Daftar isi
Sindrom Fragile X merupakan jenis kondisi kelainan genetik pada anak yang ditandai dengan terlambatnya perkembangan mental fisik anak [1,2,3].
Tidak hanya itu, sindrom fragile X juga merupakan keadaan di mana anak tak mampu belajar dengan normal serta berinteraksi seperti anak-anak lain seusianya [1,2,3].
Hal ini pun termasuk gangguan perilaku dan dapat berkembang menjadi kondisi kronis jika tidak ada penanganan untuk mengendalikan gejala [1,2,3].
Penyebab utama dari sindrom fragile X adalah adanya perubahan atau mutasi gen [1,2,3].
Gen yang ada pada kromosom X, yakni gen FMR1 (Fragile X Mental Retardation 1) mengalami mutasi, padahal kromosom X endiri adalah kromosom seks [1,2,3].
Terdapat dua kromosom X di dalam tubuh perempuan dan hanya satu di dalam tubuh laki-laki [4].
Jadi jika dalam tubuh perempuan ada satu kromosom Y dan dua kromosom X, maka laki-laki hanya memiliki masing-masing satu, satu kromosom Y dan satu kromosom X [4].
Hal tersebut menjadi alasan utama mengapa anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom fragile X [4].
Karena anak perempuan memiliki kromosom X lebih dari satu, maka ketika satu mengalami kelainan, masih ada kromosom X lainnya yang berada dalam kondisi normal [4].
Hanya saja, faktor penyebab mutasi gen FMR1 hingga kini belum diketahui secara jelas [1,2,3].
Namun saat mutasi gen tersebut terjadi, protein FMR (FMRP) yang berperan penting untuk pembentukan dan fungsi otak menjadi tidak terproduksi secara sempurna [1,2,3].
Tubuh kemungkinan hanya menghasilkan sedikit protein tersebut atau bahkan tak mampu memroduksinya sama sekali karena mutasi gen [1,2,3].
Protein yang sedikit atau tidak ada pada akhirnya menyebabkan penyimpangan sinyal otak dan memicu timbulnya gejala-gejala sindrom fragile X [1,2,3].
Protein FMR sendiri sangat vital, sebab dengan keberadaan protein ini secara memadai akan membantu membentuk interaksi antara sel otak serta sistem saraf sekaligus menjaganya dengan baik [1,2,3].
Gejala sindrom fragile X baru akan terlihat saat bayi baru lahir. Namun, ada pula pada beberapa kasus di mana gejala baru nampak ketika anak menginjak remaja [1,2,3].
Berikut ini adalah gejala-gejala umum pada sindrom fragile X yang perlu diwaspadai oleh para orang tua [1,2,3] :
Selain dari gejala-gejala tersebut, tanda sindrom fragile X juga nampak dari fisik penderitanya, yaitu antara lain [1,2,3] :
Untuk memastikan bahwa tanda kelainan pada bayi atau anak merupakan sindrom fragile X, diperlukan adanya pemeriksaan medis.
Berikut ini adalah beberapa metode untuk memastikan kondisi pasien dan menentukan penanganan yang tepat.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan dokter untuk mengecek tanda-tanda gejala fisik pada pasien yang mengarah pada sindrom fragile X [1,2].
Dokter pun perlu mengetahui apakah keluarga pasien memiliki riwayat medis kelainan genetik serupa [1,2].
Bentuk pemeriksaan lain yang dokter akan lakukan adalah tes DNA FMR1 melalui pengambilan sampel darah lebih dulu dari tubuh pasien [1,2,3].
Tes DNA FMR1 ini bertujuan utama mengetahui adanya perubahan atau mutasi pada gen FMR1 [1,2,3].
Dari tes DNA ini akan terdeteksi adanya kelainan; tes hanya bisa diterapkan ketika bayi sudah lahir atau anak sudah lewat dari masa pubertasnya [1,2,3].
Deteksi adanya kelainan genetik di masa kehamilan atau saat janin masih di dalam perut sebenarnya bisa dilakukan [1,2,3].
Terdapat 2 jenis pemeriksaan DNA selama hamil yang bisa para wanita tempuh, yakni amniosentesis dan CVS (chorionic villus sampling) [5,6].
Amniosentesis adalah pemeriksaan dengan cara mengambil sampel cairan ketuban pasien supaya mutasi gen FMR1 bisa terdeteksi lebih mudah [6].
Amniosentesis sangat dianjurkan bagi ibu hamil yang usia kehamilannya masuk 15-18 minggu [6].
