Daftar isi
Hypervigilance merupakan kondisi dengan kewaspadaan dan perhatian berlebihan yang telah mencirikan orang-orang yang mengalami trauma dan kekerasan. [1]
Hypervigilance didefinisikan sebagai perasaan yang terus menerus waspada dengan tujuan untuk mendeteksi bahaya potensial, meskipun risiko bahaya rendah[1].
Hypervigilance lebih dari sekedar ekstra waspada. Kondisi ini ditandai dengan kewaspadaan ekstrim yang merusak kualitas hidup[2].
Kondisi peningkatan kewaspadaan, kecemasan, dan sensitivitas terhadap lingkungan di sekitar pasien, sering ditunjukkan sebagai perlunya untuk selalu memeriksa ancaman potensial di sekitarnya. Dengan otak dipenuhi kewaspadaan konstan, dapat mengakibatkan reaksi tidak wajar atau bahkan agresif terhadap situasi sehari-hari[3].
Hypervigilance dapat merupakan gejala dari kondisi kesehatan mental, meliputi[4, 5]:
Hypervigilance merupakan salah satu ciri utama PTSD. Hypervigilance dapat terjadi dengan gangguan kecemasan lainnya, meliputi gangguan panik, gangguan kecemasan terinduksi obat, dan gangguan kecemasan umum. Selain itu, demensia dan paranoid juga dapat menginduksi hypervigilance[2].
Hypervigilance merupakan cara tubuh melindungi diri dari situasi yang mengancam. Kondisi ini dapat muncul pada suatu lingkungan di mana pasien mempersepsikan ancaman ekstrim[2, 4].
Terdapat beberapa faktor risiko yang membuat seseorang lebih rentan mengalami hypervigilance, seperti PTSD, fibromyalgia, hipertiroidisme, penyakit adrenal, gangguan tidur, kecemasan, dan skizofrenia[6].
Kondisi Kesehatan
Beberapa penyakit dapat mengakibatkan penderita lebih sensitif terhadap lingkungan atau lebih waspada ataupun keduanya. Kondisi tersebut diantaranya:[6]
Persepsi Ancaman
Hypervigilance ditandai perilaku mewaspadai adanya ancaman. Orang dengan hypervigilance merespon sangat dipersonalisasi, tergantung pada apa yang telah dipelajari otak sebagai bahaya[6].
Pengalaman Hidup
Hipervigilance kronis merupakan dampak umum dari PTSD (post-traumatic stress disorder), terutama pada orang-orang yang tinggal di lingkungan berbahaya dalam waktu lama atau mengalami trauma emosional ekstrim.
Kondisi ini umum dialami oleh anak-anak yang baru kehilangan orang tuanya, menyaksikkan kekerasan, atau menjadi korban kekerasan[2].
PTSD merupakan penyebab umum dari hypervigilance. PTSD menyebabkan pasien menjadi tegang dan dapat secara terus menerus mengamati sekitar untuk mempersepsikan ancaman[5].
PTSD merupakan gangguan kecemasan yang berkembang setelah seseorang mengalami atau melihat peristiwa traumatik atau mengancam nyawa. Berikut beberapa peristiwa yang dapat menyebabkan PTSD[4]:
Berikut beberapa pemicu kondisi hypervigilance[4, 5, 7]:
Gejala hypervigilance meliputi gejala fisiologis, emosional, dan perilaku[4, 5].
Gejala Fisiologis
Tidak semua pasien hypervigilance menunjukkan gejala fisiologis. Gejala fisiologis hypervigilance dapat menyerupai gejala kecemasan, yaitu meliputi[4, 5]:
Gejala fisiologis disebabkan oleh peningkatan hormon stres, yaitu epinefrin dan kortisol. Gejala fisiologis yang berlangsung lama dapat menimbulkan kelelahan dan keletihan[2, 5].
Gejala Emosional
Gejala emosional dari hypervigilance meliputi[5, 7]:
Gejala Perilaku
Cara berperilaku pasien hypervigilance dapat berbeda-beda. Berikut beberapa perilaku umum yang sering ditunjukkan pasien[2, 4]:
Pada kasus ekstrim pasien hypervigilance dapat mengalami agoraphobia, yaitu kecemasan saat berada di tempat di mana sulit untuk melarikan diri.[2]
Pasien pada beberapa kasus ekstrim merasa mereka perlu mempersenjatai diri dengan senapan, pisau, atau semprotan merica atau memiliki rumah dengan sistem alarm yang berlebihan, kunci pintu tambahan, dan ruang panik[2].
