Penyakit & Kelainan

Sindrom Rotor : Penyebab – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Sindrom Rotor merupakan suatu penyakit langka dimana terjadi peningkatan bilirubin di dalam darah. Billirubin dihasilkan ketika sel darah merah dipecah. Bilirubin berwarna kekuningan, sehingga penumpukkan

Apa Itu Sindrom Rotor?

Sindrom Rotor merupakan sebuah kondisi ketika bilirubin (pigmen kuning yang timbul saat penghancuran sel darah merah) mengalami peningkatan [1,2,6].

Kadar bilirubin yang meningkat biasanya ditandai dengan menguningnya bagian putih mata maupun kulit [1,2,6].

Istilah lain untuk menyebut kondisi sindrom ini adalah hiperbilirubinemia tipe Rotor [1].

Sindrom Rotor sendiri pun merupakan sebuah penyakit langka yang bersifat autosomal resesif [1,2,6].

Sindrom ini memang tergolong penyakit ringan walaupun menimbulkan kondisi jaundice pada penderitanya [1].

Namun meski umumnya penderita tidak memerlukan penanganan khusus, sebaiknya tetap mewaspadai berbagai gejala yang ditimbulkan [1,6].

Tinjauan
Sindrom Rotor adalah sebuah kondisi langka bersifat autosomal resesif di mana bilirubin mengalami peningkatan kadar sehingga penderitanya mengalami jaundice.

Fakta Tentang Sindrom Rotor

  1. Sindrom Rotor dideskripsikan atau dijumpai pertama kali pada tahun 1948 dan sejak saat itu laporan kasus sindrom ini mulai bermunculan di seluruh dunia [1].
  2. Jika Crigler-Najjar tipe 1 merupakan penyakit genetik paling langka pertama karena hiperbilirubinemia, maka Sindrom Rotor menduduki posisi kedua [1].
  3. Sindrom Rotor dapat dialami oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, peluang pria maupun wanita sama besar dalam mengalami sindrom ini [1].
  4. Gejala sindrom Rotor cenderung mulai nampak sesaat setelah seorang bayi lahir atau selama masa kanak-kanak [1].

Penyebab Sindrom Rotor

Sindrom Rotor merupakan sebuah penyakit genetik atau penyakit keturunan yang disebabkan oleh mutasi gen [1,2].

Terdapat da gen yang dapat mengalami perubahan atau mutasi sehingga menyebabkan sindrom Rotor, yakni gen SLCO1B1 dan SLCO1B3 [1,2].

Normalnya, kedua gen tersebut berperan sebagai penghasil protein khusus (OATP1B1 dan OATP1B3) yang membawa bilirubin menuju hati [2,3].

Bilirubin yang sudah terkirim ke organ hati lalu dibawa menuju saluran pencernaan dan ginjal [2,3].

Setelah sampai di kedua organ tersebut, bilirubin kemudian dibuang atau dikeluarkan dari tubuh [2,3].

Bila kedua gen ini bermutasi, bilirubin akan gagal dibawa ke saluran pencernaan dan ginjal untuk dibuang [2,3].

Sebagai akibatnya, kadar bilirubin meningkat lalu terakumulasi di dalam tubuh karena produksinya terus berjalan namun tidak dapat dikeluarkan [1,2,3].

Tinjauan
Penyebab utama sindrom Rotor adalah mutasi pada gen SLCO1B1 dan SLCO1B3 yang mengakibatkan penumpukan bilirubin yang tak bisa dikeluarkan dari tubuh.

Gejala Sindrom Rotor

Gejala utama yang timbul karena sindrom Rotor adalah jaundice atau ikterus [1,2,3,4].

Bilirubin yang kadarnya meningkat lalu terakumulasi mengakibatkan perubahan warna kuning pada kulit serta bagian putih mata [1,2,3,4].

Hanya saja, selain itu terdapat sejumlah gejala lain yang perlu dikenali akibat berlebihannya kadar bilirubin di dalam tubuh, yakni [1,2,4] :

  • Demam
  • Mual disertai muntah
  • Nyeri pada perut
  • Nyeri dada
  • Warna urine yang pekat dan gelap
  • Tubuh lebih cepat lelah
  • Tubuh lemas
  • Asites (cairan menumpuk pada bagian rongga perut)
Tinjauan
Gejala utama sindrom Rotor adalah jaundice (menguningnya kulit dan bagian putih mata), namun mual, muntah, kelelahan, nyeri dada dan perut, urine gelap, dan asites dapat ikut terjadi.

