Daftar isi
Intoleransi laktosa merupakan sebuah kondisi masalah pencernaan yang ditandai dengan sering buang angin, perut kembung dan diare karena gangguan pencernaan laktosa [1,2,3,4,5,10].
Ketika tubuh tak mampu mencerna laktosa dengan baik, beberapa gejala gangguan pada pencernaan pun timbul [5,10].
Umumnya, intoleransi laktosa terjadi usai mengonsumsi minuman atau makanan berkandungan laktosa [1,2,3,4,5,6,7,8,10].
Contoh makanan atau minuman berlaktosa adalah produk olahan susu (termasuk susu itu sendiri) [1,2,3,4,5,10].
Tinjauan Intoleransi laktosa adalah sebuah kondisi pencernaan di mana tubuh tak mampu mencerna laktosa (sejenis gula yang terkandung pada susu dan olahannya) sehingga menimbulkan sejumlah gejala seperti buang angin, diare, dan perut kembung.
Intoleransi laktosa terjadi ketika enzim laktase tidak terproduksi secara memadai oleh usus halus [1,2,3,4].
Padahal, enzim laktase merupakan kebutuhan tubuh untuk dapat menjalankan proses pencernaan laktosa.
Fungsi enzim laktase adalah mengubah gula (laktosa) menjadi dua gula sederhana [1,2,3,4,5].
Dua gula sederhana yang dimaksud adalah galaktosa dan glukosa yang kemudian terserap ke dalam aliran darah melalui lapisan usus [1,2,3,4,5].
Jika tubuh seseorang mengalami kekurangan laktase, makanan dan minuman berlaktosa yang masuk ke dalam tubuh tidak akan terproses apalagi terserap dengan baik [1,2,3,4,5,6,7,10].
Laktosa hanya akan pindah ke usus besar dan di sana bakteri normal yang berinteraksi dengan laktosa yang tak tercerna akan menimbulkan gejala gangguan pencernaan [5,10].
Penyebab intoleransi laktosa sendiri pun terbagi menjadi tiga jenis kondisi, yaitu intoleransi laktosa kongenital (bawaan), primer, dan sekunder [1,2,3,4,5].
Intoleransi laktosa kongenital adalah sebuah kondisi yang langka namun tetap tidak menutup kemungkinan untuk dapat terjadi [1,3,4,5].
Pada kasus ini, bayi lahir dengan intoleransi laktosa karena kekurangan laktase di mana faktor genetik berperan besar dalam hal ini [1].
Terdapat pola warisan resesif autosom yang menjadi penyebab kelainan bawaan ini bisa terjadi pada sang bayi [1,4,5].
Artinya, bayi mewarisi kondisi intoleransi laktosa dari kedua orang tuanya karena gen abnormal yang dimiliki oleh ayah dan/atau ibunya.
Kadar laktase juga lebih rendah pada bayi-bayi yang lahir secara prematur sehingga berpotensi mengalami intoleransi laktosa [1,4].
Intoleransi laktosa primer merupakan jenis kondisi intoleransi laktosa yang paling banyak dijumpai [1,2,3].
Kasus ini adalah yang paling umum dan terjadi pada bayi atau balita di mana kadar enzim laktase menurun karena asupan susu diganti dengan makanan lain [1,4].
Namun walau terjadi penurunan kadar enzim laktase, enzim di dalam tubuh sang anak masih cukup tinggi untuk mencerna produk-produk olahan susu seperti pada diet yang dijalani oleh orang dewasa [1,4].
Pada orang dewasa, intoleransi laktosa primer terjadi ketika produksi laktase menurun drastis [1].
Hal ini mengakibatkan proses pencernaan untuk makanan dan minuman olahan susu menjadi sulit [1].
Pada kasus intoleransi laktosa sekunder, produksi laktase oleh usus halus menurun karena efek cedera, penyakit tertentu atau efek operasi pada organ pencernaan [1,2,3,4,5].
Umumnya, penyakit yang mampu menjadi pemicu intoleransi laktosa sekunder adalah penyakit Celiac, Penyakit Crohn, pertumbuhan bakteri dalam pencernaan yang berlebihan, serta infeksi usus [1,2,3,4,5].
Tinjauan Penyebab intoleransi laktosa terbagi menjadi tiga jenis kondisi, yakni intoleransi laktosa kongenital (bawaan dari lahir karena pengaruh genetik yang membuat janin kekurangan laktase), intoleransi laktosa primer (enzim laktase berkurang karena asupan susu diganti makanan lain), serta intoleransi laktosa sekunder (terjadi karena faktor penyakit tertentu, efek obat atau tindakan medis).
Selain beberapa kondisi intoleransi laktosa di atas, sejumlah faktor di bawah ini pun mampu meningkatkan risiko intoleransi laktosa pada anak :
Tinjauan Faktor etnis, kelahiran prematur bayi, penyakit tertentu, dan pengobatan kanker sangat mampu meningkatkan risiko intoleransi laktosa.
Intoleransi laktosa baru menunjukkan gejalanya sekitar 30 menit hingga 1-2 jam usai seseorang mengonsumsi makanan atau minuman berlaktosa [1,4].