Hypervigilance mengakibatkan gejala perilaku dan dapat mengakibatkan komplikasi berjangka panjang. Berikut beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan[4]:
Diagnosis hypervigilance berdasarkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan klinis. Beberapa tes diagnostik seperti tes darah dan tes imaging dapat membantu mengidentifikasi penyebab kondisi[6].
Selain melakukan pemeriksaan, dokter dapat menanyakan gejala yang dialami. Beberapa tanda vital tubuh yang diperiksa meliputi suhu, denyut jantung, laju pernapasan, dan tekanan darah. [6]
Tergantung pada hasil pemeriksaan dan gejala yang dialami, dokter dapat menyarankan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis hypervigilance meliputi[6]:
Setelah pasien mengembangkan kesadaran terhadap pemicu kondisi hypervigilance, respon dan perilakunya, pasien dapat menurunkan gejala dengan mengendalikan emosinya sendiri dan mengekspresikan kelemahannya pada orang terdekat yang memiliki empati[2].
Berikut beberapa cara untuk mengatasi hypervigilance[5, 7]:
Jika hypervigilance telah mencapai tingkat di mana kondisi tersebut mempengaruhi kualitas hidup, sebaiknya pasien segera mencari bantuan dari ahli kesehatan mental.
Untuk mengatasi kondisi hypervigilance, selain penanganan ahli pasien juga sebaiknya:[2]
Pengobatan untuk hypervigilance dapat berbeda bergantung pada penyebab yang mendasari serta tingkat pengaruh buruknya terhadap perilaku pasien. Selain itu juga bergantung apakah pasien menyadari bahwa perilakunya tidak wajar[2].
Langkah pertama pengobatan hypervigilance ialah dengan memindahkan pasien dari lingkungan yang memiliki ancaman nyata, misalnya pada kasus kekerasan atau risiko pekerjaan yang berbahaya[2, 4].
Pengobatan dapat meliputi psikoterapi dan penggunaan obat. Berikut beberapa pengobatan yang digunakan dalam penanganan hypervigilance[2, 5]:
Terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioral therapy (CBT) bertujuan untuk mengajari pasien, melalui percakapan dengan terapis, bahwa pasien tidak dapat mengendalikan setiap aspek di sekitarnya, namun dapat mengendalikan cara menginterpretasikan dan memperbaiki responnya terhadap suatu lingkungan.
Tujuan dari terapi pemaparan ialah untuk memaparkan pasien pada pemicu yang merangsang stres untuk membantu mengenali pemicu tersebut dan mengambil langkah untuk memperlunak responnya.
Tujuan dari terapi ini adalah menggunakan gerakan mata sebagai sarana untuk mengarahkan kembali pasien dari ingatan traumatik dari masa lalu ke sensasi dari masa sekarang.
Perhatian meliputi hidup dalam setiap momen dan memfokuskan pikiran pada sensasi langsung daripada mengikuti pikiran berlebih dan bermasalah. Pelatihan ini juga dapat menggunakan teknik seperti medikasi, citra terpandu, dan biofeedback.
Kasus berat untuk hypervigilance dapat memerlukan penanganan yang lebih intensif, termasuk peresepan obat. Beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi hypervigilance yaitu[2, 5]:
Untuk pasien dengan skizofrenia, gangguan kepribadian, atau gangguan bipolar dapat ditangani dengan antipsikosis dan penstabil suasana hati[2]. Konsultasikan dan ikuti petunjuk dokter agar mendapatkan obat yang tepat.
Kondisi hypervigilance umumnya tidak dapat dicegah. Berpikiran jernih dan tetap tenang dalam situasi sulit, serta mengkomunikasikan diri dengan orang lain dapat membantu mencegah timbulnya hypervigilance[7].
1. Nichole A. Smith, Dexter R. Voisin, Joyce P. Yang, and Elizabeth L. Tung, MD, MS. Keeping Your Guard Up: Hypervigilance among Urban Residents Affected by Community and Police Violence. Health Aff (Millwood); 2019.
2. Mathew Tull, Ph.D, reviewed by Steven Gans, MD. Hypervigilance with PTSD and Other Anxiety Disorder. Very Well Mind; 2020.
3. Anonim. What is PTSD Hypervigilance? PTSD UK; 2020.
4. Lana Burgess, reviewed by Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP. Hypervigilance: What You Need to Know. Medical News Today; 2017.
5. Ana Gotter, reviewed by Timothy J. Legg, Ph.D, CRNP. What is Hypervigilance? Healthline; 2018.
6. Adrienne Dellwo, reviewed by David Ozeri, MD. An Overview of Hypervigilance. Very Well Health; 2020.
7. Greg Savva. Hair-Trigger Stress and Anxiety-Hypervigilance. Counselling Directory; 2016.