Pemeriksaan Sindrom Rotor

Ketika serangkaian gejala yang telah disebutkan mulai terjadi, pastikan untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Berbagai metode pemeriksaan yang perlu pasien tempuh untuk memastikan bahwa gejala merujuk pada sindrom Rotor adalah :

  • Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan

Pemeriksaan fisik adalah diagnosa yang dokter lakukan di awal untuk mengecek adanya pembengkakan pada perut maupun kondisi jaundice [2,5].

Selain itu, dokter pun menanyakan kepada pasien terkait riwayat medis.

Dokter kemungkinan juga perlu mengetahui riwayat kesehatan keluarga pasien agar dapat mengetahui apakah kondisi pasien berhubungan dengan faktor genetik.

  • HIDA Scan

Untuk menegakkan diagnosa, salah satu tes lanjutan yang pasien dapat tempuh adalah HIDA scan [2,3,6].

Prosedur pemeriksaan ini bertujuan utama mengecek kondisi kandung empedu pasien beserta saluran pempedu dan juga organ hati.

Dokter biasanya memanfaatkan USG atau sinar-X dalam menerapkan metode diagnosa ini setelah menyuntikkan zat radioaktif terlebih dulu ke tubuh pasien.

Zat radioaktif ini adalah zat penting yang akan membantu agar gambar hasil pemeriksaan terlihat lebih jelas untuk proses evaluasi.

  • Tes Darah dan Tes Urine

Tes darah sangat diperlukan sebagai tes penunjang dalam mengukur kadar bilirubin dalam darah [1,6].

Tinggi, normal atau rendahnya kadar bilirubin dalam darah dapat diketahui melalui tes darah [1,6].

Sementara untuk mengetahui kadar bilirubin dalam urine, pasien perlu menempuh tes urine sesuai dengan permintaan dokter [1,6].

Tinjauan
Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, HIDA scan, tes darah dan tes urine merupakan metode diagnosa yang digunakan untuk memeriksa sindrom Rotor.

Perbedaan Sindrom Rotor dari Kondisi Lain dengan Gejala Serupa

Kondisi sindrom Rotor kerap dianggap mirip dengan beberapa kondisi lain karena keserupaan gejala, terutama pada kasus jaundice.

Beberapa gangguan kesehatan lain yang dapat menyebabkan salah diagnosa pada sindrom Rotor adalah [1] :

1. Sirosis

Jaringan parut pada jaringan atau organ hati dapat menyebabkan organ vital ini rusak dan kerusakan hati inilah yang disebut dengan sirosis.

Penderita tidak merasakan gejala apapun di awal, namun bila tingkat keparahan bertambah, penderita akan mengalami mual, muntah, kehilangan nafsu makan, lemas, pembesaran perut, muntah darah, dan jaundice.

2. Penyakit Wilson

Penyakit Wilson adalah sebuah kondisi kerusakan organ hati serta otak akibat penyakit keturunan yang berpola autosomal resesif ini.

Kelainan genetik ini ditandai dengan penumpukan mineral tembaga dan kemudian menimbulkan kelelahan pada tubuh disertai jaundice.

3. Hepatitis Autoimun

Hepatitis autoimun adalah peradangan pada organ hati kronis yang disebabkan oleh gangguan autoimun.

Sistem imun dalam kasus ini mengalami gangguan dan keabnormalan sehingga justru menyerang sel-sel hati yang sehat.

Jaundice hingga pembengkakan hati dapat terjadi sebagai gejalanya.

4. Hemolisis

Hemolisis merupakan kondisi membran sel darah yang rusak sehingga komponen-komponen intraseluler dalam tubuh (seperti hemoglobin) terlepas ke cairan yang ada di sekelilingnya.

Selain sel darah yang rusak, penyebab hemolisis meliputi kerusakan enzim hingga keabnormalan hemoglobin.

5. Sindrom Crigler-Najjar Tipe 1 dan 2

Sindrom Crigler-Najjar merupakan sebuah kondisi di mana kadar bilirubin sangat tinggi di dalam darah.

Penyakit keturunan ini ditandai dengan jaundice, penurunan nafsu makan, kelelahan fisik dan mental, linglung, dan muntah-muntah.

Perbedaannya dari sindrom Rotor adalah hanya ada satu gen yang mengalami mutasi sehingga menyebabkan sindrom ini, yaitu gen UGT1A1.

6. Sindrom Gilbert

Sindrom Gilbert adalah kondisi peningkatan kadar bilirubin indirek sehingga terlalu berlebihan di dalam tubuh.

Sindrom yang merupakan penyakit turunan ini menimbulkan gejala penyakit kuning sebagai yang paling utama.

Namun biasanya, gejala lain seperti penurunan nafsu makan, diare, nyeri perut, kelelahan ekstrem dan rasa mual turut menyertai.

