Daftar isi
Limfoma dikenal sebagai istilah untuk kanker kelenjar getah bening, yaitu sel kanker yang tumbuh di kelenjar getah bening serta sistem limfoid [1,6,7,8].
Limfoma sendiri merupakan sebuah kondisi yang awalnya terjadi karena sel kanker menyerang limfosit atau salah satu jenis sel darah putih.
Padahal, fungsi utama limfosit adalah melawan infeksi dan melawan segala bentuk virus serta bakteri.
Limfosit ada pada beberapa bagian tubuh selain di dalam aliran darah, seperti sumsum tulang, timus, limpa, saluran pencernaan, dan kelenjar getah bening.
Limfosit yang mengalami perubahan, perkembangan dan penyebaran abnormal kemudian memicu limfoma ganas.
Tinjauan Limfoma adalah kanker kelenjar getah bening yang terjadi ketika limfosit (salah satu jenis sel darah putih) diserang oleh sel kanker.
Terdapat dua jenis kondisi limfoma yang paling dikenal, yaitu limfoma non-Hodgkin dan limfoma Hodgkin.
Kondisi jenis limfoma non-Hodgkin menurut Leukemia & Lymphoma Society justru merupakan jenis yang paling umum dan bahkan lebih banyak dijumpai kasus limfoma non-Hodgkin daripada limfoma Hodgkin [7].
Hanya saja, limfoma jenis ini juga jauh lebih berbahaya dan mengancam jiwa daripada limfoma Hodgkin dengan tingkat kesembuhan lebih rendah.
Perlu diketahui bahwa limfoma non-Hodgkin masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis kondisi, yaitu sebagai berikut.
Limfoma non-Hodgkin jenis ini tidak terlalu umum dan dari seluruh kasus limfoma non-Hodgkin hanya sekitar 15% saja yang diketahui [1,6,7].
Bila dibandingkan dengan limfoma T-cell, B-cell justru lebih umum dan bahkan memiliki sifat paling agresif karena pertumbuhan dan perkembangannya yang sangat cepat [1,6,7].
Limfoma jenis ini berasal dari sel-sel B abnormal di dalam darah yang berkembang dengan pesat.
Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka potensi kesembuhannya cukup besar, namun limfoma B-cell dapat mengakibatkan kematian ketika kondisi tak diatasi secepatnya.
Limfoma folikuler adalah jenis limfoma non-Hodgkin yang berasal dari sel-sel darah putih dan rentan terjadi pada orang dewasa yang lebih tua (rata-rata lansia) [1,6,7].
Orang-orang berusia 60 tahun ke atas memiliki risiko lebih tinggi mengalami limfoma folikuler.
1 dari 5 kasus limfoma di Amerika Serikat adalah limfoma folikuler dengan perkembangan yang tergolong lambat.
Limfoma Burkitt adalah jenis limfoma non-Hodgkin yang sangat jarang namun bersifat sangat agresif [1,6,7].
Orang-orang dengan kondisi gangguan sistem imun berpotensi lebih besar mengalami jenis limfoma ini, terutama anak-anak yang tinggal di Sub-Sahara Afrika.
Kasus jenis limfoma non-Hodgkin ini lebih jarang dijumpai di negara-negara lain.
Limfoma jenis ini tergolong berkembang dengan lambat dan rata-rata limfoma ini dijumpai di kelenjar getah bening [1,6,7].
Sel kanker ini juga diketahui lebih identik dengan leukemia limfositik kronik, hanya saja biasanya sel kanker pada kasus leukemia limfositik kronik terdapat pada sumsum tulang dan darah.
Jenis limfoma non-Hodgkin ini pada umumnya menyerang para wanita dengan rentang usia 20-30 tahun [1,6,7].
Pada kasus limfoma B-cell, terdapat 10% kasus limfoma jenis sel B mediastinal primer ini.
Limfoma non-Hodgkin jenis ini tergolong langka namun bersifat agresif dan umumnya terdiagnosa ketika sudah pada stadium lanjut [1,6,7].
Hanya kurang lebih 6% kasus limfoma sel mantel dari seluruh kasus limfoma non-Hodgkin dan biasanya sumsum tulang serta saluran pencernaan adalah yang terkena.
Jenis limfoma non-Hodgkin ini juga tergolong langka dan diketahui hanya 1-2% kasus saja dari keseluruhan kasus limfoma [1,6,7].
