Daftar isi
Histeria adalah sebuah istilah untuk emosi yang berlebihan dan cenderung membuncah di mana pada zaman dulu kondisi ini termasuk kondisi medis umum [1,3,4,5,6].
Histeria bagi orang awam adalah adalah perilaku emosional yang cenderung tidak terkontrol karena saking berlebihannya.
Seseorang yang tak mampu menguasai emosinya dan tak mampu menahan beban pikiran serta mental dapat pula disebut dengan kondisi histeria.
Orang-orang yang memang memiliki pribadi terlalu emosional dapat mengalami histeria.
Seseorang dapat dikatakan menderita histeria ketika reaksi atau tanggapan terhadap situasi tertentu tidak proporsional dalam hal emosi dan hal ini bisa saja terjadi pada pria maupun wanita.
Seperti apa sejarah histeria?
Histeria dipandang sebagai sebuah kondisi gangguan psikologis sejak dari akhir tahun 1800-an [1,3].
Jean-Martin Charcot adalah seorang ahli saraf asal Prancis yang mengatasi histeria menggunakan metode hipnosis pada pasien wanitanya.
Sigmund Freud, seorang psikoanalis terkenal dari Austria saat itu pernah mempelajari histeria dan misterinya pada perkembangan awal psikoanalisis bersama dengan Charcot.
Pada masa itu pun, terdapat kasus Anna O, seorang wanita muda yang mengalami gejala-gejala histeria yang kemudian ditangani oleh Freud bersama dengan rekannya bernama Josef Breuer.
Dari kasus Anna O ini, keduanya mampu mempelajari lebih perkembangan terapi psikoanalitik.
Anna pun dapat mengatasi masalahnya saat itu melalui terapi bicara, yaitu metode di mana ia membicarakan masalahnya dengan terapis yang menanganinya.
Rekan Freud yang lain, Carl Jung pun sempat menangani Sabina Spielrein, seorang wanita muda yang juga dianggap memiliki kondisi histeria dari kondisi gejala yang timbul [3].
Freud kerap bersama Jung membicarakan kasus Spielrein bersama yang kemudian berhasil mengembangkan berbagai teori mengenai histeria.
Spielrein sendiri merupakan seorang psikoanalis terlatih yang memperkenalkan pendekatan psikoanalitik sebagai terapi solusi histeria di Rusia.
Tinjauan Histeria adalah suatu kondisi di mana seseorang merasakan kadar emosi yang berlebihan dan cenderung tak terkendali.
Histeria adalah sebuah kata dari bahasa Yunani yang memiliki makna rahim [1].
Di Indonesia belum terdapat data spesifik prevalensi histeria, namun menurut catatan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018 dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, gangguan emosional pada penduduk dengan usia lebih dari 15 tahun mengalami peningkatan angka kasus [2].
Pada tahun 2013 prevalensi diketahui 6%, namun pada 2018 menjadi 9,8%.
Histeria menjadi gangguan mental pertama yang identik dengan wanita, khususnya pada milenium kedua sebelum Masehi [3].
Selama lebih dari 4000 tahun sejarah, penyakit mental ini dilihat dari dua perspektif, yaitu secara demonologis dan ilmiah.
Bahkan pada zaman dulu, histeria merupakan sebuah kondisi yang diobati melalui metode penyucian dengan api, penghukuman, dengan atau tanpa seks, hingga herbal hingga pada akhirnya terapi psikolgis diperkenalkan.
Umumnya, histeria adalah suatu kondisi yang diawali dengan rasa depresi, malas dan kesepian.
Namun untuk saat ini, berbagai faktor mampu menjadi penyebab seseorang mengalami histeria.
Jika seseorang sudah lebih dulu memiliki sebuah penyakit tertentu, maka kondisi histeria dapat memperburuk kondisi medis tersebut.
