Penyakit & Kelainan

Hipogonadisme : Jenis – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Hipogonadisme adalah suatu kondisi dimana aktivitas fungsional dari gonad, yaitu kelenjar seks, mengalami gangguan sehingga produksi hormon seks pun terganggu. Hormon seks pada pria (androgen) yang rendah

Apa Itu Hipogonadisme?

Hipogonadisme merupakan sebuah kondisi yang terjadi pada pria saat kelenjar seksual menghasilkan hormon seksual yang tidak memadai [1,2,3,4,5].

Dengan kata lain, kadar hormon seksual di bawah normal adalah sebuah kondisi bernama hipogonadisme [1,2,3,4,5].

Tanpa hormon seksual dengan kadar normal, produksi sperma pria sekaligus perkembangan testis akan terganggu [1,2,3,4].

Tak hanya pada pria, wanita pun memiliki hormon seksual sebagai pendukung siklus menstruasi dan tumbuhnya payudara [2].

Hormon seksual sangat penting baik bagi pria maupun wanita, termasuk perannya sebagai pendukung tumbuhnya rambut kemaluan.

Tinjauan
Hipogonadisme merupakan sebuah kondisi gangguan pada kelenjar seksual di mana hormon seksual yang dihasilkan oleh kelenjar ini tidak seharusnya atau tidak mencapai kadar normal.

Fakta Tentang Hipogonadisme

  1. Hipogonadisme adalah sebuah gangguan kesehatan yang tidak banyak dilaporkan, namun diketahui bahwa prevalensi jauh lebih tinggi pada pria di usia 80 tahun ke atas sebanyak 50% dan pria usia 45 tahun ke atas sebanyak 40% [1].
  2. Faktor etnis dan ras tidak memengaruhi terjadinya hipogonadisme [1].
  3. Berkaitan dengan hipogonadisme, diketahui bahwa kadar testosteron mengalami penurunan kadar setiap 10 tahun sebanyak 100 ng/dL [1].
  4. Di Indonesia, data epidemiologi hipogonadisme masih sangat sedikit walaupun kasus ini sendiri bukanlah kondisi langka.

Jenis Hipogonadisme

Hipogonadisme terdiri dari dua jenis kondisi, yakni hipogonadisme primer dan hipogonadisme sekunder.

Hipogonadisme Primer

Hipogonadisme primer adalah hipogonadisme yang terjadi karena kerusakan kelenjar seksual [1,2].

Karena itu, hormon seksual tak dapat terproduksi oleh kelenjar seksual secara memadai [1,2].

Pada kondisi ini sebenarnya otak masih mengirimkan pesan kepada kelenjar seksual untuk menghasilkan hormon, namun proses produksi tidak dalam kondisi normal [1,2].

Hipogonadisme Sekunder

Pada kondisi hipogonadisme sekunder, gangguan utama bukan terjadi pada kelenjar seksual [1,2].

Otak adalah organ yang mengalami masalah, terutama kelenjar pituitari dan hipotalamus yang tidak bekerja secara maksimal [1,2].

Tinjauan
Hipogonadisme terbagi menjadi dua kondisi, yaitu hipogonadisme primer (kerusakan kelenjar seksual) dan hipogonadisme sekunder (gangguan terjadi bukan pada kelenjar seksual secara langsung).

Penyebab Hipogonadisme

Penyebab hipogonadisme primer dan sekunder berbeda, dan berikut ini adalah deretan penyebab hipogonadisme yang perlu diwaspadai :

Penyebab Hipogonadisme Primer

Sejumlah kondisi yang mampu menyebabkan hipogonadisme primer antara lain adalah [1,2,3] :

  • Infeksi serius
  • Masalah pada organ hati
  • Masalah pada organ ginjal
  • Penyakit Addison
  • Hipoparatiroidisme
  • Efek samping pengobatan kanker, seperti kemoterapi dan terapi radiasi
  • Sindrom Turner
  • Sindrom Klinefelter
  • Kriptorkismus (testis yang posisinya tidak turun)
  • Hemokromatosis (kadar zat besi dalam darah terlalu tinggi)
  • Riwayat operasi pada organ reproduksi
  • Paparan radiasi

Penyebab Hipogonadisme Sekunder

Sementara itu, berikut ini adalah sejumlah penyebab hipogonadisme sekunder yang dapat dikenali [1,2,3] :

  • Tumor di kelenjar pituitari atau di dekat kelenjar pituitari
  • Cedera pada kelenjar pituitari atau hipotalamus
  • Paparan radiasi
  • Efek penggunaan opioid atau steroid
  • Kekurangan nutrisi
  • Berat badan turun drastis tanpa alasan jelas
  • Kelebihan berat badan atau obesitas
  • Gangguan pituitari
  • Infeksi (termasuk HIV)
  • Sindrom Kallmann
  • Operasi otak
  • TBC (tuberkulosis)
  • Sarkoidosis
  • Histiositosis
Tinjauan
Penyebab hipogonadisme terbagi menurut jenisnya, di mana umumnya, infeksi, cedera, paparan radiasi, efek penggunaan obat tertentu, obesitas, malnutrisi, serta berbagai jenis penyakit tertentu dapat menjadi penyebab utama.