Pada kondisi ini, tubuh penderita menghasilkan antibodi abnormal dan umumnya terjadi pada orang dewasa yang lebih tua atau lansia.
Limfoma Hodgkin masuk ke dalam jenis limfoma non-Hodgkin karena berawal dari sel-sel sistem imun yang bernama sel-sel Reed-Sternberg atau sel B (B-cell) [1,6,7,8].
Hanya saja untuk penyebab utama dari limfoma Hodgkin sendiri belum diketahui jelas hingga kini.
Untuk limfoma Hodgkin, terdapat beberapa jenis kondisi yang juga perlu dikenali, yaitu :
Limfoma Hodgkin jenis ini hanya terdapat 5 kasus dari keseluruhan kasus limfoma Hodgkin [1,8].
Penyakit ini dapat terdiagnosa ketika masih tahap awal dan lebih berpotensi terjadi pada pria daripada wanita.
Limfoma jenis ini walau langka bersifat agresif yang umumnya dijumpai pada orang-orang berusia 30 tahun [1,8].
Dari keseluruhan kasus limfoma, hanya 1% kasus penyakit Hodgkin kekurangan limfosit ini.
Hanya saja, risiko mengalami penyakit ini akan lebih tinggi pada penderita HIV dan gangguan imun lainnya.
Limfoma jenis ini tergolong umum karena dari seluruh kasus limfoma Hodgkin, terdapat 70% kasus limfoma Hodgkin sclerosis nodular [1,8].
Orang-orang usia dewasa muda jauh lebih berpotensi mengalaminya, dan limfoma ini paling berpotensi menyerang kelenjar getah bening.
Peluang untuk sembuh untuk kondisi ini lebih besar karena penyakit ini dapat diatasi.
Dari seluruh pasien limfoma, hanya terdapat sekitar 5% jenis limfoma Hodgkin satu ini [1,8].
Umumnya, jenis kondisi ini terjadi pada orang-orang dengan rentang usia 30-50 tahun.
Pria lebih berpotensi menderita penyakit ini daripada wanita dan penyakit ini dapat berkembang menjadi limfoma non-Hodgkin agresif walaupun sangat jarang.
Tinjauan Terdapat dua jenis utama kondisi limfoma, yaitu limfoma non-Hodgkin dan limfoma Hodgkin di mana masing-masing jenis limfoma tersebut masih terklasifikasi lagi menjadi beberapa jenis.
Perkembangan dan pertumbuhan sel abnormal yang tak terkendali mengakibatkan kanker yang kemudian dapat menjadi penyebab limfoma (sel kanker yang menyebar pada kelenjar getah bening).
Namun, untuk penyebab pasti limfoma belum diketahui hingga kini, namun terdapat sejumlah faktor yang mampu meningkatkan risiko limfoma menurut jenis kondisinya.
Pada kasus limfoma non-Hodgkin, terdapat sejumlah faktor yang mampu memperbesar potensi seseorang mengalaminya, yaitu :
Faktor peningkat risiko limfoma Hodgkin sedikit berbeda dari faktor risiko limfoma non-Hodgkin, yakni meliputi [1,8,13,14] :
Tinjauan Pertumbuhan sel abnormal di sistem limfatik yang tak terkendali mengakibatkan kanker yang kemudian dapat menjadi penyebab limfoma. Namun penyebab pasti dari tumbuhnya sel kanker tersebut belum diketahui jelas hingga kini karena terdapat berbagai faktor yang diduga mampu meningkatkan risikonya.
Pada tahap atau stadium awal, limfoma berpotensi tak menunjukkan gejala apapun.
Seringkali limfoma justru terdeteksi ketika dokter memeriksa kondisi pembengkakan kelenjar getah bening.
Pastikan apakah saat meraba bagian paha dalam, perut, ketiak, dada bagian atas dan leher (lokasi kelenjar getah bening) terasa adanya nodul (benjolan) kecil dan lembut.
Benjolan atau nodul tersebut dapat menjadi tanda awal dari keberadaan limfoma walaupun tidak selalu demikian.
Beberapa gejala lain yang kemungkinan terjadi pada kondisi limfoma awal antara lain adalah [1,6,7,8] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Saat timbul benjolan pada area-area tubuh yang telah disebutkan sebelumnya, segera periksakan ke dokter.
