Daftar isi
Enuresis merupakan sebuah kondisi mengompol atau yang juga dikenal dengan istilah bed-wetting [1,2,3,4,5,9,11,12].
Pada kondisi enuresis, seseorang tak mampu mengendalikan urine yang keluar sehingga tidak sengaja urine keluar tak terkontrol.
Enuresis adalah suatu kondisi umum yang terjadi pada anak-anak khususnya usia balita.
Enuresis terbagi menjadi dua jenis kondisi, yaitu enuresis nokturnal dan enuresis diurnal [1,2,3].
Enuresis nokturnal adalah jenis enuresis yang sebagian anak alami, yaitu mengompol di malam hari.
Sedangkan enuresis diurnal adalah kondisi mengompolnya seseorang di siang hari; meski beberapa anak mengalaminya, hal ini lebih jarang.
Enuresis dianggap memiliki kemiripan kondisi dengan nokturia, terutama dalam hal pengendalian berkemih.
Jika enuresis adalah istilah untuk kasus ketidakmampuan mengendalikan keluarnya urine bagi anak, nokturia adalah kondisi serupa yang dialami orang dewasa [4].
Meski demikian, keduanya pun tetap berbeda dari segi faktor risiko.
Enuresis terjadi karena faktor kesehatan fisik dan mental seperti halnya ADHD dan konstipasi [1,2,4].
Sementara pada nokturia, kondisi ini berkaitan dengan penyakit kardiovaskular dan cedera jatuh [4].
Gangguan tidur dan kurangnya kualitas tidur karena depresi umumnya menjadi pemicu nokturia pada lansia.
Tinjauan Enuresis adalah istilah medis untuk bed-wetting atau mengompol yang umumnya dialami oleh anak-anak dengan usia kurang dari 7 tahun.
Ginjal adalah organ yang menghasilkan urine dan kandung kemih adalah tempat penampung urine tersebut [14].
Sistem saraf di dinding kandung kemih normalnya akan mengirimkan pesan ke otak apabila urine telah terkumpul penuh di kandung kemih.
Otak kemudian merespon melalui pesan yang dikirim ke kandung kemih supaya kandung kemih dikosongkan segera.
Ketika sinyal dikirim oleh otak ke kandung kemih, saat itu seseorang akan merasa ingin buang air kecil dan berkemih di kamar mandi.
Pada kasus enuresis, proses pengiriman pesan dari sistem saraf ke otak maupun dari otak kembali ke saluran kemih mengalami gangguan [14].
Oleh sebab itu, seseorang dapat mengompol secara tiba-tiba dan tidak disengaja.
Hanya saja penyebab utama gangguan pada proses pengiriman pesan oleh sistem saraf tersebut tidak diketahui jelas.
Sementara itu, enuresis yang terjadi pada anak-anak lebih disebabkan oleh pengendalian kandung kemih yang belum sempurna.
Pengendalian kandung kemih usia balita belum baik karena proses perkembangan pengendalian terjadi secara bertahap, yaitu dari pengendalian kandung kemih di siang hari disusul dengan pengendalian kandung kemih di malam hari [1,2,3].
Walau begitu, setiap anak memiliki kondisi yang berbeda-beda pada tahap pengendalian kandung kemih.
Terdapat beberapa anak balita yang bahkan sudah tak mengompol, namun masih sebagian ada yang masih mengompol karena pengendalian kandung kemih belum sempurna.
Meski terkait dengan belum sempurnanya pengendalian kandung kemih, beberapa faktor seperti kondisi medis tertentu mampu menjadi pemicu enuresis pada anak-anak [1,2].
Belum diketahui pasti penyebab enuresis, namun sejumlah faktor di bawah ini mampu meningkatkan risiko enuresis, yaitu :
Enuresis adalah sebuah gangguan kemih yang dapat diturunkan dari orang tua [1,2,3,5,6].
Seseorang yang memiliki orang tua dengan kondisi enuresis dapat menurunkan kondisi serupa kepada anak-anaknya.
Ini karena enuresis pun tidak selalu terjadi pada anak-anak, tapi juga orang dewasa.
Enuresis dapat dipicu oleh penyakit tertentu, seperti halnya diabetes [1,2].
Pada orang dewasa, enuresis juga dapat dipicu oleh cedera, konstipasi, kelainan pada struktur saluran kemih, serta infeksi saluran kencing [1,2,4].
Enuresis dapat disebabkan oleh gangguan hormon antidiuretik, yaitu hormon penurun produksi urine [7].
Pada penderita enuresis, hormon ini tidak memadai sehingga urine yang dihasilkan dalam tubuh menjadi lebih banyak.
Biasanya, gangguan hormon menjadi alasan dibalik terjadinya enuresis nokturnal.
Anak-anak yang mengalami stres secara psikologis sangat dapat mengalami enuresis [1,2,8,9].
Stres dapat dipicu oleh pertengkaran keluarga, adaptasi pada lingkungan baru, kehilangan orang terdekat, atau belajar melakukan sesuatu yang dipaksakan [8,9].