Berikut ini adalah berbagai faktor yang dapat mendasari histeria dapat terjadi pada seseorang [1,3,5,6] :
American Psychological Association pada tahun 1980 sempat melakukan perubahan pada diagnosa neurosis histeria tipe konversi menjadi gangguan konversi.
Namun menurut perkembangan psikologi hingga sekarang, terdapat beberapa jenis kondisi berbeda dari histeria, yaitu :
Pada DSM-5 yang paling baru, informasi terkait gejala histeria atau kriteria di mana seseorang positif terdiagnosa histeria rupanya kini mengarah pada sebuah kondisi bernama gangguan gejala somatik [4].
Gangguan ini juga dapat disebut sebagai gangguan somatik dan kondisi ini berkaitan dengan sejumlah kondisi lain, seperti :
1. Factitious disorder atau gangguan buatan
Gangguan ini tergolong gangguan psikologis ketika seseorang menunjukkan bahwa dirinya memiliki gangguan kesehatan psikis dan fisik secara sadar [7].
Namun sebenarnya, ia tidak benar-benar sakit sehingga kondisi ini disebut dengan gangguan buatan.
2. Gangguan kecemasan (yang dulunya dikenal dengan istilah hipokondriasis)
Gangguan kecemasan atau yang dulunya disebut dengan istilah hipokondriasis adalah sebuah kondisi di mana seseorang memiliki kecemasan berlebih [8].
Rasa khawatir yang timbul ini tak hanya berlebihan namun juga persisten.
Kekhawatiran yang melanda biasanya adalah tentang diri sendiri yang akan mengalami penyakit serius padahal belum tentu demikian.
3. Faktor psikologis yang memengaruhi kondisi medis lainnya
4. Gejala somatik yang tidak ditentukan dan gangguan yang berkaitan dengan itu [8]
5. Gejala somatik spesifik dan gangguan yang berkaitan dengan itu [8]
Gejala somatik sendiri berhubungan dengan fisik; kondisi ini merupakan gangguan psikologis yang kemudian berpengaruh pada kesehatan fisik.
Maka gangguan somatik kerap ditandai dengan kondisi seperti sesak napas, nyeri pada tubuh, dan kelemahan tubuh.
Gejala-gejala yang tak segera ditangani ini kmeudian dapat semakin memburuk karena mampu menghambat fungsi tubuh untuk bekerja secara normal.
Pada gangguan somatik, seseorang meyakini bahwa diri mereka sedang sakit, baik itu dirinya sedang dalam kondisi sakit sungguhan maupun tidak.
Namun, perlu diingat bahwa kondisi ini bukan merupakan pura-pura sakit atau memalsukan sebuah penyakit.
Dan pada gangguan somatik, penderitanya pun seringkali telah memiliki kondisi medis tertentu sebelumnya.
Gangguan psikologis lainnya yang diketahui mengarah pada histeria adalah gangguan disosiatif.
Pada kondisi ini, seseorang dapat mengalami disosiasi atau ketiadaan kontinuitas antara identitas, ingatan, tindakan dan pikiran pada seseorang.
Penderita gangguan mental ini memilih cara-cara yang tidak sehat dalam upayanya melarikan diri dari kenyataan.
Beberapa jenis kondisi gangguan disosiatif yang perlu diketahui antara lain adalah amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi.
Kehilangan ingatan adalah gejala utama dari jenis gangguan disosiatif satu ini [9].
Kehilangan ingatan yang dialami penderita tergolong parah dan bahkan tak dapat dijelaskan secara medis.
Penderita amnesia disosiatif biasanya tak mampu mengingat peristiwa, identitas dan informasi diri sendiri, maupun segala hal yang berhubungan dengan orang-orang terdekat dan di sekitarnya.
Kondisi ini dapat terjadi khususnya saat penderita masih pada masa traumanya di mana dalam peristiwa tertentu gangguan mental ini bisa kembali terulang.
Gangguan amnesia disosiatif dialami dalam hitungan menit atau jam, namun ada pula yang terjadi dalam hitungan bulan maupun tahun walau tergolong sangat jarang.
