Daftar isi
Separation anxiety atau gangguan kecemasan berpisah adalah suatu kondisi yang dianggap sebagai tahap normal dalam perkembangan anak, khususnya usia bayi dan balita [1,4,8,9,10].
Tahap ini akan hilang pada saat anak memasuki usia 3 tahun, namun pada sebagian anak justru kondisi ini menjadi lebih serius.
Umumnya, separation anxiety dialami anak di masa sebelum sekolah (pra-sekolah) di mana bila kondisi ini berkepanjangan dan cenderung intens, maka sebagai akibatnya aktivitas belajar dan aktivitas hariannya akan terhambat.
Beberapa masalah psikologis seperti serangan panik dapat dialami anak ketika gangguan kecemasan berpisah ini tidak hilang pada waktu usianya 3 tahun.
Tinjauan Separation anxiety merupakan gangguan kecemasan yang menjadi bagian dari perkembangan anak, terutama bayi dan balita. Namun, beberapa gangguan psikologis dapat terjadi saat gangguan kecemasan berpisah tak hilang usai anak memasuki usia 3 tahun ke atas.
Penyebab pasti separation anxiety belum jelas diketahui, namun stres dalam menjalani kehidupan sehari-hari dapat menjadi pemicunya [1,4,5,6].
Tak hanya orang dewasa yang dapat mengalaminya, tapi anak-anak pun dapat merasakan kecemasan berlebih, terutama bila perpisahan terjadi dengan orang terdekatnya.
Walau faktor genetik tetap berperan pada timbulnya separation anxiety, kondisi ini lebih sering dipicu oleh stres dari lingkungan sekitar.
Beberapa faktor risiko yang perlu diketahui mampu meningkatkan potensi separation anxiety antara lain :
Tinjauan Faktor lingkungan, stres dalam kehidupan sehari-hari, temperamen tertentu dan riwayat kesehatan keluarga adalah beberapa faktor yang mampu meningkatkan risiko separation anxiety.
Separation anxiety atau kecemasan berpisah baru akan terlihat tanda-tandanya ketika anak sudah lebih besar.
Perkembangan mental dan perilaku anak akan menunjukkan adanya tanda separation anxiety atau tidak.
Aktivitas sehari-harinya yang terganggu atau tidak juga menjadi tanda apakah anak mengalami gangguan kecemasan tertentu.
Berikut ini adalah gejala-gejala utama separation anxiety yang dibagi menjadi dua kondisi, yaitu gejala perilaku dan gejala fisik.
Beberapa gejala perilaku yang nampak pada anak ketika mengalami separation anxiety adalah sebagai berikut [1] :
Selain dari perilaku anak, orang terdekat dapat mengamati adanya gejala fisik yang kemungkinan dialami anak saat menderita separation anxiety, seperti [1,7] :
Ketika mengalami separation anxiety, gangguan panik atau serangan panik adalah hal yang juga biasanya terjadi pada anak.
Kecemasan yang timbul pada anak adalah hal yang dirasakan tiba-tiba dan bersifat intens.
Anak juga berpotensi mengalami rasa takut berlebih terhadap teror yang bisa berlangsung selama beberapa menit ketika mengalami perpisahan dengan orang terdekatnya.
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Gangguan kecemasan berpisah tak dapat hilang atau membaik dengan sendirinya tanpa penanganan.
Maka dari itu, ketika orang dewasa melihat dan menyadari bahwa anak mengalami gejala-gejala yang telah disebutkan di atas, segera bawa ke ahli kesehatan mental (psikiater atau psikolog) untuk pemeriksaan.
Bila ada orang tua yang mengetahui bahwa anaknya memiliki kecenderungan separation anxiety, segera konsultasikan ke dokter atau psikiater langsung.
Tinjauan Gejala separation anxiety dibagi menjadi dua jenis kondisi, yaitu gejala fisik dan gejala perilaku. Gejala fisik akan meliputi rasa sakit perut, sakit kepala, mual, hingga takikardia. Sementara gejala perilaku pasien lebih kepada keengganan dan rasa takut ketika harus berpisah dengan orang terdekat.