Kafein adalah salah satu pemicu sering buang air kecil pada seseorang [2].
Hal ini dapat menjadi salah satu faktor seseorang tak dapat mengendalikan keinginan berkemih sehingga kemudian mengalami enuresis.
Gangguan tidur seperti sleep apnea rupanya berperan dalam timbulnya kondisi enuresis [1].
Sleep apnea atau kondisi gangguan pernapasan ketika tidur ini dapat terjadi karena pembesaran kelenjar adenoid.
Kandung kemih yang terlalu kecil dapat bermasalah, salah satu masalah yang ditimbulkan adalah enuresis [2].
Jumlah urine yang banyak tak dapat tertampung dengan baik dan jumlah urine normal sekalipun tak akan dapat ditahan dengan baik karena otot kandung kemih yang tegang [1,2].
Gangguan sistem saraf pengendali kandung kemih serta sistitis (peradangan kandung kemih) juga dapat menjadi pemicu enuresis [2].
Tinjauan Gangguan saraf kandung kemih dapat menjadi sebab enuresis, namun ketidakmampuan anak dalam mengendalikan keinginan berkemih, kondisi medis tertentu, faktor keturunan dan gangguan psikologis pun berperan dalam memicu enuresis.
Enuresis yang terjadi dengan beberapa keluhan berikut menjadi tanda bahwa terdapat kondisi medis tertentu yang perlu segera ditangani [1,2,4,10].
Bila gejala-gejala yang mengarah pada enuresis begitu mengkhawatirkan, maka sebaiknya segera ke dokter untuk memeriksakan diri dan mengetahui penyebabnya.
Pemeriksaan enuresis biasanya lebih dianjurkan untuk anak-anak usia 5-7 tahun.
Umumnya, metode diagnosa yang digunakan untuk memastikan penyebab dan kondisi enuresis adalah :
Pemeriksaan fisik selalu menjadi awal metode diagnosa yang diterapkan oleh dokter untuk mengetahui adanya gejala fisik tertentu [1,2].
Dokter pun akan menanyakan kepada pasien seputar riwayat gejala, riwayat medis (penyakit tertentu yang pernah/sedang dialami), dan riwayat pengobatan pasien.
Untuk menegakkan diagnosa, dokter pun akan menanyakan kepada pasien mengenai riwayat kesehatan keluarga pasien.
Enuresis dapat terjadi karena beberapa penyakit tertentu, seperti halnya infeksi maupun diabetes [1,2].
Untuk mengetahui apakah pasien memiliki penyakit diabetes, infeksi saluran kencing, atau efek dari penggunaan obat tertentu, tes urine perlu ditempuh pasien.
Rontgen dan MRI scan adalah dua metode pemeriksaan enuresis yang juga direkomendasikan oleh dokter [1].
Dokter akan melakukan pemindaian pada tubuh pasien agar kondisi ginjal, struktur saluran kemih dan kondisi kandung kemih pasien dapat teridentifikasi.
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes pemindaian dan tes urine merupakan metode diagnosa yang digunakan untuk memastikan kondisi penderita enuresis.
Enuresis pada sebagian besar kasus bukanlah kondisi yang serius sehingga penderita dapat pulih sendiri seiring waktu.
Anak-anak dengan kondisi enuresis umumnya akan pulih seiring bertambahnya usia.
Perubahan pola hidup kerap membantu pasien enuresis pulih dengan baik, namun penanganan medis akan diberikan jika terdapat kondisi medis tertentu yang mendasari enuresis.
1. Pemberian Obat-obatan
Untuk kasus enuresis yang cukup serius, pemberian obat akan dilakukan dokter sesuai dengan kondisi yang menjadi penyebabnya.
Bila masalah utama enuresis adalah otot kandung kemih yang terlalu tegang, maka obat pelemas adalah yang paling diperlukan oleh pasien [1].
Dokter meresepkan obat ini khusus bagi pasien usia anak dengan kandung kemih kecil.
Tujuan obat pelemas otot kandung kemih adalah untuk membuat kontraksi dinding kandung kemih berkurang.
Tak hanya itu, kapasitas kandung kemih yang sedikit akan diperbesar melalui penggunaan obat ini; salah satu contohnya adalah oxybutynin [11].
Desmopressin adalah contoh obat yang kemungkinan besar dokter resepkan bagi anak yang mengalami enuresis nokturnal [1,2,11].
Hanya saja, obat ini tidak dianjurkan penggunaannya bagi pasien anak yang mengalami mual, diare atau demam.
Obat resep ini lebih disarankan untuk anak dengan usia di atas 5 tahun dan digunakan secara oral (obat minum) [1,11].
Pemberian obat pada beberapa kasus enuresis akan dikombinasi dengan terapi perilaku [2].
Efektivitas kedua metode jauh lebih tinggi untuk memulihkan kondisi pasien.
Namun, para pasien dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter mengenai risiko efek samping dari obat-obat yang diresepkan.
2. Terapi Perilaku
Enuresis terkadang tak dapat mereda dengan sendirinya dan hal ini memerlukan perawatan berupa terapi perilaku.
