Daftar isi
Distimia atau gangguan depresi persisten tergolong sebagai jenis depresi kronis yang biasanya lebih rentan terjadi pada orang-orang yang memiliki depresi mayor [1,3,9].
Distimia sebenarnya memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan jenis depresi pada umumnya, yakni penderita akan merasakan keputusasaan dan kesedihan mendalam jangka panjang [1,3,9].
Ketika suasana hati tak mudah untuk kembali membaik, maka hal ini akan memengaruhi perilaku sekaligus fungsi tubuh penderita [1,3,9].
Sekalipun sedang berada dalam situasi yang menyenangkan, penderita distimia akan sangat sulit untuk merasakan kegembiraan [1,3,9].
Tinjauan Distimia disebut juga dengan gangguan depresi persisten, yakni jenis depresi kronis atau jangka panjang yang ditandai dengan rasa putus asa dan sedih terus-menerus.
Belum jelas diketahui apa faktor penyebab utama distimia dapat terjadi maupun berkembang di dalam diri seseorang.
Namun, terdapat sejumlah kondisi yang disebut berkaitan dengan distimia dan bahkan mampu menjadi faktor risiko.
Bahan kimia otak alami atau neurotransmitter dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko depresi pada seseorang, termasuk pada kasus distimia [1].
Ketika neurotransmitter mengalami perubahan efek dan fungsi, hal ini memengaruhi kestabilan mood atau suasana hati yang kemudian memicu depresi [1].
Adanya perubahan fisik pada otak termasuk faktor yang meningkatkan risiko seseorang dalam mengalami distimia atau jenis depresi lainnya [3].
Belum diketahui secara pasti efek signifikan dari perubahan tersebut, namun perubahan ini menjadi alasan terjadinya depresi pada beberapa kasus [3].
Memiliki trauma dari masa lalu karena mengalami kejadian tak menyenangkan, seperti masalah keuangan, kehilangan orang terdekat, atau sempat mengalami pelecehan maupun kekerasan akan meningkatkan risiko depresi [1,3].
Bila stres karena trauma ini terlalu berat dan berkepanjangan, maka distimia maupun jenis depresi lainnya berpeluang besar untuk berkembang [1,3].
Para penderita distimia atau depresi persisten umumnya diketahui memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan mental serupa [1,3].
Orang tua atau anggota keluarga lain yang memiliki riwayat depresi atau gangguan kecemasan akan meningkatkan risiko saudara atau keturunannya untuk mengidap kondisi yang sama [1,3].
Sifat atau kepribadian yang penuh dengan hal negatif dapat menjadi peningkat risiko distimia maupun jenis depresi lainnya [3].
Kepribadian negatif yang dimaksud antara lain seperti rendah diri, pesimis, terlalu kritis terhadap diri sendiri, maupun terlalu bergantung dengan orang lain [1,3].
Memiliki riwayat gangguan mental tertentu seperti halnya mengidap gangguan kepribadian semakin meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan kondisi mental lainnya [1,3].
Potensi untuk mengalami jenis depresi seperti distimia akan lebih tinggi karena memiliki riwayat kondisi mental tersebut [1,3].
Depresi persisten atau distimia juga kerap dikaitkan dengan kondisi fisik [1,3].
Penderita penyakit kronis pun memiliki risiko lebih besar dalam mengalami depresi, termasuk distimia [1,3].
Jenis penyakit kronis yang dimaksud adalah seperti diabetes, kanker atau penyakit jantung—jenis-jenis penyakit yang tak mudah disembuhkan [4,5].
Tinjauan Penyebab distimia berkaitan dengan faktor genetik, riwayat gangguan mental, mengidap penyakit kronis, gangguan dan perubahan kimia otak, sifat bawaan, hingga pengalaman traumatis.
Distimia awalnya tidak terlalu serius karena gejala yang dialami akan timbul dan hilang selama beberapa waktu.
Namun ketika tanpa disadari kondisi gejala distimia berkembang semakin progresif, beberapa hal berikut ini akan penderita alami [1,3] :
Distimia tak hanya dapat terjadi pada orang dewasa, sebab anak-anak pun berpotensi sama besar dalam mengalaminya [6].
Pada anak, distimia akan menimbulkan gangguan suasana hati, mudah marah dan rewel [6].