Dalam mendiagnosa separation anxiety, terdapat beberapa metode pemeriksaan yang biasanya digunakan, yaitu antara lain adalah :
Pemeriksaan fisik adalah yang utama diterapkan pada saat mendiagnosa separation anxiety [1,8].
Sebab bagaimanapun juga, dokter perlu tahu apakah pasien mengalami kondisi medis tertentu sehingga dapat mengeliminasi adanya kemungkinan-kemungkinan penyakit tertentu.
Dokter kemudian biasanya akan merujukkan anak pada psikolog atau psikiater khusus anak untuk memeriksa dan mendeteksi gangguan kecemasan tertentu.
Evaluasi perkembangan anak adalah pemeriksaan utama yang dilakukan oleh dokter dalam memastikan separation anxiety [1,8,9].
Dokter perlu mengetahui apakah anak mengalami tahap perkembangan mental yang normal.
Ahli kesehatan profesional dalam hal ini penting untuk memeriksa kondisi psikologis pasien melalui prosedur wawancara [1,8,9,10].
Psikolog atau psikiater perlu mengetahui bagaimana perasaan pasien dan juga apa saja yang ada di pikiran pasien.
Evaluasi psikologis juga meliputi observasi perilaku pasien untuk mengetahui apakah gejala yang dialami benar-benar mengarah pada separation anxiety atau gangguan kecemasan jenis lainnya.
Kriteria diagnosa menurut DSM-V biasanya digunakan oleh psikiater maupun psikolog dalam mendiagnosa pasien anak maupun dewasa, yaitu [1,4] :
Tinjauan Pemeriksaan fisik, evaluasi perkembangan fisik dan mental pasien, serta evaluasi psikologis adalah metode-metode diagnosa yang umumnya diterapkan oleh dokter.
Penanganan pasien separation anxiety terdiri dari tiga metode, yaitu psikoterapi, pemberian obat-obatan dan juga perubahan gaya hidup.
Terkadang, kombinasi antara psikoterapi dan obat-obatan adalah yang paling diperlukan untuk kemajuan kondisi pasien.
Psikoterapi atau terapi bicara umumnya meliputi terapi perilaku kognitif yang tergolong efektif dalam hampir setiap kondisi gangguan mental atau gangguan kecemasan [1,6,11].
Terapi ini akan membantu anak memahami apa yang sedang ia hadapi dan bagaimana cara mengatasi serta melawannya.
Terapis profesional akan mendampingi anak dan mengajarkannya mengelola ketakutan dan kecemasan yang dirasakan tentang perpisahan dan ketidakpastian.
Sementara itu, orang tua pasien juga dapat ikut terlibat dalam terapi ini agar memahami betul bagaimana menyediakan dukungan emosional bagi anak secara efektif dan tepat.
SSRI (serotonin selective reuptake inhibitors) adalah jenis obat yang umumnya diresepkan oleh dokter [1,11].
Resep obat SSRI ini diberikan pada pasien separation anxiety yang usianya di atas 6 tahun.
Sementara pasien anak berusia 6 tahun ke bawah hanya perlu menjalani terapi perilaku kognitif saja.
Benzodiazepine adalah alternatif obat yang biasanya diresepkan oleh dokter untuk pasien separation anxiety usia dewasa namun tidak diperuntukkan bagi anak-anak [1].
Antidepresan seperti antidepresan trisiklik dan golongan obat SNRI (serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors) tidak diberikan karena belum terbukti sepenuhnya mampu secara efektif mengatasi gejala separation anxiety [1].
Para orang tua yang memiliki anak dengan kondisi separation anxiety perlu memerhatikan proses pemulihannya.
Tak hanya mengandalkan psikoterapi dan obat-obatan dari dokter, penting untuk orang tua terlibat dan mendukung perawatan anak melalui hal-hal berikut :
Tinjauan Separation anxiety umumnya diatasi melalui psikoterapi (terapi perilaku kognitif), pemberian obat-obatan, dan perubahan gaya hidup.