Sementara itu, CVS (chorionic villus sampling) adalah prosedur pemeriksaan laboratorium dengan mengambil lebih dulu sampel jaringan plasenta supaya adanya mutasi gen FMR1 bisa terdeteksi [5].
CVS biasanya dilakukan lebih dulu daripada amniosentesis sebab tes ini dianjurkan bagi ibu hamil dengan usia kandungan 10-12 minggu [5].
Belum ada pengobatan yang mampu menyembuhkan penderita sindrom fragile X [1,2,3].
Penanganan yang diberikan kepada penderita bertujuan untuk meredakan gejala dan membantu pasien untuk menjalani hidup secara normal seiring tumbuh kembangnya [1,2,3].
Berikut ini merupakan bentuk penanganan yang penderita sindrom fragile X peroleh pada umumnya.
Bagaimana prognosis sindrom fragile X?
Prognosis sindrom fragile X cukup baik dan penderita memiliki harapan hidup yang secara umum normal walaupun lebih rendah apabila dibandingkan populasi pada umumnya [10].
Meskipun memiliki kekurangan pada penampilan fisik dan intelektualnya, banyak anak penderita sindrom ini tumbuh dengan baik [10].
Mereka bahkan rata-rata mempunyai gaya hidup yanga aktif seperti rata-rata anak pada umumnya dengan kondisi kesehatan yang juga tergolong baik [10].
Hanya saja, terdapat beberapa anak penderita sindrom fragile X yang juga lebih rentan terhadap penyakit tertentu selama hidupnya, seperti mengalami kejang atau terkena infeksi telinga [10].
Meski penderita sindrom fragile X tetap dapat bertahan hidup dan menjalani kehidupan secara normal dan aktif, tetap terhadap beberapa risiko komplikasi kesehatan yang perlu diketahui [11].
Sejumlah risiko komplikasi yang dimaksud antara lain adalah [11] :
Karena merupakan penyakit genetik, maka tidak ada cara untuk sama sekali menghindari sindrom fragile X.
Belum ada langkah pencegahan untuk kasus sindrom fragile X ini, namun para ibu hamil dapat melakukan pemeriksaan genetik seperti tes DNA untuk mengantisipasi adanya kelainan pada janin [5,6].
Konsultasikan dengan dokter melalui sesi konseling genetik jika terdapat risiko kelainan berupa sindrom fragile X supaya dokter mengerti penanganan apa yang terbaik bagi sang ibu dan janin.
Sebagai peminimalisir risiko komplikasi, gejala perlu terdeteksi dan tertangani sedini mungkin.
1. William L. Stone; Hajira Basit; & Evan Los. Fragile X Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Wilmar Saldarriaga, Flora Tassone, Laura Yuriko González-Teshima, Jose Vicente Forero-Forero, Sebastián Ayala-Zapata, & Randi Hagerman. Fragile X Syndrome. Colombia Médica; 2014.
3. Alana Biggers, M.D., MPH & Jacquelyn Cafasso. Everything You Need to Know About Fragile X Syndrome. Healthline; 2018.
4. Isha Pathak & Bruno Bordoni. Genetics, Chromosomes. National Center for Biotechnology Information; 2021.
5. Julie F Gutiérrez, BS, Komal Bajaj, MD, FACOG, FACMG, & Susan D Klugman, MD, FACOG, FACMG. Prenatal Screening for Fragile X: Carriers, Controversies, and Counseling. Reviews in Obstetrics and Gynecology; 2013.
6. J Kallinen, S Heinonen, A Mannermaa, & M Ryynänen. Prenatal diagnosis of fragile X syndrome and the risk of expansion of a premutation. Clinical Genetics; 2000.
7. Seunghoon Lee, Jinyoung Won, Sookyoung Park, Sang-Rae Lee, Kyu-Tae Chang, Joo-Heon Kim & Yonggeun Hong. Beneficial effect of interventional exercise on autistic Fragile X syndrome. The Journal of Physical Therapy Science; 2017.
8. Scott S. Hall. Treatments for Fragile X Syndrome: A Closer Look at the Data. HHS Public Access; 2010.
9. S F Slaney, A O Wilkie, M C Hirst, R Charlton, M McKinley, J Pointon, Z Christodoulou, S M Huson, & K E Davies. DNA testing for fragile X syndrome in schools for learning difficulties. Archives of Disease in Childhood; 1995.
10. National Center for Advancing Translational Sciences. Fragile X syndrome. Genetic and Rare Diseases Information Center (GARD); 2020.
11. Boston Children's Hospital. Fragile X Syndrome. Boston Children's Hospital; 2021.