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Beberapa penderita gejala distimia mungkin berpikir bahwa perasaan sedih terus-menerus dan putus asa tersebut hanya bersifat sementara.
Namun, depresi persisten tentunya akan menyebabkan gejala berulang walaupun sempat hilang.
Untuk itu, periksakan diri dengan menemui psikolog atau psikiater dalam memastikan kondisi, mengidentifikasi penyebab, dan mendapatkan penanganan yang tepat.
Tinjauan Perasaan kosong, kesedihan dan keputusasaan berkepanjangan, rendah diri, sering merasa bersalah, kurang dapat mengontrol emosi, dan cenderung menarik diri dari aktivitas-aktivitas yang semula menarik termasuk aktivitas sosial (berinteraksi dengan orang lain).
Saat memeriksakan gejala yang dicurigai mengarah pada gangguan depresi persisten atau distimia, selain evaluasi psikologis, metode-metode diagnosa lain seperti berikut tetap perlu pasien jalani.
Seperti pada umumnya, dokter akan memeriksa kondisi fisik pasien lebih dulu [1].
Kemudian, diagnosa akan disusul dengan pemeriksaan riwayat kesehatan; dokter akan bertanya kepada pasien mengenai riwayat medis pasien maupun keluarga pasien [1\.
Ini karena beberapa gangguan kesehatan fisik dapat menjadi penyebab gangguan kesehatan mental [1].
Untuk memastikan kondisi fisik pasien dan kondisi medis apa saja yang tengah diderita, dokter akan meminta pasien menempuh tes laboratorium [1].
Tes ini umumnya meliputi tes darah dan tes urine yang akan membantu dokter dalam penegakkan diagnosa [1].
Tes darah umumnya digunakan untuk mengetahui apakah pasien mengalami hipotiroidisme [1].
Pemeriksaan atau evaluasi psikologis biasanya meliputi konsultasi dan diskusi antara pasien dan dokter tentang perasaan, pikiran dan perilaku pasien [1].
Dokter kemungkinan akan memberikan kuisioner untuk diisi oleh pasien terkait pertanyaan-pertanyaan seputar gejala psikologis [1].
Dari evaluasi ini akan diketahui apakah pasien menderita distimia atau jenis depresi maupun gangguan mental lain [1].
Evaluasi psikologis ini bertujuan utama membedakan gejala distimia dari sejumlah gangguan mental dengan gejala serupa, seperti gangguan afektif musiman, gangguan depresi mayor, dan gangguan bipolar [1].
Tinjauan Pemeriksaan distimia biasanya meliputi pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, tes laboratorium, serta pemeriksaan psikologis.
Penanganan distimia adalah seperti penanganan gangguan mental pada umumnya, yakni melalui psikoterapi, obat-obatan maupun kombinasi keduanya.
Pengobatan akan disesuaikan juga dengan bentuk gejala yang selama ini pasien alami.
Psikoterapi adalah metode perawatan untuk pasien gangguan mental secara umum, sehingga juga diharapkan mampu membantu mengurangi gejala distimia [1,3].
Terapis profesional dalam metode ini akan mendampingi pasien untuk bisa mengekspresikan perasaan dan pikiran secara positif dan benar [1,3].
Selain itu, terapis membantu pasien untuk menghadapi tantangan hidup, mengatasi emosi, mengidentifikasi gejala dan pemicu, mengendalikan pikiran, reaksi dan perilaku diri sendiri, serta menggantikan pikiran negatif dengan pikiran positif [1,3].
Pasien juga dibimbing untuk membuat tujuan-tujuan realistis untuk diri mereka setelah mengalami kemajuan dalam mengatasi pikiran dan emosinya [1,3].
Distimia dapat ditangani pula dengan sejumlah obat antidepresan yang meliputi sertraline dan fluoxetine yang tergolong dalam SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors) [1].
Selain itu, amoxapine dan amitriptyline yang tergolong dalam antidepresan trisiklik umumnya juga dapat pasien gunakan sesuai resep untuk meredakan gejala depresi [7].
Sementara itu, obat lainnya adalah duloxetine dan desvenlafaxine yang tergolong dalam SNRI (serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors) [1].