Gangguan disosiatif lainnya disebut dengan identitas disosiatif, yakni sebuah gangguan kepribadian ganda pada seseorang [9].
Perpindahan atau perubahan identitas dapat terjadi secara cepat dan tiba-tiba.
Penderitanya sendiri memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki dua kepribadian atau terdapat dua orang atau lebih yang hadir di kepalanya seperti tengah dirasuki oleh karakter atau pribadi orang lain.
Perbedaan identitas tersebut dapat memiliki karakter dan nama tersendiri yang tidak sama antara satu dengan lainnya.
Ketika seseorang mengalami transisi ke identitas lainnya, maka tingkah laku, suara sampai kebutuhan tertentu dapat berubah; hal ini menjadi tanda bahwa terdapat perbedaan dari dua atau lebih kepribadian yang dimilikinya.
Umumnya, penderita gangguan identitas disosiatif juga mengalami yang namanya amnesia disosiatif.
Jenis kondisi gangguan disosiatif lainnya adalah gangguan depersonalisasi, yaitu gangguan di mana seseorang merasa tengah berada di luar dirinya [9].
Seringkali kondisi seperti ini mirip dengan bermimpi dan seolah sedang menonton sebuah film di mana seseorang bisa sambil mengamati perasaan, pikiran, hingga tindakan dari jauh.
Gangguan seperti ini hanya akan menimbulkan gejala sesaat saja, namun berpotensi terjadi berulang bahkan sampai beberapa tahun ke depan bila tak segera diatasi.
Jika terus dibiarkan, penderita dapat mengalami waktu yang lebih cepat atau lambat di mana dunia di matanya tidak nyata.
Histeria dapat menimbulkan sejumlah gejala yang dapat menghambat aktivitas penderitanya, seperti [1] :
Tinjauan Beberapa gejala utama histeria meliputi halusinasi, agitasi, kecemasan, insomnia, pengatupan gigi, menangis dan tertawa berlebihan, frustasi, lemas, sesak napas, hingga kehilangan kesadaran.
Penanganan histeria mulai dari awal perkembangannya cukup beragam, berikut ini adalah sejumlah metode penanganan histeria yang umumnya digunakan :
Histeria dikenal sebagai sebuah gangguan kondisi kesehatan psikologis pada wanita pada tahun 1800-an [1,3].
Tak lama setelah histeria ditemukan, kondisi ini kemudian diatasi dengan metode hipnosis di mana hipnosis ini digunakan oleh Jean-Martin Charcot, ahli saraf Prancis.
Setelah Charcot, psikoanalisis asal Austria bernama Sigmund Freud menggunakan terapi psikoanalitik untuk mengatasi gejala histeria pada seorang wanita muda [1,3,6].
Terapi bicara inilah yang dianggap efektif sebagai solusi bagi kondisi histeria zaman dulu.
Dari kasus wanita muda bernama Anna itu jugalah psikoanalisis kemudian semakin berkembang.
Terapi bicara adalah jenis terapi di mana penderita dapat berbicara dengan terapis yang dapat memahami kondisinya.
Namun biasanya, terapi ini juga disertai dengan sejumlah metode perawatan lainnya yang melibatkan obat-obatan penunjang.
Terapi ini adalah metode penanganan di mana terapis menyediakan dukungan bagi pasien dan membantu agar penderita menyadari masalahnya [1].
Terapis akan membantu memberikan wawasan atau pemahaman bagi pasien mengenai kondisinya sendiri dan juga pemicu reaksi.
Terapi ini diterapkan dengan melakukan observasi terhadap gejala apa saja yang dialami pasien [1].
Usai identifikasi gejala, terapis akan membantu pasien dalam mengatasi dan mengendalikan gejala yang timbul.
Terapis melalui terapi ini akan membantu pasien dalam memahami kondisi yang tengah dialami berikut masalah yang perlu dihadapi [1].