Hal tersebut dapat merupakan tanda bahwa kelenjar getah bening mengalami pembengkakan yang dapat merupakan keadaan ringan atau justru tanda adanya penyakitb serius (salah satunya limfoma).
Pengguna imunosupresan jangka panjang dan penderita penyakit autoimun juga perlu berada di bawah pemantauan dokter untuk mengetahui apakah terdapat potensi berkembangnya penyakit limfoma.
Bahkan penderita limfoma yang telah diobati dan sudah selesai menjalani perawatan tetap dianjurkan menemui dokter dan melakukan pemeriksaan rutin.
Limfoma sangat berpotensi kambuh dan hal ini perlu dicegah dengan kontrol teratur ke dokter.
Tinjauan Benjolan atau nodul berukuran kecil pada area tubuh tempat kelenjar getah bening berada dapat menjadi pertanda awal. Namun untuk gejala umumnya, limfoma dapat menimbulkan sejumlah keluhan seperti berkeringat di malam hari, demam, pembesaran limpa, tubuh kelelahan, batuk, nyeri pada tulang, berat badan turun tanpa sebab yang jelas, nyeri pada perut, ruam dan gatal pada kulit, sesak napas (napas pendek) serta ruam di area lipatan kulit.
Ketika gejala limfoma mulai dirasakan atau nampak, segera ke dokter untuk menempuh beberapa metode pemeriksaan sebagai berikut :
Dokter lebih dulu akan memeriksa kelenjar getah bening yang membengkak dan pemeriksaan akan meliputi beberapa bagian tubuh seperti selangkangan, ketiak, dan leher [1,6,7,8].
Dokter juga perlu mengetahui apakah pasien mengalami pembesaran hati maupun limpa melalui pemeriksaan fisik.
Sebagai tes penunjang, tes darah sangat penting untuk mengetahui jumlah sel-sel darah [8].
Jumlah sel darah pasien menjadi pertimbangan dokter mengenai hasil diagnosa yang akan dikeluarkan.
Tes penunjang lainnya adalah berupa PET scan, MRI scan, dan CT scan [1,6,7].
Tes pemindaian akan membantu dokter dalam mendeteksi adanya tanda-tanda limfoma pada berbagai area tubuh pasien.
Dokter akan menggunakan metode biopsi di mana kelenjar getah bening baik sebagian atau seluruhnya akan diangkat lalu dianalisa di laboratorium [1,6,7,8].
Tes lanjutan ini dapat membantu dokter menentukan keberadaan sel-sel limfoma dan jenis sel tersebut.
Aspirasi sumsum tulang adalah metode pemeriksaan yang juga melibatkan prosedur biopsi di saat yang sama [1,6,7,8].
Dokter akan memasukkan jarum ke tulang panggul pasien dan mengambil sampel sumsum tulang dari sana untuk dibawa ke laboratorium.
Terdapat empat tahap atau stadium kondisi limfoma, baik jenis limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin, yaitu [1,6,8] :
Tinjauan Pemeriksaan limfoma yang diterapkan oleh dokter meliputi pemeriksaan fisik, tes darah, tes pemindaian, biopsi, dan juga aspirasi sumsum tulang. Apabila diperlukan, kemungkinan dokter akan merekomendasikan sejumlah tindakan pemeriksaan lain sesuai dengan kondisi pasien.
Sebelum dokter menentukan metode penanganan untuk pasien limfoma, faktor usia, jenis limfoma, stadium limfoma dan kondisi kesehatan menyeluruh pasien menjadi pertimbangan.
Namun pada umumnya, beberapa metode pengobatan inilah yang dokter berikan sesuai dengan kondisi pasien.
Pada kasus limfoma non-Hodgkin yang gejalanya masih tergolong sangat awal, biasanya ukuran masih tergolong kecil [1,6].
Untuk menanganinya, dokter merekomendasikan pengangkatan limfoma melalui prosedur biopsi.
Jika sudah menempuh biopsi dan limfoma awal telah diangkat, dokter tak akan merekomendasikan penanganan lanjutan walau masih tetap akan dipantau.
Vincristine adalah salah satu contoh obat kemoterapi yang umumnya diresepkan oleh dokter untuk pasien limfoma [1,6,15].
