Daftar isi
Hiperakusis merupakan jenis gangguan pendengaran di mana seseorang memiliki sensitivitas terlalu tinggi terhadap suara sehingga terlalu terganggu karena kepekaannya tersebut [1,2,3,4].
Suara yang terdengar normal saat didengar oleh orang lain akan terdengar lebih keras dan mengganggu bagi penderita hiperakusis [1,2,3,4].
Hiperakusis pun tidak kemudian menjadikan seseorang sensitif terhadap semua suara karena hal ini bisa berbeda-beda kasus [1,2,3,4].
Beberapa orang sangat sensitif terhadap suara musik yang keras namun biasa saja ketika ada anak atau orang lain menangis; namun, ada pula yang sebaliknya [1,2,3,4].
Suara yang dianggap tidak normal bagi penderita hiperakusis bisa berbeda macamnya dan bisa sampai menghambat aktivitas sehari-hari [3].
Belum diketahui pasti alasan atau faktor penyebab seseorang mengalami hiperakusis [1,3].
Namun, tetap terdapat beberapa faktor yang dikaitkan dengan meningkatkan risiko hiperakusis terhadap seseorang, yakni :
Gejala hiperakusis dapat bervariasi menurut tingkat keparahannya maupun tergantung kondisi kesehatan individu penderita.
Namun pada hiperakusis ringan, berikut ini adalah beberapa keluhan yang umumnya terjadi [1,3] :
Pada kasus hiperakusis yang lebih serius, berikut ini adalah beberapa gejala yang perlu diwaspadai [1,3] :
Hiperakusis pada anak dapat memicu ketidaknyamanan sehingga anak akan mudah berteriak, menangis dan rewel terus-menerus.
Gejala-gejala yang mengarah pada kondisi hiperakusis perlu diperiksa oleh dokter spesialis THT (telinga, hidung dan tenggorokan).
Berikut ini adalah rangkaian metode pemeriksaan yang pasien perlu tempuh untuk memastikan apakah gejala benar-benar tanda hiperakusis.
Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan menjadi langkah utama dalam metode diagnosis yang pasien perlu tempuh [1,3].
Pemeriksaan fisik di sini meliputi pemeriksaan telinga dan kepala untuk memastikan kondisi telinga sekaligus menentukan ada tidaknya cedera di kedua bagian tersebut [1,3].
Selain pemeriksaan fisik, dokter juga perlu menanyakan riwayat kesehatan pasien, seperti pasien sedang memiliki penyakit apa atau pasien sedang menjalani pengobatan apa [1,3].
Tak hanya itu, dokter perlu tahu apakah pasien belum lama ini mengalami kecelakaan yang menyebabkan cedera di bagian kepala [1,3].
Informasi-informasi semacam ini sungguh sangat penting bagi dokter untuk menentukan penyebab dari gangguan pendengaran pasien [1,3].
Dokter kemungkinan juga akan memberikan kuisioner kepada pasien [1,3].
Pasien diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar gejala yang selama ini dialami [1,3].
Hal ini bertujuan agar pasien juga memahami apa yang sedang terjadi pada tubuhnya sendiri [1,3].
Pemeriksaan ini juga sebaiknya dijalani oleh pasien agar dokter mampu mengukur tingkat sensitivitas pendengaran pasien [1,3].
Dengan mengetahui tingkat sensitivitas pendengaran pasien, dokter dapat memastikan apakah gejala yang pasien alami benar merupakan hiperakusis [1,3].
Kondisi-kondisi Lain yang Berkaitan dengan Hiperakusis
Seringkali gejala hiperakusis dapat disalahartikan sebagai kondisi lain yang serupa dengan hiperakusis sehingga terjadi kesalahan diagnosis.
Berikut ini merupakan sejumlah masalah kesehatan yang terkait dengan hiperakusis dan menandakan bahwa keduanya adalah kondisi berbeda [3,4].
Penanganan hiperakusis akan disesuaikan dengan faktor yang menjadi pemicunya.
Namun umumnya, perawatan yang diberikan kepada pasien bertujuan utama sebagai pereda dan pengendali gejala.
Dengan gejala lebih terkontrol, sensitivitas pendengaran pun akan menurun.
Secara umum, beberapa metode penanganan hiperakusis bagi pasien anak dan orang dewasa antara lain adalah :
Terapi ini pada dasarnya merupakan terapi yang diperuntukkan bagi penderita tinnitus, namun juga bisa dimanfaatkan bagi penderita hiperakusis [1,3,4].
Terapi ini menggunakan alat bantu dengar yang didesain dengan suara berintensitas rendah [1,3,4].
Dengan bantuan alat pada terapi ini, diharapkan sensitivitas pendengaran pasien dapat berkurang seiring waktu [1,3,4].
Karena hiperakusis dapat berkaitan dengan kondisi mental pasien, maka terapi perilaku kognitif sangat dibutuhkan [1,3,4].
Reaksi emosional pasien akan lebih terkendali dengan bantuan psikoterapi ini [1,3,4].
Selain itu, terapi perilaku kognitif akan mengurangi risiko komplikasi psikologis pada penderita hiperakusis [1,3,4].
Untuk mengendalikan rasa stres dan nyeri, dokter dapat juga menyarankan pasien menempuh beberapa pengobatan lain.
Pengobatan alternatif yang diketahui tergolong efektif bagi penderita hiperakusis adalah akupunktur, meditasi, Yoga, olahraga, dan pijat [1,3].
Terapi ini adalah jenis terapi yang membantu pasien melalui paparan suara terus-menerus [3].