Anak-anak dengan kondisi separation anxiety dapat mengalami risiko komplikasi berupa gangguan panik dan gangguan kecemasan lainnya saat tumbuh dewasa [1,4,6].
Risiko ini akan semakin tinggi ketika separation anxiety pada masa kecil tidak segera diatasi dengan tepat.
Selain serangan panik, gangguan kecemasan sosial dan fobia spesifik adalah risiko komplikasi yang sangat mungkin berkembang pada penderita separation anxiety [1,7].
Selain itu, gangguan obsesif kompulsif serta depresi juga berpotensi dialami penderita [1,11].
Jika hal ini tak kunjung memperoleh penanganan, penderita dapat mengalami hambatan dalam situasi sosial baik di sekolah maupun dalam dunia kerjanya [1].
Tinjauan Gangguan panik, gangguan kecemasan lainnya, fobia, hingga terhambatnya aktivitas sehari-hari penderita dapat menjadi komplikasi separation anxiety ketika tidak segera diatasi.
Tidak terdapat cara pasti dan khusus dalam mencegah separation anxiety karena penyebabnya belum diketahui.
Namun ketika gejala awal mulai terjadi dan nampak, penting untuk melakukan beberapa upaya di bawah ini agar meminimalisir risiko komplikasi [1,8] :
Tinjauan Pencegahan separation anxiety belum diketahui, namun untuk meminimalisir risiko komplikasinya, deteksi dan penanganan dini akan sangat membantu (terutama dengan dukungan dan keterlibatan orang tua penderita).
1. Joshua Feriante & Bettina Bernstein. Separation Anxiety. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Isnaniar Noorvitri. Direktori Psikologi : Social Anxiety Disorder. Pijar Psikologi; 2018.
3. Shiely Tilie Hartadi, Fransiska Kaligis, R. Irawati Ismail, Charles Evert Damping & Nia Kurniati. Gangguan Mental pada Anak dan Remaja dengan HIV serta Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Journal Universitas Indonesia; 2017.
4. Marco Battaglia, MD. Separation anxiety: at the neurobiological crossroads of adaptation and illness. Dialogues in Neuroscience; 2015.
5. Michele M. Volbrecht, M.S. & H. Hill Goldsmith, Ph.D. Early Temperamental and Family Predictors of Shyness and Anxiety. HHS Public Access; 2011.
6. M.A. Waszczuk, H.M.S. Zavos, & T.C. Eley. Genetic and environmental influences on relationship between anxiety sensitivity and anxiety subscales in children. Journal of Anxiety Disorders; 2013.
7. Lynn S. Walker, PhD, Joy Beck, PhD, & Julia Anderson, MD. Functional Abdominal Pain and Separation Anxiety: Helping the Child Return to School. HHS Public Access; 2011.
8. Christine E. Cooper-Vince, M.A., Benjamin O. Emmert-Aronson, M.A., Donna B. Pincus, Ph.D., & Jonathan S. Comer, Ph.D. The diagnostic utility of separation anxiety disorder symptoms: An item response theory analysis. HHS Public Access; 2015.
9. Xavier Méndez, José P. Espada, Mireia Orgilés, Luis M. Llavona, José M. García-Fernández & Ingmar HA. Franken. Children's Separation Anxiety Scale (CSAS): Psychometric Properties. PLoS One; 2014.
10. Ronny Redlich, Dominik Grotegerd, Nils Opel, Carolin Kaufmann, Pienie Zwitserlood, Harald Kugel, Walter Heindel, Uta-Susan Donges, Thomas Suslow, Volker Arolt, & Udo Dannlowski. Are you gonna leave me? Separation anxiety is associated with increased amygdala responsiveness and volume. Social Cognitive and Affective Neuroscience; 2015.
11. Bernard Boileau, MD, CSPQ, FRCP(C). A review of obsessive-compulsive disorder in children and adolescents. Dialogues in Clinical Neuroscience; 2011.