tanpa adanya gangguan kondisi fisik yang benar-benar terjadi.
Pada gangguan konversi, penderita sulit dalam mengendalikan respon fisiknya, seperti halnya paralisis atau kelumpuhan pada kaki atau lengan maupun terjadinya tremor [1,3].
Kondisi-kondisi ini terjadi sebagai respon terhadap kejadian traumatis ataupun stres yang dialami.
Gejala fisik yang dimaksud bukanlah berupa luka ataupun keluhan yang begitu nampak secara fisik, melainkan gejala yang kelihatan secara fisik akibat trauma emosional maupun tekanan berat.
Tinjauan Gangguan konversi merupakan gangguan pada sistem saraf yang berakibat pada timbulnya gejala fisik namun bukan disebabkan oleh penyakit saraf atau penyakit medis lainnya.
Gangguan konversi utamanya dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang berkaitan dengan stres [1,3].
Depresi dan trauma emosional adalah dua faktor yang tergolong sebagai stres ekstrem sehingga mampu menyebabkan gangguan konversi [1,3,4].
Ketika dua kondisi tersebut terjadi, tubuh akan merespon terhadap tekanan tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah bahaya atau ancaman.
Selain kejadian menegangkan, trauma fisik dan trauma emosional, perubahan fungsi otak juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab gangguan konversi [1,3,5].
Perubahan baik yang terjadi pada sel-sel, struktur, maupun reaksi kimia pada tubuh mampu memicu gejala gangguan konversi [1,3,5].
Gejala atau bentuk respon dari tubuh seseorang yang mengalami stres ekstrem dapat pula dianggap sebagai sebuah cara untuk menghindari atau meredakan penyebab stres tersebut.
Seperti halnya beberapa tentara atau petugas kepolisian yang dapat mengalami kelumpuhan pada tangan mereka karena trauma secara mental akibat menembak atau membunuh seseorang.
Gangguan konversi dapat terjadi pada siapa saja, namun terdapat beberapa faktor yang mampu meningkatkan risiko gangguan konversi, seperti :
Tinjauan Faktor stres ekstrem dapat menjadi penyebab gangguan konversi, seperti ketika seseorang mengalami depresi maupun trauma emosional.
Gangguan konversi mampu menimbulkan gejala yang berbeda-beda pada masing-masing penderitanya.
Tak hanya kondisi gejala, tingkat keparahan gejala pun tidak sama antar penderita.
Gejala dapat terjadi satu waktu, namun kemudian gejala dapat timbul kembali dan bahkan cenderung berulang saat penderita teringat pemicu atau mengalaminya.
Beberapa gejala umum dari gangguan konversi antara lain adalah [1,3,4] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Ketika beberapa gejala yang telah disebutkan dialami, maka sudah saatnya untuk segera memeriksakan diri ke dokter.
Pemeriksaan dini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab sehingga penanganan juga lebih cepat diperoleh pasien.
Tinjauan Gejala gangguan konversi umumnya berupa paralisis, tremor, mati rasa dan kelemahan pada otot, gangguan keseimbangan tubuh, kehilangan pendengaran (sebagian atau total), gangguan bicara, kehilangan suara, sulit menelan, gangguan penglihatan, kejang, dan kehilangan kesadaran atau pingsan.
Tidak terdapat metode diagnosa khusus untuk memastikan kondisi gangguan konversi.
Ini karena metode diagnosa yang digunakan adalah yang secara umum digunakan pada pemeriksaan medis lain.
Pemeriksaan fisik adalah metode diagnosa awal yang dokter umumnya terapkan untuk mengecek kondisi fisik pasien [1,3].
Selain itu, dokter juga akan menerapkan pemeriksaan riwayat kesehatan dengan menanyakan seputar riwayat gejala, riwayat medis, serta riwayat pengobatan pasien sekaligus riwayat kesehatan keluarga pasien.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, dokter dapat mengeliminasi berbagai kemungkinan kondisi medis yang dapat menyebabkan gejala serupa dengan gangguan konversi.
Rontgen dan CT scan merupakan metode tes pemindaian yang dapat menjadi tes penunjang [7].
Dokter kerap menggunakan kedua metode pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pasien mengalami penyakit neurologis tertentu.