Bila memang diperlukan, dokter juga akan memberikan rituximab, yaitu jenis obat imunoterapi yang bertujuan membunuh sel limfoma.
Radioterapi adalah metode penanganan lain yang pasien juga kemungkinan perlu tempuh [1,6,7,8].
Tujuan radioterapi adalah sebagai pembunuh sel kanker di mana metode ini juga kemungkinan diterapkan usai atau bersamaan dengan kemoterapi.
CAR atau chimeric antigen receptor juga merupakan pengobatan limfoma yang cukup umum, khususnya untuk kasus limfoma T-cell [6].
Transplantasi sumsum tulang belakang hanya akan direkomendasikan oleh dokter bila limfoma terdapat pada sumsum tulang [1,6,7,8].
Sebagai penghasil sel-sel darah, sumsum tulang menjadi bagian penting yang perlu diatasi segera bila terdapat sel kanker.
Melalui prosedur transplantasi, jaringan sumsum tulang yang mengalami gangguan atau kerusakan akibat limfoma akan digantikan dengan jaringan sehat dari pendonor.
Terdapat berbagai cara alternatif dalam menangani limfoma selain melalui obat resep dokter dan tindakan medis yang telah disebutkan di atas .
Terapi musik, meditasi, terapi seni, aktivitas fisik, pijat, akupunktur, dan teknik relaksasi adalah bentuk pengobatan alternatif yang dapat ditempuh oleh pasien [16].
Apakah setiap penderita limfoma membutuhkan penanganan segera?
Tidak semua penderita harus selalu memperoleh penanganan cepat, khususnya bila limfoma yang diderita adalah jenis yang tumbuh dan berkembang secara lambat.
Bila limfoma tak menimbulkan gejala, maka dokter biasanya melakukan pemantauan lebih dulu [1].
Pasien akan diminta untuk melakukan kontrol rutin agar perkembangan penyakit dapat diketahui oleh dokter.
Tinjauan Pengobatan limfoma adalah melalui pmeberian obat-obatan kemoterapi, radioterapi, dan transplantasi sumsum tulang. Namun, sejumlah tindakan pengobatan alternatif juga tersedia untuk mengatasi limfoma.
Kemungkinan penderita limfoma untuk sembuh sangat besar menurut Leukemia & Lymphoma Society, terutama penderita limfoma Hodgkin [7].
Namun seberapa besar peluang kesembuhan seorang penderita limfoma kembali ditentukan oleh seberapa ganas sel kanker dan sudah seberapa luas sel kanker telah menyebar.
Meski peluang untuk sembuh tergolong besar, bukan berarti bahwa risiko komplikasi kecil.
Risiko komplikasi berupa penyakit paru, penyakit jantung, gangguan pernapasan, gangguan saraf, dan penyakit infeksi sangat besar pada penderita limfoma [17].
Sistem kekebalan tubuh yang melemah karena limfoma juga dapat meningkatkan potensi kekambuhan limfoma usai menjalani pengobatan.
Selain itu, efek dari pengobatan limfoma sendiri juga tidak sepenuhnya aman karena mampu memicu kemandulan hingga kanker baru [18].
Tinjauan Risiko penyakit paru, penyakit jantung dan infeksi sebagai komplikasi limfoma sangat besar, begitu juga dengan kekambuhan limfoma usai menjalani terapi. Sementara itu, komplikasi atau efek samping dari pengobatan limfoma meliputi kemandulan hingga kanker baru.
Karena penyebab pasti limfoma masih belum diketahui jelas, maka belum terdapat cara khusus untuk mencegahnya.
Namun untuk meminimalisir risiko penyakit ini, beberapa hal di bawah ini dapat diperhatikan [19] :
Tinjauan Memeriksakan diri secara rutin ke dokter terutama jika menderita penyakit autoimun atau pengonsumsi imunosupresan sangat penting. Namun, hingga kini belum terdapat cara pencegahan tepat dan terbaik untuk kasus limfoma karena penyebabnya belum diketahui.
1. Ayesha Jamil & Shiva Kumar R. Mukkamalla. Lymphoma. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Nasional Penanganan Kanker Limfoma Non-Hodgkin. Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK); 2015.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan Kondisi Penyakit Limfoma di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015.
4. Lozano R, Naghavi M, Foreman K, Lim S, Shibuya K, Aboyans V, Abraham J, Adair T, Aggarwal R, Ahn SY, et al. Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet; 2012.