Gejala Hipogonadisme

Jika penyebab terbagi menjadi dua menurut jenisnya, maka gejala hipogonadisme terklasifikasi menurut jenis kelamin penderita.

Hipogonadisme yang terjadi pada wanita dan pria cukup berbeda dan berikut ini adalah rangkaian gejala yang perlu diwaspadai :

Gejala Hipogonadisme pada Pria

Pada pria, gejala-gejala hipogonadisme yang dapat timbul antara lain adalah [1,2] :

  • Sulit konsentrasi
  • Hot flashes
  • Ketidaksuburan atau infertilitas
  • Gairah seksual yang menurun atau hilang
  • Kehilangan massa otot
  • Kehilangan rambut di tubuh
  • Tubuh kelelahan
  • Osteoporosis
  • Gangguan atau terhambatnya pertumbuhan testis dan penis
  • Gangguan pada pertumbuhan payudara

Gejala Hipogonadisme pada Wanita

Pada wanita, beberapa gejala yang ditimbulkan oleh kondisi hipogonadisme antara lain adalah [2] :

  • Kehilangan gairah seksual
  • Kehilangan rambut di tubuh
  • Pertumbuhan payudara yang terhambat
  • Dari payudara keluar cairan putih kental
  • Perubahan suasana hati
  • Mudah kelelahan
  • Siklus menstruasi sama sekali tidak terjadi atau bahkan mengalami berkurangnya masa menstruasi

Pemeriksaan Hipogonadisme

Untuk memastikan bahwa gejala-gejala yang dialami oleh penderita merupakan kondisi hipogonadisme, beberapa metode diagnosa di bawah ini perlu ditempuh.

1. Pemeriksaan Fisik

Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien yang akan disesuaikan dengan usia pasien [2,3].

Rambut pada tubuh, massa otot, hingga kondisi organ seksual/reproduksi akan diperiksa oleh dokter [2,3,4].

Dokter kemungkinan juga akan menanyakan kepada pasien terkait riwayat gejala dan kondisi medis pasien maupun keluarga pasien.

2. Tes Hormon

Dari pemeriksaan fisik saja, dokter dapat menyimpulkan gejala mengarah pada suatu kondisi.

Dan bila dokter mencurigai hipogonadisme sebagai kondisi yang tengah pasien derita, pasien biasanya diminta untuk memeriksa kadar hormon seksual untuk memastikannya.

Pemeriksaan kadar hormon seksual dilakukan melalui tes darah [1,2,3,4].

Pasien pria perlu menempuh tes kadar testosteron dan wanita perlu menempuh tes kadar estrogen yang umumnya dapat ditempuh di pagi hari [5].

Alasan mengapa tes ini perlu dilakukan di pagi hari adalah karena kadar kedua hormon paling tinggi di waktu tersebut.

Pengecekan jumlah sperma pun akan dilakukan oleh dokter sebab jika benar pasien mengalami hipogonadisme, jumlah sperma biasanya akan berkurang [1,2].

Tes darah juga berguna dalam membantu dokter mengetahui kondisi lain yang terjadi pada tubuh pasien, seperti [1,2,5] :

  • Kadar zat besi dalam darah
  • Kadar prolaktin (hormon yang mendukung pertumbuhan payudara dan produksi ASI pada wanita)
  • Kadar hormon tiroid (gangguan pada produksi hormon tiroid akan menimbulkan kondisi yang mirip dengan yang ditimbulkan oleh hipogonadisme)

3. Tes Pemindaian

Tes pemindaian yang umumnya dokter minta pasien untuk tempuh adalah USG dengan memanfaatkan gelombang suara agar gambar kondisi ovarium pasien dapat terlihat [2].

Adanya kelainan pada ovarium seperti halnya sindrom ovarium polikistik maupun kista akan terdeteksi melalui tes pemindaian [2].

Selain USG, dokter kemungkinan akan menyarankan pasien untuk melakukan CT scan atau MRI scan pada kelenjar pituitari untuk melihat apakah terdapat tumor di sana [2].

Tinjauan
Pemeriksaan fisik, tes hormon dan tes pemindaian merupakan metode-metode diagnosa hipogonadisme.

Pengobatan Hipogonadisme

Penanganan hipogonadisme pada pria dan wanita ada yang memiliki kesamaan, namun ada pula yang berbeda.

Pengobatan Hipogonadisme pada Pria

Pada pria, penanganan gejala hipogonadisme umumnya adalah dengan terapi pengganti testosteron [1,2,3,4,5].

Pemberian terapi ini biasanya dalam bentuk gel, injeksi (suntikan), lozenge atau patch.

Agar jumlah sperma yang terproduksi di dalam tubuh meningkat sekaligus masa pubertas berjalan dengan normal, pasien membutuhkan injeksi hormon pelepas gonadotropin.