Melalui pemeriksaan ini, biasanya dokter juga dapat mengidentifikasi adanya cedera atau luka yang berkaitan dengan saraf pasien.
Untuk pasien dengan kondisi kejang, dokter perlu menggunakan metode elektroensefalogram agar dapat mengetahui adanya masalah saraf dalam tubuh pasien [1,7].
Kejang dapat menjadi tanda adanya penyakit saraf tertentu, maka untuk memastikan apakah kejang berkaitan dengan penyakit saraf atau tidak.
Tes rutin yang dimaksud adalah tes refleks sekaligus tes tekanan darah yang akan membantu dokter dalam menegakkan diagnosa [1,3].
Ini karena gejala gangguan konversi hampir mirip dengan sejumlah penyakit lainnya, maka diperlukan serangkaian tes penunjang untuk memastikan.
Dalam upaya memastikan apakah gejala yang selama ini dialami adalah gangguan konversi, terdapat kriteria diagnostik yang digunakan oleh para ahli medis.
Proses diagnosa biasanya berdasar pada panduan kriteria diagnositik DSM atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
Beberapa kriteria yang dimaksud dan kerap digunakan sebagai panduan antara lain adalah [1,3] :
Tinjauan Beberapa metode diagnosa yang digunakan dalam memastikan kondisi gangguan konversi antara lain meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes pemindaian, tes rutin dan elektroensefalogram.
Gangguan konversi dapat diatasi sesuai dengan gejala yang pasien alami selama ini, begitu juga dengan faktor risiko yang menjadi alasan kondisi ini terjadi.
Perawatan yang dokter berikan kepada pasien lebih bertujuan untuk mengelola stres maupun trauma.
Berikut ini adalah sejumlah metode pengobatan gangguan konversi secara umum :
Salah satu gejala gangguan konversi adalah kesulitan bicara dengan jelas karena artikulasi yang memburuk [8].
Oleh sebab itu, untuk mengatasi gangguan komunikasi saat pasien bicara, pasien perlu menempuh terapi wicara.
Karena gangguan konversi berpengaruh pada keseimbangan tubuh pasien, terapi fisik dan okupasi merupakan metode penanganan yang dibutuhkan oleh pasien [1,8].
Terapi fisik atau okupasi adalah metode penanganan untuk menangani kelumpuhan, gangguan sistem gerak tubuh, dan kelemahan otot.
Kemampuan fisik pasien akan meningkat bertahap melalui terapi ini karena pasien akan dilatih secara fisik melalui program olahraga tertentu.
Hipnoterapi kini merupakan metode yang kerap digunakan, khususnya bagi penderita fobia spesifik dan gangguan mental tertentu lainnya [9].
Pada prosedur terapi ini, penanaman sugesti dilakukan oleh terapis profesional ke dalam pikiran bawah sadar pasien.
Melalui hipnotis semua ini dapat dilakukan dan pasien otomatis akan menerima sugesti yang berhubungan dengan gejala untuk menangani gejala gangguan konversi.
Jika memang diperlukan, dokter akan memberikan resep obat-obatan yang sesuai dengan kondisi pasien.
Bila diketahui bahwa pasien merupakan penderita insomnia, gangguan kecemasan, dan depresi, obat anticemas, antidepresi dan obat tidur dapat diresepkan [1,3,4].
Pemberian obat biasanya dilakukan bersama dengan terapi yang sedang dijalani oleh pasien.
Gangguan konversi yang terjadi karena kejadian traumatis seringkali membutuhkan penanganan berupa terapi perilaku kognitif [3,10].
Terapis melalui terapi ini membantu pasien dalam mengubah pikiran dan perilaku negatif pasien menjadi lebih positif.
Dengan perubahan pandangan dan perilaku menjadi positif, pasien diharapkan mampu menghadapi pengalaman penyebab trauma dan mengatasi gejala gangguan konversi.
Tinjauan Terapi wicara, terapi fisik/okupasi, terapi perilaku kognitif, hipnoterapi dan pemberian obat-obatan merupakan cara utama yang biasanya digunakan dalam mengatasi gangguan konversi.
Prognosis umum gangguan konversi sebenarnya tergolong cukup buruk.
Namun, baik tidaknya prognosis gangguan konversi tergantung dari beberapa hal seperti [1] :
Jika sejak awal pasien diketahui memiliki sejumlah gangguan kesehatan dan kondisi kesehatan menyeluruh tidak begitu baik, prognosis gangguan konversi dapat begitu buruk.