Terapi akan direkomendasikan oleh dokter yang bertujuan sebagai pengubah perilaku pasien, seperti :
3. Perubahan Pola Hidup
Jika enuresis tidak dalam kondisi yang parah dan pasien ingin sekedar membuat frekuensi mengompol berkurang, beberapa perubahan pola hidup ini dapat diterapkan [1,2] :
Bila kondisi enuresis memiliki kaitan dengan kondisi konstipasi atau sleep apnea, konsultasikan dengan dokter mengenai hal ini.
Kondisi konstipasi maupun sleep apnea perlu diatasi terlebih dulu secara tuntas agar frekuensi mengompol dapat berkurang dan berhenti.
Tinjauan Pemberian obat, terapi perilaku dan perubahan pola hidup menjadi bentuk penanganan terbaik untuk sebagian besar kasus enuresis. Meski demikian, enuresis bukan tergolong penyakit serius dan dapat sembuh dengan sendirinya jika bersifat ringan.
Risiko komplikasi enuresis yang paling perlu diwaspadai oleh penderitanya adalah rasa malu dan kehilangan rasa percaya diri [1,2].
Masalah psikologis ini dapat terjadi ketika enuresis terjadi di depan orang lain, apalagi di depan banyak orang.
Rasa bersalah pun akan timbul dalam diri pasien sehingga menutup kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain secara normal [2].
Masalah fisik seperti ruam pada area kelamin dan dubur juga dapat terjadi sebagai salah satu bentuk komplikasi yang berpotensi dialami pasien [1].
Enuresis pada dasarnya merupakan hal yang dapat dicegah dan dikendalikan, terutama untuk anak usia di atas 7 tahun yang masih mengalaminya [1,2,13].
Meski enuresis dapat ditangani dengan pemberian obat, hal ini pun cukup berbahaya bagi kondisi tubuh anak.
Penggunaan obat yang berlebihan untuk menghentikan gangguan mengompolnya dapat membahayakan kesehatan tubuh anak [13].
Maka hindari pula pemberian obat yang cukup sering walau bermaksud sebagai pengendali gangguan mengompolnya.
Tinjauan Enuresis dapat dicegah dengan latihan pengendalian kandung kemih pada anak. Membatasi asupan cairan dan rutin buang air kecil sebelum dan saat terbangun dari tidur sangat penting agar anak tak mengompol lagi.
1. Marcia Wilson & Vikas Gupta. Enuresis. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Marianela Gomez Rincon; Stephen W. Leslie; & Saran Lotfollahzadeh. Nocturnal Enuresis. National Center for Biotechnology Information; 2020.
3. A. C. Bernard-Bonnin. Diurnal enuresis in childhood. Canadian Family Physician; 2000.
4. A-S Goessaert, K Everaert, P Hoebeke, A Kapila, & J Vande Walle. Nocturnal enuresis and nocturia, differences and similarities - lessons to learn? Acta clinica Belgica; 2015.
5. Fitria Primi Astuti & Ida Sofiyanti. Perbedaan Frekuensi Enuresis Sebelum dan Sesudah Pemberian Behavior Modification (Alaram Enuresis). Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes; 2018.
6. I Gusti Ayu Trisna Windiani & Soetjiningsih Soetjiningsih. Prevalensi dan Faktor Risiko Enuresis pada A nak Taman Kanak-Kanak di Kotamadya Denpasar. Sari Pediatri; 2008.
7. S. Jonat, R. Santer, R. Schneppenheim, T. Obser, & P. Eggert. Effect of DDAVP on nocturnal enuresis in a patient with nephrogenic diabetes insipidus. Archives of Disease in Childhood; 1999.
8. Michele Roccella, Daniela Smirni, Pietro Smirni, Francesco Precenzano, Francesca Felicia Operto, Valentina Lanzara, Giuseppe Quatrosi, & Marco Carotenuto. Parental Stress and Parental Ratings of Behavioral Problems of Enuretic Children. Frontiers in Neurology; 2019.
9. Carol Joinson, PhD, Sarah Sullivan, PhD, Alexander von Gontard, MD, PhD, & Jon Heron, PhD. Stressful Events in Early Childhood and Developmental Trajectories of Bedwetting at School Age. Journal of Pediatric Psychology; 2016.
10. Tryggve Nevéus. Nocturnal enuresis—theoretic background and practical guidelines. Pediatric Nephrology; 2011.
11. Kambiz Ghasemi, Maryam Esteghamati, Malihe Mohammadzadeh, & Shahram Zare. Desmopressin versus Oxybutynin for Nocturnal Enuresis in Children in Bandar Abbas: A Randomized Clinical Trial. Electronic Physician; 2016.
12. Rajiv Sinha & Sumantra Raut. Management of nocturnal enuresis - myths and facts. World Journal of Nephrology; 2016.
13. P C Friman. A preventive context for enuresis. Pediatric Clinics of North America; 1986.
14. John Michael DiBianco, Chad Morley, & Osama Al-Omar. Nocturnal enuresis: A topic review and institution experience. Avicenna Journal of Medicine; 2014.