Karena merupakan kondisi jangka panjang, distimia sebaiknya ditangani tidak hanya dengan mengombinasikan psikoterapi dan penggunaan obat antidepresan.
Perubahan pola hidup menjadi lebih sehat, seperti berolahraga seminggu setidaknya tiga kali, memperbanyak asupan sayur dan buah, menerapkan diet sehat dan seimbang [8,9].
Selama pemulihan, pasien juga perlu memastikan untuk menghindari alkohol serta obat terlarang [9].
Berlatih meditasi, melakukan Yoga, dan memraktekkan Tai Chi akan membantu pikiran dan perasaan jauh lebih mudah untuk tenang [9,10].
Bila perlu, miliki jurnal atau sebuah buku diari untuk menjadi wadah dalam menuangkan emosi negatif [9,11].
Bagaimana prognosis distimia?
Distimia pada dasarnya memiliki kemiripan dengan depresi kronis di mana baik buruknya prognosis tergantung dari seberapa cepat penanganan yang pasien dapatkan [1].
Prognosis distimia beragam karena tergantung dari tingkat keparahan gejala dan seberapa baik maupun cepat penanganan yang pasien terima [1].
Ketika kondisi distimia berkembang menjadi kecemasan, depresi dan gejala somatik yang berat, maka tentu prognosis tergolong buruk [1].
Tinjauan Penanganan utama distimia adalah dengan psikoterapi, obat-obatan, kombinasi psikoterapi dan obat-obatan, hingga perubahan pola hidup menjadi lebih sehat untuk memaksimalkan pemulihan.
Risiko komplikasi distimia sebenarnya sama dengan risiko komplikasi gangguan mental pada umumnya yang tidak tertangani.
Berikut ini adalah sejumlah bahaya ketika distimia tidak segera memperoleh penanganan [1,3].
Belum diketahui jelas bagaimana cara mencegah distimia, namun ketika terdapat gejala-gejala mengarah pada kondisi ini, beberapa upaya berikut dapat dilakukan sebagai peminimalisir perburukan gejala [1,9] :
Tinjauan Belum diketahui cara pencegahan distimia, namun segera kendalikan stres dan periksakan gejala ke psikolog atau psikiater untuk mencegah komplikasi.
1. Raj K. Patel & Gregory M. Rose. Persistent Depressive Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Yosinta Praditiya. Hubungan Antara Burnout dan Depresi pada Karyawan. Unika Soegijapranata; 2019.
3. Randy A. Sansone, MD & Lori A. Sansone, MD. Dysthymic Disorder. Psychiatry; 2009.
4. B T Baune, M Stuart, A Gilmour, H Wersching, W Heindel, V Arolt, & K Berger. The relationship between subtypes of depression and cardiovascular disease: a systematic review of biological models. Translational Psychiatry; 2012.
5. Ray E Clouse, Patrick J Lustman, Kenneth E Freedland, Linda S Griffith, Janet B McGill, & Robert M Carney. Depression and coronary heart disease in women with diabetes. Psychosomatic Medicine; 2003.
6. Maria Nobile, Giulia M Cataldo, Cecilia Marino, & Massimo Molteni. Diagnosis and treatment of dysthymia in children and adolescents. CNS Drugs; 2003.
7. A von Wolff, L P Hölzel, A Westphal, M Härter, & L Kriston. Selective serotonin reuptake inhibitors and tricyclic antidepressants in the acute treatment of chronic depression and dysthymia: a systematic review and meta-analysis. Journal of Affective Disorders; 2013.
8. Elizabeth Aylett, Nicola Small, & Peter Bower. Exercise in the treatment of clinical anxiety in general practice – a systematic review and meta-analysis. BMC Health Services Research; 2018.
9. Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP & Amber Erickson Gabbey. Persistent Depressive Disorder (Dysthymia). Healthline; 2018.
10. Sy Atezaz Saeed, Diana J Antonacci, & Richard M Bloch. Exercise, yoga, and meditation for depressive and anxiety disorders. American Family Physician; 2010.
11. Andrea N. Niles, MA, Kate E. Haltom, BA, Catherine M. Mulvenna, Ph.D, Matthew D. Lieberman, Ph.D, & Annette L. Stanton, Ph.D. Effects of Expressive Writing on Psychological and Physical Health: The Moderating Role of Emotional Expressivity. HHS Public Access; 2016.