Daftar isi
Apa Itu Phonophobia?
Phonophobia yang juga dikenal dengan istilah ligyrophobia dan sonophobia merupakan jenis fobia spesifik di mana seseorang mengalami ketakutan irasional dan berlebihan terhadap suara-suara keras yang tidak terduga [1,2,3].
Ketika timbul suara keras, penderita phonophobia cenderung merasakan kecemasan ekstrem disertai serangan panik [1,2,3].
Namun perlu diketahui bahwa kondisi ini bukan disebabkan oleh gangguan pendengaran apapun, termasuk kondisi kehilangan pendengaran [3].
Tinjauan Phonophobia merupakan fobia atau ketakutan berlebih terhadap suara keras sehingga penderita kemudian mendapat serangan panik dan mengalami kecemasan ekstrem.
Penyebab Phonophobia
Phonophobia bukan termasuk dalam gangguan pendengaran, melainkan adalah gangguan kesehatan mental.
Siapa saja dapat mengalami phonophobia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dengan penyebab yang hingga kini belum diketahui pasti seperti fobia spesifik lain.
Meski demikian, terdapat sejumlah faktor yang diketahui mampu meningkatkan risiko phonophobia dalam diri seseorang, yaitu :
- Faktor Genetik
Faktor genetik dapat menjadi sebab berkembangnya suatu fobia spesifik atau gangguan mental tertentu dalam diri seseorang [1,3].
Memiliki anggota keluarga dengan riwayat fobia yang sama maupun berbeda atau riwayat gangguan kecemasan dan depresi akan meningkatkan risiko seseorang mengalami hal serupa [1,3].
- Peristiwa Traumatis
Pengalaman traumatis atau pengalaman tak menyenangkan pun kerap menjadi faktor yang menimbulkan suatu fobia berkembang dalam diri seseorang [1,3].
Biasanya, pengalaman traumatis ini dialami pada waktu masih usia anak-anak yang kemudian semakin serius seiring bertambahnya usia [3].
Kecelakaan atau ledakan dengan suara keras mampu menjadi sebuah trauma bagi beberapa anak maupun orang dewasa [1,3].
Anak penderita autisme memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap insiden yang melibatkan suara keras karena akan terkesan ekstrem [3].
Bahkan tak perlu kejadian ledakan, seseorang yang berteriak membuat kejutan pada sebuah pesta pun bisa membuat anak-anak takut berkepanjangan [3].
- Cedera Otak
Cedera pada kepala yang kemudian memengaruhi otak mampu menyebabkan perubahan fungsi pada organ ini [3].
Phonophobia dapat terjadi sebagai salah satu gejala dari cedera otak yang perlu diwaspadai [3].
Cedera pada kepala yang berpengaruh ke otak bisa disebabkan oleh kecelakaan dalam berkendara, penganiayaan fisik, terjatuh, maupun kecelakaan akibat kontak fisik saat berolahraga [3].
Jika phonophobia terjadi bersama dengan rasa pusing (sensasi berputar pada kepala), kelinglungan, telinga berdenging, dan mual, maka bisa jadi ini adalah efek dari kecelakaan yang sempat terjadi [4].
Namun, benturan keras di kepala juga bisa menyebabkan sejumlah gejala yang lebih serius, seperti perubahan mood drastis, hilang ingatan, kejang, pingsan, keluar cairan dari telinga, sakit kepala hebat, gangguan gerakan mata, gangguan keseimbangan tubuh, hingga kehilangan kontrol otot [4].
- Sindrom Kleine-Levin
Sindrom Kleine-Levin adalah sebutan lain untuk sindrom putri tidur, yaitu gangguan kesehatan langka di mana seseorang tertidur dalam jangka waktu lama [3].
Jika waktu tidur normal manusia adalah 8-10 jam atau setidaknya paling lama 13 jam, penderita sindrom Kleine-Levin bisa menghabiskan waktu 18-20 jam sehari setiap hari hanya untuk tidur [5].