Sejumlah gejala umum intoleransi laktosa yang perlu dikenali dan diwaspadai adalah [1,2,3,4] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Segera periksakan diri ke dokter apabila anak atau diri Anda sendiri mulai mengeluhkan sejumlah gejala yang telah disebutkan di atas.
Bila gejala timbul terutama tak lama dari konsumsi produk olahan susu, temui dokter agar kondisi dapat dipastikan secepatnya.
Gejala intoleransi laktosa memiliki kemiripan dengan gejala gangguan pencernaan lain, seperti penyakit Celiac, IBS (irritable bowel syndrome), hingga alergi protein susu sapi.
Oleh karena itu, memastikannya dengan menjalani pemeriksaan medis dan berkonsultasi dengan dokter ahli gizi dapat membantu menangani gejala dengan tepat.
Tinjauan Intoleransi laktosa umumnya menimbulkan sejumlah gejala gangguan pencernaan seperti mual, diare, muntah (kadang-kadang), sering buang angin, perut terasa penuh karena kembung, hingga kram perut.
Untuk dapat memastikan gejala benar mengarah pada intoleransi laktosa dan bukan pada penyakit lain serta memberikan penanganan terbaik, beberapa metode pemeriksaan ini dapat pasien tempuh.
Seperti pada umumnya, dokter mengawali pemeriksaan dengan memeriksa fisik pasien dan mendeteksi apa saja gejala yang dialami, terutama pada area perut pasien [1].
Dokter juga akan menggali informasi terkait riwayat medis pasien maupun keluarga pasien [1].
Dokter pun kemungkinan besar menanyakan tentang riwayat pola diet pasien untuk menegakkan diagnosa [1].
Tes kadar hidrogen diawali dengan pasien yang harus berpuasa lebih dulu selama beberapa jam sebelum tes [1,2,3,5,6,7].
Kemudian dokter meminta pasien untuk mengonsumsi minuman berlaktosa tinggi untuk setelah itu langsung diperiksa [6,7].
Pemeriksaan berupa pengukuran kadar hidrogen dalam napas pasien selama beberapa jam 15 menit sekali [7].
Dokter dapat mendiagnosa intoleransi laktosa pada pasien apabila hasil pengukuran kadar hidrogen dalam napas ternyata tinggi [1,6,7].
Tingginya kadar hidrogen disebabkan oleh gangguan proses pencernaan laktosa sehingga laktosa justru berfermentasi di usus besar pasien [1,6,7].
Pada prosedur ini, dokter lebih dulu meminta pasien mengonsumsi minuman berkandungan laktosa tinggi [1,2,3,5].
2 jam kemudian dokter baru akan mengambil sampel darah pasien untuk dianalisa dan mengidentifikasi kadar glukosa darah pasien [1,3].
Intoleransi laktosa dapat terdeteksi ketika tidak terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah pasien [1,2,3,5].
Sebab itu artinya proses penyerapan laktosa oleh tubuh pasien tidak normal atau mengalami gangguan [1].
Bagi bayi atau anak-anak dengan gejala intoleransi laktosa, prosedur pemeriksaan ini adalah yang paling direkomendasikan [1,2].
Proses diagnosa melalui tes lain dianggap cukup sulit apabila harus ditempuh oleh bayi dan anak-anak, oleh sebab itu tes ini paling baik.
Tes ini pada dasarnya adalah melakukan pengukuran kadar asam laktat pada sampel feses pasien [1,2].
Pembentukan asam laktat ini umumnya terjadi dari proses laktosa yang berfermentasi karena tak dapat diserap oleh tubuh [1].
Bila pada feses terdapat kandungan asam laktat, maka dokter dapat mendiagnosa pasien dengan intoleransi laktosa [1].
Prosedur pemeriksaan dengan biopsi sangat jarang diterapkan karena merupakan tes invasif [1].
Pasien hanya akan diminta menjalani tes ini ketika tes lainnya belum mampu memberikan hasil diagnosa yang pasti.
Pengambilan dan analisa sampel jaringan usus halus dilakukan hanya ketika dokter perlu mengeliminasi beberapa kondisi lain yang memiliki gejala serupa dengan intoleransi laktosa [1,2].
Tinjauan Metode diagnosa untuk memastikan kondisi intoleransi laktosa pada pasien adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes kadar hidrogen, tes toleransi laktosa, tes keasaman feses, dan biopsi usus halus.
Pada kasus intoleransi laktosa sekunder, berbagai kondisi yang memicu intoleransi laktosa perlu diatasi agar gejala intoleransi laktosa mereda.
Namun umumnya, penanganan gejala intoleransi laktosa melalui dua metode, yakni perubahan pola diet dan pemberian suplemen oleh dokter.
Dalam menangani kondisi intoleransi laktosa, dokter paling menyarankan agar pasien mengubah pola dietnya [1,2,3,4,5,6,7,8].
Membatasi asupan produk olahan susu dan berbagai makanan dan minuman berlaktosa lainnya adalah yang utama.
Beberapa pantangan untuk penderita intoleransi laktosa yang dimaksud antara lain adalah [1,4,6,8] :
Bagaimana memperoleh kalsium selain dari susu dan produk olahannya?