Para pasien dengan kurangnya wawasan dan motivasi akan dibantu untuk pulih kembali.
Beberapa jenis obat antipsikotik kemungkinan akan diresepkan oleh dokter agar beberapa gejala dapat mereda [10].
Namun selain obat, meditasi pun akan dianjurkan oleh ahli medis yang bertujuan supaya pasien mampu mengendalikan emosi.
Pola hidup menjadi lebih sehat juga menjadi salah satu cara untuk memulihkan kondisi penderita histeria.
Mengonsumsi makanan-makanan sehat penuh gizi, melakukan olahraga seperti latihan Yoga, serta melakukan banyak kegiatan positif (termasuk hobi) sangat dianjurkan [10].
Pikiran negatif penderita akan teralihkan dengan berbagai macam kegiatan yang baik dan sehat asal dilakukan secara seimbang.
Cara ini adalah perawatan mandiri yang layak dicoba karena gejala histeria dapat mereda dengan pola hidup yang lebih baik.
Tinjauan Histeria pada umumnya dapat diatasi dengan menggunakan metode hipnosis, terapi mental (termasuk terapi bicara), terapi perilaku, terapi psikodinamik, obat-obatan, meditasi, dan perubahan pola hidup.
Pada kasus gejala histeria yang sudah tergolong serius dan tidak segera mendapatkan penanganan, maka hal ini mampu meningkatkan risiko sejumlah komplikasi, seperti [1,6] :
Penting untuk lebih dulu memahami apa saja faktor yang berpotensi menyebabkan histeria.
Jika depresi dan berbagai hal yang berkaitan dengan gangguan psikologis dan mental mampu menyebabkan histeria, segera atasi kondisi tersebut.
Memiliki pola hidup sehat dan seimbang mulai dari pola tidur, pola makan, pola olahraga dan cara mengelola stres sangat penting dalam meminimalisir berbagai bentuk gangguan psikologis, termasuk histeria.
Tinjauan Untuk dapat meminimalisir risiko histeria, mengetahui berbagai faktor penyebabnya dan mengatasinya segera adalah cara terbaik. Hal ini penting untuk diimbangi dengan pola hidup yang sehat dan seimbang.
1. Noorul Amin. Overview of Hysteria; Introduction, Review, Causes, Signs And Symptoms, Complications And Management. Journal of Neurological, Psychiatric, and Mental Health Nursing; 2019.
2. Himpunan Psikologi Indonesia. Seri Sumbangan Pemikiran Psikologi untuk Bangsa Ke-5 Kesehatan Jiwa dan Resolusi Pascapandemi di Indonesia. Himpunan Psikologi Indonesia; 2020.
3. Cecilia Tasca, Mariangela Rapetti, Mauro Giovanni Carta & Bianca Fadda. Women And Hysteria In The History Of Mental Health. Clinical Practice & Epidemiology in Mental Health; 2012.
4. Carota A & Calabrese P. Hysteria around the World. Front Neurol Neurosci; 2014.
5. Mary Nicholas, LCSW, Ph.D. Hysteria. The Journal of Psychotherapy Practice and Research; 2001.
6. Qinglin Cheng, Li Xie, Yunkai Hu, Jinfeng Hu, Wei Gao, Yongxiang Lv, & Yong Xu. Gender differences in the prevalence and impact factors of hysterical tendencies in adolescents from three eastern Chinese provinces. Environmental Health and Preventive Medicine; 2018.
7. Richard A A Kanaan & Simon C Wessely. The origins of factitious disorder. History of the Human Sciences; 2010.
8. S Snyder & W M Pitts. Characterizing somatization, hypochondriasis, and hysteria in the borderline personality disorder. Acta Psychiatrica Scandinavica; 2010.
9. Carol S. North. The Classification of Hysteria and Related Disorders: Historical and Phenomenological Considerations. Behavioral Sciences; 2015.
10. Manohar Dhadphale. Hysterical stupor or yogic sleep? The conundrum. BJPsych International; 2016.