Phonophobia adalah salah satu gejala dari sindrom ini yang dapat disertai pula dengan sejumlah gejala lain seperti mudah marah, halusinasi, gairah seksual berlebih, perilaku seperti anak-anak, dan peningkatan nafsu makan [5].
Sakit kepala sebelah atau migrain juga dapat menjadi salah satu penyebab phonophobia [3].
Untuk mengetahui apakah phonophobia merupakan salah satu gejala dari migrain, maka kenali gejala migrain lainnya seperti tubuh cepat lelah, dorongan untuk sering makan, dan hiperaktif [6].
Selain itu, migrain juga akan menyebabkan penderitanya mengalami kekakuan di leher, sering menguap, mudah marah, dan depresi [6].
Phonophobia biasanya dapat terjadi pada kasus migrain yang sudah lebih parah karena penderita cenderung lebih sensitif terhadap suara dan cahaya [3,6].
Migrain yang sudah cukup berat akan ditandai juga dengan sensasi menusuk di kepala, mual, muntah, dan rasa ingin pingsan [6].
Tinjauan Terdapat beberapa kondisi yang dianggap mampu meningkatkan risiko phonophobia, yaitu faktor genetik, pengalaman traumatis, migrain, penyakit sindrom Kleine-Levin dan cedera kepala.
Gejala Phonophobia
Gejala phonophobia pada dasarnya sama seperti kondisi fobia spesifik lainnya, yakni meliputi [1,2,3] :
- Serangan panik
- Ketakutan berlebihan yang intens dan irasional
- Tubuh berkeringat lebih banyak
- Mual
- Pusing
- Detak jantung lebih cepat dari normalnya
- Menghindari segala situasi atau tempat yang berpotensi mengeluarkan suara keras
- Sesak nafas
- Kecemasan dan mood swing setelah mendengar suara keras
- Rasa ingin pingsan atau justru segera kehilangan kesadaran setelah mendengar suara keras yang mengagetkan
Phonophobia pada Orang Dewasa
Pada anak-anak yang sudah lebih besar (termasuk remaja) dan juga orang dewasa, mereka yang memiliki phonophobia akan kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa di tempat umum [1].
Mengemudi di jalanan yang ramai, berinteraksi dengan orang lain di tempat ramai, dan bahkan bekerja di lingkungan yang ramai dan bising [1].
Sementara itu anak-anak yang sudah sekolah, termasuk para remaja yang mengalami phonophobia biasanya sulit berkonsentrasi selama di kelas [1].
Mereka juga cenderung tak bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya, terutama di tempat yang berisik [1].
Hal ini bisa menjadi lebih parah ketika penderita phonophobia kemudian mengalami kesulitan tidur [1].
Mereka akan sulit untuk tidur apabila tidak berada di kamar yang tenang dan gelap [1].
Phonophobia pada Anak-anak
Pada anak-anak balita, suara keras adalah hal normal yang membuat mereka mudah takut karena reaksi terkejut mereka [1,3].
Pada beberapa anak, suara keras adalah pemicu yang sebenarnya menimbulkan reaksi dan kondisi ringan [1].
Namun pada sebagian anak lainnya, terutama anak dari orang tua yang memiliki gangguan kecemasan atau gangguan mental lain, anak-anak ini lebih rentan mengembangkan kondisi fobia [1].
Ketakutan yang dirasakan anak secara berlebih dan dialaminya selama lebih dari 6 bulan sebaiknya segera ditangani oleh ahli kesehatan mental (psikolog atau psikiater) [7].
Tinjauan Gejala utama phonophobia adalah timbul reaksi takut dan serangan panik saat mendengar suara keras sekalipun suara tersebut bukan hal negatif dan mengerikan.
Pemeriksaan Phonophobia
Seperti fobia spesifik lainnya, pemeriksaan untuk memastikan bahwa gejala mengarah pada phonophobia adalah melalui evaluasi psikologis.