5. The American Cancer Society medical and editorial content team. Key Statistics for Non-Hodgkin Lymphoma. American Cancer Society; 2020.
6. Sumina Sapkota & Hira Shaikh. Non-Hodgkin Lymphoma. National Center for Biotechnology Information; 2020.
7. Anonim. NHL Subtypes. Leukemia & Lymphoma Society; 2020.
8. Hatem Kaseb & Hani M. Babiker. Hodgkin Lymphoma. National Center for Biotechnology Information; 2020.
9. Eleanor V. Willett, Lindsay M. Morton, Patricia Hartge, Nikolaus Becker, Leslie Bernstein, Paolo Boffetta, Paige Bracci, James Cerhan, Brian C.-H. Chiu, Pierluigi Cocco, Luigino Dal Maso, Scott Davis, Silvia De Sanjose, Karin Ekstrom Smedby, Maria Grazia Ennas, Lenka Foretova, Elizabeth A. Holly, Carlo La Vecchia, Keitaro Matsuo, Marc Maynadie, Mads Melbye, Eva Negri, Alexandra Nieters, Richard Severson, Susan L. Slager, John J. Spinelli, Anthony Staines, Renato Talamini, Martine Vornanen, Dennis D. Weisenburger, & Eve Roman. Non-Hodgkin lymphoma and Obesity: a pooled analysis from the InterLymph consortium. HHS Public Access; 2014.
10. Leah Schinasi & Maria E. Leon. Non-Hodgkin Lymphoma and Occupational Exposure to Agricultural Pesticide Chemical Groups and Active Ingredients: A Systematic Review and Meta-Analysis. International Journal of Environmental Research; 2014.
11. Muhammad Uzair Lodhi, Tracy Stammann, Aaron R Kuzel, Intekhab Askari Syed, Rizwan Ishtiaq, & Mustafa Rahim. Infectious mononucleosis mimicking Epstein–Barr virus positive diffuse large B-cell lymphoma not otherwise specified. Cureus; 2018.
12. Christopher R. Flowers, Pareen J. Shenoy, Uma Borate, Kevin Bumpers, Tanyanika Douglas-Holland, Nassoma King, Otis W. Brawley, Joseph Lipscomb, Mary Jo Lechowicz, Rajni Sinha, Rajinder S. Grover, Leon Bernal-Mizrachi, Jeanne Kowalski, Will Donnellan, Angelina The, Vishnu Reddy, David L. Jaye, & James Foran. Examining Racial Differences in Diffuse Large B-Cell Lymphoma Presentation and Survival. HHS Public Access; 2014.
13. Henrik Hjalgrim. On the aetiology of Hodgkin lymphoma. Danish Medical Journal; 2012.
14. Tejaswi Kanderi & Maged S Khoory. Infectious mononucleosis mimicking Epstein–Barr virus positive diffuse large B-cell lymphoma not otherwise specified. International Journal of Hematologic Oncology; 2020.
15. Ambuj Roy, MD, DM, Naveen Khanna, MD, & Nagendra Boopathy Senguttuvan, MD, DM. Rituximab-Vincristine Chemotherapy-Induced Acute Anterior Wall Myocardial Infarction with Cardiogenic Shock. Texas Heart Institute Journal; 2014.
16. Missy Hall, Susanne M. Bifano, Leigh Leibel, Linda S. Golding & Shiu-Lin Tsai. The Elephant in the Room: The Need for Increased Integrative Therapies in Conventional Medical Settings. Children (Basel); 2018.
17. Sanjay Vinjamaram, MD, MPH, Dolores A Estrada-Garcia, MD, Francisco J Hernandez-Ilizaliturri, MD, Koyamangalath Krishnan, MD, FRCP, FACP, Lakshmi Rajdev, MD, Joseph A Sparano, MD, & Francisco Talavera, PharmD, PhD. What are the possible complications of non-Hodgkin lymphoma (NHL)? Medscape; 2019.
18. Stephanie Harel, Christophe Fermé, & Catherine Poirot. Management of fertility in patients treated for Hodgkin’s lymphoma. Haematologica; 2011.
19. Cleveland Clinic medical professional. Adult Non-Hodgkin’s Lymphoma: Prevention. Cleveland Clinic; 2019.