Pengobatan Hipogonadisme pada Wanita

Jika pasien hipogonadisme pria memerlukan terapi pengganti testosteron, maka wanita memerlukan terapi pengganti estrogen [2,5].

Terapi estrogen biasanya lebih direkomendasikan oleh dokter kepada pasien yang memiliki riwayat histerektomi.

Prosedur terapi estrogen dapat dilakukan dengan memberikan pil (sebagai suplemen estrogen) atau dalam bentuk patch.

Bagi pasien yang tidak memiliki riwayat histerektomi, dokter biasanya akan memberikan kombinasi antara hormon progesteron dan estrogen.

Karena bila hanya menambah kadar hormon estrogen, hal ini justru meningkatkan risiko kanker endometrium.

Dengan memberikan juga hormon progesteron, risiko kanker endometrium setidaknya dapat ditekan.

Pada pasien dengan masalah menstruasi yang tak berjalan lancar, dokter kemungkinan akan memberikan suntikan hormon human choriogonadotropin [8].

Untuk pasien dengan keluhan gairah seksual menurun, dokter biasanya akan memberikan hormon testosteron dalam dosis rendah.

Pengobatan Hipogonadisme pada Pria dan Wanita

Metode pengobatan yang dapat ditempuh baik oleh pasien hipogonadisme wanita maupun pria adalah [2,7] :

  • Operasi
  • Obat-obatan antikanker
  • Terapi radiasi

Ketiga metode perawatan hipogonadisme tersebut dapat ditempuh baik oleh pria maupun wanita karena disebabkan oleh tumor.

Jika penyebab utama hipogonadisme adalah tumor di kelenjar pituitari, maka penanganan untuk tumor dilakukan seperti pada umumnya.

Bagaimana prognosis hipogonadisme?

Prognosis hipogonadisme tidak buruk, namun bagi penderita hipogonadisme primer kronis perlu menempuh pengobatan jangka panjang [2].

Gejala akan kembali dan bahkan berpotensi memburuk ketika penderita berhenti menempuh perawatan, khususnya terapi pengganti hormon [2].

Pada kondisi hipogonadisme yang disebabkan oleh tumor di kelenjar pituitari, biasanya gejala akan hilang setelah tumor diangkat melalui prosedur bedah [2].

Kadar hormon pun dapat kembali normal setelah tumor tidak ada lagi sehingga prognosis jauh lebih baik [2].

Komplikasi Hipogonadisme

Pada beberapa kasus, hipogonadisme yang tak segera memperoleh penanganan mampu meningkatkan risiko komplikasi seperti [2,6] :

Pencegahan Hipogonadisme

Belum diketahui hingga kini bagaimana cara mencegah hipogonadisme, terutama yang disebabkan oleh tumor maupun kerusakan di kelenjar pituitari [2].

Namun setidaknya, menjalani gaya hidup sehat dapat meminimalisir berbagai gangguan kesehatan, termasuk gangguan kadar hormon seksual.

Tinjauan
Belum terdapat cara khusus untuk mencegah hipogonadisme, namun setidaknya memiliki gaya hidup sehat dapat menjaga kesehatan hormon seksual.

1. Omeed Sizar & Janice Schwartz. Hypogonadism. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Cleveland Clinic medical professional. Low Sex Drive (Hypogonadism). Cleveland Clinic; 2020.
3. Joshua Sterling, MD, Aaron M. Bernie, MD, & Ranjith Ramasamy, MD. Hypogonadism: Easy to define, hard to diagnose, and controversial to treat. Canadian Urologinal Association Journal; 2015.
4. Christina Carnegie, MB, BS, FFPM. Diagnosis of Hypogonadism: Clinical Assessments and Laboratory Tests. Reviews in Urology; 2004.
5. Yukihiro Hasegawa, Tomoyo Itonaga, Kento Ikegawa, Satsuki Nishigaki, Masanobu Kawai, Eri Koga, Hideya Sakakibara, & Judith L. Ross. Ultra-low-dose estrogen therapy for female hypogonadism. Clinical Pediatric Endocrinology; 2020.
6. Jan Oldenburg. Hypogonadism and fertility issues following primary treatment for testicular cancer. Urologic Oncology; 2015.
7. N Khanal, S S Ahmed, M Kalra, T J Miller, M J Brames, T E Stump, P Monahan, N H Hanna & Lawrence H Einhorn. The effects of hypogonadism on quality of life in survivors of germ cell tumors treated with surgery alone versus surgery plus platinum-based chemotherapy. Support Care Center; 2020.
8. Saynur Yilmaz, A Seval Ozgu-Erdinc, Omer Yumusak, Serkan Kahyaoglu, Berna Seckin, & Nafiye Yilmaz. The reproductive outcome of women with hypogonadotropic hypogonadism undergoing in vitro fertilization. Systems Biology in Reproductive Medicine; 2015.

Share