Pemeriksaan akan berdasar pada panduan kriteria DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual 5th Edition) [8].
Jika gejala pasien memenuhi kriteria pada DSM-5 ini, maka dapat dipastikan kondisi yang dialaminya merupakan sebuah fobia spesifik, dalam hal ini adalah phonophobia [8].
- Pasien memiliki rasa takut berlebihan, irasional, dan intens, terutama saat dihadapkan pada suara keras.
- Pasien mengeluarkan reaksi kecemasan dan kepanikan tepat saat mendengar suara keras dan akan merasa seperti dalam bahaya.
- Pasien akan berusaha sebisa mungkin menjauhi tempat ramai dan berbagai macam situasi yang meningkatkan risiko adanya suara keras.
- Pasien sudah sekitar 6 bulan atau lebih mengalami gejala phonophobia.
- Pasien mengalami hambatan dalam beraktivitas sehari-hari sehingga hal ini cukup mengganggu kehidupan pribadinya, kehidupan sosial, dan kehidupan sekolah maupun pekerjaan.
- Gejala-gejala pasien tidak sebabkan oleh adanya gangguan kesehatan mental maupun fisik lainnya yang memiliki kemiripan gejala dengan phonophobia.
Untuk memastikan apakah phonophobia adalah gejala dari salah satu gangguan kesehatan seperti cedera otak, sindrom Kleine-Levin, atau sakit kepala migrain, pemeriksaan fisik perlu ditempuh oleh pasien [9].
Pasien juga kemungkinan akan diminta dokter menempuh tes laboratorium dan tes pemindaian sebagai pemeriksaan penunjang untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah pada kondisi dan fungsi otak [9].
Sebelum dokter dapat menentukan pengobatan atau perawatan yang tepat bagi pasien, pasien juga akan diminta membuat daftar gejala fisik dan gejala psikologis yang dialami selama ini [9].
Dokter perlu mengetahui apa saja yang menjadi pemicu gejala phonophobia pasien [9].
Pasien juga diminta memberikan informasi terkait bagaimana caranya selama ini mengendalikan rasa takut serta hal-hal apa saja yang membuat kecemasan memburuk maupun mereda [9].
Jika ada, pasien juga dianjurkan memberi tahu tentang hal-hal yang saat ini sedang dihadapi dan menyebabkannya stres [9].
Agar dokter bisa memberikan penanganan tepat bagi kondisi pasien, dokter juga harus mengetahui obat apa saja yang selama ini digunakan pasien [9].
Baik vitamin, herbal, suplemen, dan obat-obatan penyakit apapun yang sedang digunakan sebaiknya diberitahukan kepada dokter [9].
Tinjauan Pemeriksaan psikologis perlu ditempuh oleh penderita gejala yang mengarah pada phonophobia, yakni dengan berdasar pada panduan kriteria DSM-5.
Pengobatan Phonophobia
Belum ada pengobatan khusus untuk penderita phonophobia, namun berikut ini merupakan metode terapi dan pengobatan yang umumnya diperuntukkan bagi penderita fobia.
- Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif adalah salah satu metode psikoterapi yang sering digunakan untuk memulihkan pasien fobia [1,2,3,10].
Efektivitasnya dalam menangani fobia cukup tinggi dengan proses identifikasi masalah terlebih dulu [3,10].
Saat pemicu telah diketahui, terapis akan membantu pasien untuk memahami reaksi dan perilaku negatifnya saat mengatasi rasa takut [10].
Terapi perilaku kognitif bertujuan mengubah reaksi dan pikiran negatif terhadap pemicu rasa takut menjadi lebih positif secara bertahap [10].
- Terapi Eksposur
Metode psikoterapi lainnya yang juga efektif dalam memulihkan pasien fobia dan sering juga dikombinasi bersama terapi perilaku kognitif adalah terapi eksposur [1,2,3,11].