Beberapa makanan tinggi kalsium seperti brokoli, kale, ikan makarel, dan ikan sarden dapat tetap dikonsumsi [8].
Perolehan kalsium tidak selalu harus dari susu, terutama bagi penderita intoleransi laktosa.
Namun agar tidak terjadi kesalahan, melakukan konsultasi dengan dokter ahli gizi sangat dianjurkan.
Sebagai penambah kadar enzim laktase yang tak memadai di dalam tubuh, dokter akan memberikan suplemen laktase [1,3,4,5].
Suplemen ini mengandung laktase yang berfungsi membantu memecah laktosa dari susu dan produk olahannya yang pasien konsumsi [1].
Suplemen ini diberikan dalam dua bentuk, suplemen tetes atau suplemen tablet [1].
Apakah prognosis intoleransi laktosa baik?
Ya, prognosis intoleransi laktosa tergolong sangat bagus [1].
Meski terdapat beberapa risiko komplikasi akibat intoleransi laktosa, kondisi komplikasi sangat jarang terjadi [1].
Rata-rata pasien intoleransi laktosa pulih dengan baik melalui perubahan pola diet [1].
Tinjauan Perubahan pola diet (membatasi dan menghindari makanan/minuman berlaktosa) serta pemberian suplemen laktase oleh dokter merupakan metode penanganan untuk pasien intoleransi laktosa.
Asupan susu dan produk olahannya pada dasarnya sangat penting bagi tubuh manusia.
Kandungan nutrisi seperti protein, kalsium, vitamin D, vitamin A, dan vitamin B12-nya sangat diperlukan oleh tubuh [9].
Sementara itu, laktosa yang terkandung di dalam susu dan produk olahannya membantu agar mineral seperti zinc dan magnesium terserap oleh tubuh secara maksimal [10].
Namun ketika seseorang mengalami intoleransi laktosa, kebutuhan tubuh terhadap nutrisi-nutrisi tersebut tak dapat terpenuhi.
Sebagai akibatnya, beberapa kondisi komplikasi sebagai berikut dapat terjadi :
Tinjauan Beberapa risiko komplikasi intoleransi laktosa yang perlu diwaspadai adalah penurunan berat badan, malnutrisi, osteoporosis dan osteopenia.
Belum diketahui cara pasti dalam mencegah intoleransi laktosa agar tidak terjadi sama sekali.
Namun untuk meminimalisir risiko komplikasinya, segera batasi atau hindari makanan maupun minuman berlaktosa.
Dengan menghindari makanan dan minuman tersebut, penderita dapat menghindari gejala intoleransi laktosa [1,2,3,4,5,6,7,8].
Tinjauan Belum ada cara mencegah intoleransi laktosa, namun bila menyadari bahwa diri memiliki kondisi ini, batasi makanan/minuman berlaktosa tinggi.
1. Talia F. Malik & Kiran K. Panuganti. Lactose Intolerance. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Febyan, Sri Handawati Wijaya, Sinsanta Ho, & Johannes Hudyono. Berbagai Pemeriksaan Penunjang Terkini untuk Diagnosis Intoleransi Laktosa. Jurnal Kedokteran Meditek; 2016.
3. Yanyong Deng, Benjamin Misselwitz, Ning Dai, & Mark Fox. Lactose Intolerance in Adults: Biological Mechanism and Dietary Management. Nutrients; 2015.
4. Ralf G. Heine, Fawaz AlRefaee, Prashant Bachina, Julie C. De Leon, Lanlan Geng, Sitang Gong, José Armando Madrazo, Jarungchit Ngamphaiboon, Christina Ong, & Jossie M. Rogacion. Lactose intolerance and gastrointestinal cow’s milk allergy in infants and children – common misconceptions revisited. World Allergy Organization Journal; 2017.
5. Rejane Mattar, Daniel Ferraz de Campos Mazo, & Flair José Carrilho. Lactose intolerance: diagnosis, genetic, and clinical factors. Clinical and Experimental Gastroenterology; 2012.
6. Satya Vati Rana & Aastha Malik. Hydrogen Breath Tests in Gastrointestinal Diseases. Indian Journal of Clinical Biochemistry; 2014.
7. Jian-Feng Yang, Mark Fox, Hua Chu, Xia Zheng, Yan-Qin Long, Daniel Pohl, Michael Fried, & Ning Dai. Four-sample lactose hydrogen breath test for diagnosis of lactose malabsorption in irritable bowel syndrome patients with diarrhea. World Journal of Gastroenterology; 2015.
8. Peter Burckhardt. Calcium revisited, part III: effect of dietary calcium on BMD and fracture risk. Bonekey Reports; 2015.
9. Hanna Górska-Warsewicz, Krystyna Rejman, Wacław Laskowski, & Maksymilian Czeczotko. Milk and Dairy Products and Their Nutritional Contribution to the Average Polish Diet. Nutrients; 2019.
10. Andrew Szilagyi & Norma Ishayek. Lactose Intolerance, Dairy Avoidance, and Treatment Options. Nutrients; 2018.