Risiko komplikasi utama yang dapat terjadi pada gangguan konversi yang terlambat ditangani adalah kecacatan [1,5].
Gejala yang terus memburuk dapat terjadi di mana disabilitas ini serupa dengan kecacatan yang kondisi medis (penyakit saraf pada umumnya) sebabkan.
Disabilitas yang dialami pasien gangguan konversi sebagai salah satu bentuk komplikasi kurang lebih sama dengan yang diakibatkan oleh penyakit multiple sclerosis dan penyakit Parkinson [1].
Pencegahan terbaik agar gangguan konversi tidak terjadi adalah dengan meredakan stres serta mengelola stres dengan cara-cara yang positif.
Sebisa mungkin, menghindari trauma emosional juga sangat dianjurkan agar tidak berakibat pada kondisi mental tertentu sekaligus gangguan konversi.
Beberapa upaya yang juga dapat meminimalisir risiko gangguan konversi antara lain adalah [12] :
Tidak selalu mudah untuk mengatasi berbagai tekanan serta berbagai hal negatif yang berasal dari lingkungan sekitar.
Namun bila dapat memilah pergaulan dan menjaga hal-hal sekaligus orang-orang yang membawa pengaruh positif, gangguan konversi maupun gangguan mental tertentu dapat diminimalisir.
Untuk meminimalisir risiko komplikasi disabilitas pada pasien gejala gangguan konversi, terapi fisik dapat dilakukan [11].
Tinjauan Pengelolaan stres yang baik dan positif serta berada di lingkungan positif mampu meminimalisir hal-hal negatif dan depresi yang berakibat pada timbulnya gangguan konversi.
1. Jessica L. Peeling & Maria Rosaria Muzio. Conversion Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Winda Jovita. Psikodinamika Koping pada Individu dengan Gangguan Somatoform Tipe Konversi. Repository Unika Soegijapranata; 2016.
3. Shahid Ali, MD, Shagufta Jabeen, MD, Rebecca J. Pate, MD, Marwah Shahid, MS, Sandhya Chinala, MD, Milankumar Nathani, MD, & Rida Shah, MD. Conversion Disorder— Mind versus Body: A Review. Innovations in Clinical Neuroscience; 2015.
4. Fatma Akyuz, Peykan G. Gokalp, Sezgin Erdiman, Serap Oflaz, & Çağatay Karsidag. Conversion Disorder Comorbidity and Childhood Trauma. Noropsikiyatri Arsivi; 2017.
5. Samuel B Harvey, Biba R Stanton, & Anthony S David. Conversion disorder: towards a neurobiological understanding. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 2006.
6. Harsh Prem Jhingan, Neeruj Aggarwal, Shekhar Saxena, & Dhanesh K. Gupta. Multiple Personality Disorder Following Conversion and Dissociative Disorder NOS : A Case Report. Indian Journal of Psychiatry; 2000.
7. Markus Boeckle, Gregor Liegl, Robert Jank, & Christoph Pieh. Neural correlates of conversion disorder: overview and meta-analysis of neuroimaging studies on motor conversion disorder. BioMed Central Psychiatry; 2016.
8. Chittaranjan Andrade, Savita G. Bhakta, & Nagendra M. Singh. Systematic enhancement of functioning as a therapeutic technique in conversion disorder. Indian Journal of Psychiatry; 2009.
9. Franny C Moene, Philip Spinhoven, Kees A L Hoogduin, & Richard van Dyck. A randomized controlled clinical trial of a hypnosis-based treatment for patients with conversion disorder, motor type. The International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis; 2003.
10. Fiona A McFarlane, Hannah Allcott-Watson, Maria Hadji-Michael,, Eve McAllister, Daniel Stark, Colin Reilly, Sophie D Bennett, Andrew McWillliams, & Isobel Heyman. Cognitive-behavioural treatment of functional neurological symptoms (conversion disorder) in children and adolescents: A case series. European Journal of Paediatric Neurology; 2019.
11. Anonim. Conversion disorder. Harvard Health Publishing - Harvard Medical School; 2014.
12. Anthony Feinstein, MD PhD. Conversion disorder: advances in our understanding. Canadian Medical Association Journal; 2011.