Terapi eksposur atau desensitisasi sistematik merupakan terapi yang akan mengekspos pasien kepada sumber rasa takutnya [11].
Proses terapi akan dilakukan bertahap yang bertujuan mengubah pikiran-pikiran buruk pasien menjadi lebih baik [11].
- Hipnoterapi
Terapi lainnya yang juga efektif dalam membantu pemulihan pasien fobia adalah hipnoterapi [1,12].
Terapis akan membuat pasien rileks dengan kondisi detak jantung dan tekanan darah yang rendah [1,12].
Lalu, terapis akan memberikan sugesti-sugesti yang akan diterima oleh alam bawah sadar pasien [1,12].
Untuk kasus phonophobia, terapis akan memberikan sugesti agar pasien tidak lagi takut terhadap suara keras [1].
- Teknik Relaksasi
Penanganan phonophobia lainnya adalah teknik relaksasi yang biasanya meliputi meditasi untuk meredakan gejala-gejala serangan panik dan kecemasan [1,3].
Bicara positif terhadap diri sendiri juga merupakan teknik relaksasi yang akan membuat diri sendiri merasa jauh lebih baik [1,3].
Pasien bisa melakukan terapi ini untuk mengubah reaksi negatif terhadap suara-suara keras dan bising menjadi lebih positif [1,3].
- Obat-obatan
Obat anticemas dan beta-blockers merupakan obat-obatan yang dokter akan berikan jika memang psikoterapi saja tidak cukup [1,3,13,14].
Obat-obatan tersebut akan membantu meredakan kecemasan dan kepanikan penderita dan pemberiannya dilakukan dikombinasi dengan psikoterapi [1,3].
Bagaimana prognosis phonophobia?
Prognosis phonophobia tergolong baik, terutama ketika penderita mendapatkan penanganan secepatnya [3].
Peluang penderita untuk pulih dari rasa takut berlebihannya terhadap suara keras sangat besar [3].
Dengan menjalani terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur secara rutin sesuai yang dijadwalkan, setidaknya reaksi panik, cemas dan takut dapat berkurang secara signifikan dalam waktu 2-5 bulan [3].
Tinjauan Penanganan utama bagi penderita phonophobia meliputi psikoterapi (terapi perilaku kognitif dan terapi eksposur), penggunaan obat anticemas dan beta-blockers, serta hipnoterapi jika diperlukan.
Komplikasi Phonophobia
Fobia spesifik yang tak ditangani menyebabkan gejala semakin berkembang buruk yang pada akhirnya merugikan penderita dalam segala aspek.
Kehidupan sehari-hari penderita fobia spesifik, termasuk phonophobia menjadi tak sama lagi ketika gejala semakin menghambat kegiatannya.
Mengisolasi diri dan depresi adalah contoh risiko komplikasi sebuah fobia spesifik pada umumnya, tak terkecuali pada kasus phonophobia [15].
Penderita bisa saja enggan untuk keluar dari tempat nyamannya karena takut mendengar suara keras yang akan mengagetkannya.
Isolasi dan depresi yang semakin lama diabaikan dapat berkembang semakin serius di mana ada potensi timbul keinginan untuk bunuh diri [16].
Pencegahan Phonophobia
Phonophobia sama seperti fobia spesifik lainnya, sulit untuk mencegah agar fobia ini sama sekali tidak terjadi.
Namun untuk meminimalisir risiko komplikasi dan memburuknya gejala, pasien perlu memeriksakan diri segera dan mendapatkan penanganan yang tepat.
Jika phonophobia dikhawatirkan merupakan kondisi yang terjadi karena penyakit tertentu, maka deteksi dini sangat dianjurkan.
Tinjauan Untuk meminimalisir risiko memburuknya gejala dan berakibat pada depresi berat, pemeriksaan dan penanganan dini gejala phonophobia sangat dianjurkan.