Pasien akan diminta mendengarkan suara statis yang sangat lembut dalam durasi tertentu setiap hari [3,10].
Pasien tidak melakukan ini sendiri, sebab akan ada terapis ahli pendengaran yang menolong dan membimbing pasien [3].
Semakin lama, pasien akan lebih terbiasa dan mampu menoleransi suara; sensitivitas pendengaran juga akan menurun [3,10].
Hanya saja, pasien perlu cukup bersabar selama menjalani terapi ini, karena membutuhkan setidaknya 6 bulan atau lebih untuk memulihkan fungsi pendengaran [3].
Operasi adalah opsi terakhir apabila pasien tidak merasa kunjung membaik setelah menjalani terapi-terapi tersebut [1].
Jenis operasi yang pasien perlu jalani adalah operasi pengangkatan jaringan belakang telinga [1].
Jaringan ini akan dokter pindahkan ke sekitar tulang pendengaran yang diharapkan mampu membuat sensitivitas pendengaran yang semula tinggi akan menurun [1].
Bagaimana prognosis hiperakusis?
Seberapa baik prognosis hiperakusis ditentukan oleh penyebab hiperakusis pasien [1].
Tingkat keparahan gejala dan tingkat stres pasien karena kondisinya sangat bervariasi [1].
Walau bisa disembuhkan dan pada umumnya tidak mengancam jiwa, hiperakusis akan cukup mengganggu kegiatan sehari-hari penderitanya [1].
Ketika hiperakusis sudah pada tahap gejala serius dan terjadi dalam jangka panjang, hal ini mampu menyebabkan pasien mengalami kecemasan hingga depresi [1,4].
Risiko komplikasi hiperakusis akan tergantung dari penyebab hiperakusis [1].
Sebab pada dasarnya, hiperakusis tidak berbahaya dan dapat disembuhkan; kemungkinan untuk berkembang menjadi komplikasi serius sangat kecil [1].
Hanya saja seringkali, pasien dapat mengalami gangguan psikologis karena gangguan pendengaran ini sehingga risiko komplikasi dari sisi psikologis lebih tinggi daripada komplikasi fisik [1].
Pada beberapa kasus, pasien hiperakusis dapat melukai diri sendiri dan melakukan aksi bunuh diri [1].
Hiperakusis dapat diminimalisir dengan cara menghindari suara keras sehari-hari, seperti [3] :
Paparan suara keras terus-menerus lebih mudah meningkatkan risiko hiperakusis karena sensitivitas pendengaran terhadap suara menjadi lebih tinggi [3].
Untuk meminimalisir risiko komplikasi hiperakusis, maka sebaiknya kondisi gejala perlu segera mendapatkan penanganan [3].
1. James G. Coey & Orlando De Jesus. Hyperacusis. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Adriana L. Smit MD, PhD, Inge Stegeman PhD, Robert H. Eikelboom PhD, David M. Baguley PhD, Rebecca J. Bennett PhD, Susan Tegg-Quinn M.Clin.Aud, Romola S. Bucks PhD, Robert J. Stokroos MD, PhD, Michael Hunter PhD, & Marcus D. Atlas MBBS, FRACS. Prevalence of Hyperacusis and Its Relation to Health: The Busselton Healthy Ageing Study. The Laryngoscope; 2021.
3. Megan Soliman, MD & Kirsten Nunez. What is Hyperacusis?. Healthline; 2021.
4. David M Baguley, MSc MBA. Hyperacusis. Journal of the Royal Society of Medicine; 2003.
5. Dan Hasson, Töres Theorell, Jonas Bergquist, & Barbara Canlon. Acute stress induces hyperacusis in women with high levels of emotional exhaustion. PLoS One; 2013.
6. Uzma S. Wilson, Kate M. Sadler, Kenneth E. Hancock, John J. Guinan, Jr., & Jeffery T. Lichtenhan. Efferent inhibition strength is a physiological correlate of hyperacusis in children with autism spectrum disorder. Journal of Neurophysiology; 2017.
7. Veronika Vielsmeier, Steven C. Marcrum, Franziska C. Weber, Berthold Langguth, & Constantin Hintschich. Audiological Effects of COVID-19 Infection: Results of a Standardized Interview. Canadian Journal of Neurological Sciences; 2021.
8. Pamela Maria Kusdra, Jose Stechman-Neto, Bianca Lopes Cavalcante de Leão, Paulo Francisco Arant Martins, Adriana Bender Moreira de Lacerda & Bianca Simone Zeigelboim. Relationship between Otological Symptoms and TMD. The International Tinnitus Journal; 2018.
9. Massimo Ralli, Vittorio D'Aguanno, Arianna Di Stadio, Armando De Virgilio, Adelchi Croce, Lucia Longo, Antonio Greco, & Marco de Vincentiis. Audiovestibular Symptoms in Systemic Autoimmune Diseases. Journal of Immunology Research; 2018.
10. Craig Formby, Ph.D., Monica L. Hawley, Ph.D., LaGuinn P. Sherlock, Au.D., Susan Gold, M.A., JoAnne Payne, M.S., Rebecca Brooks, M.A., Jason M. Parton, Ph.D., Roger Juneau, B.S.M.E., Edward J. Desporte, M.S., & Gregory R. Siegle. A Sound Therapy-Based Intervention to Expand the Auditory Dynamic Range for Loudness among Persons with Sensorineural Hearing Losses: A Randomized Placebo-Controlled Clinical Trial. Seminars in Hearing; 2015.