7. Sindrom Dubin-Johnson

Sindrom Dubin-Johnson adalah sebuah kondisi kadar bilirubin yang terlalu tinggi di dalam tubuh akibat kelainan genetik.

Kondisi langka ini lebih rentan dialami oleh orang-orang keturunan Yahudi dan Iran walaupun di beberapa daerah Asia terdapat laporan kasus ini.

Sindrom ini terjadi hanya pada orang-orang yang membawa kromosom abnormal yang ia warisi dari ayah ibunya.

8. Hemokromatosis

Hemokromatosis merupakan sebuah kondisi peningkatan kadar zat besi secara berlebihan di dalam tubuh.

Jika penimbunan zat besi ini tidak segera mendapat penanganan, gagal jantung dapat menjadi salah satu akibat fatalnya.

9. Hepatitis Virus

Hepatitis virus adalah peradangan pada organ hati yang disebabkan oleh infeksi virus.

Penyakit menular ini dapat menimbulkan gejala berupa kuningnya kulit serta bagian putih mata (jaundice).

10. Kolestasis

Kolestasis adalah sebuah kondisi gangguan pada organ hati yang terjadi pada masa kehamilan.

Pada kasus seperti ini, seorang ibu hamil dapat mengalami melambatnya cairan pencernaan dari hati.

Terjadi penumpukan garam empedu di dalam tubuh penderita sehingga hal ini menimbulkan gejala berupa rasa gatal tak tertahankan di sekujur tubuh.

11. Hepatotoksisitas

Hepatotoksisitas adalah sebuah kondisi rusaknya sel-sel organ hati yang disebabkan oleh zat berbahaya dan bersifat racun.

Secara umum, penyebab dari hepatotoksisitas justru adalah penggunaan obat anti tuberkulosis.

Oleh sebab itu, penderita TBC lebih rentan menderita kondisi ini karena efek obat anti tuberkulosis yang dikonsumsi.

12. Defisiensi Alpha-1-Antitrypsin

Penyebab utama defisiensi alpha-1-antitrypsin adalah ketiadaan protein alfa-1-antitrypsin di dalam tubuh karena faktor genetik.

Penyakit keturunan ini akan menimbulkan gejala pada penderitanya saat usia di antara 20-50 tahun.

Tanda utama penyakit ini adalah gangguan pada hati serta paru-paru.

Pengobatan Sindrom Rotor

Sindrom Rotor tidak memerlukan penanganan khusus karena secara umum kondisi ini bersifat ringan dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan [1,6].

Sindrom ini sama sekali tidak memengaruhi harapan hidup penderitanya walau jaundice merupakan gejala utama [1].

Jaundice tidak terlalu berbahaya dan tidak akan mengakibatkan kematian pada penderita.

Bila pun penderita memerlukan penanganan, tujuan perawatan hanya agar gejala dapat mereda dengan baik.

Beberapa pengobatan yang pasien bisa dapatkan tergantung dari keluhan gejala yang mengganggu seperti di bawah ini [7,8] :

  • Paracetamol untuk menurunkan demam.
  • Furosemide dan/atau spironolactone, yakni obat golongan diuretik yang bermanfaat mengatasi asites.

Obat-obatan yang digunakan oleh pasien tentunya harus sesuai dengan resep dokter dan di bawah pengawasan dokter.

Dokter biasanya juga akan meresepkan obat sesuai dengan kondisi pasien, namun pasien bisa mencoba mengonsultasikannya lebih lanjut dengan dokter.

Pasien perlu menghindari penggunaan obat tanpa resep dokter karena dosis yang tidak tepat dapat membuat gejala memburuk.

Tinjauan
Sindrom Rotor umumnya tidak memerlukan penanganan apapun. Namun jika penderita memerlukannya, biasanya hanya sebagai penurun demam (dengan paracetamol, jenis acetaminophen) dan diuretik untuk mengatasi asites.

Komplikasi Sindrom Rotor

Sindrom Rotor bukan jenis kondisi yang berbahaya apalagi mengancam jiwa penderitanya.

Harapan hidup penderita pun sangat baik dan bahkan dapat dikatakan tidak terpengaruh.

Namun dengan ketiadaan protein hepatik seperti OATP1B1 dan OATP1B3, kondisi hati dapat sedikit banyak terpengaruh [1].

Karena proses detoksifikasi obat di dalam tubuh dilakukan oleh OATP1B1, proses detoksifikasi obat yang masuk ke dalam tubuh akan terhambat [1].

Keracunan obat dapat terjadi sebagai risiko komplikasi yang patut diwaspadai, terutama bila penderita menggunakan statin, methotrexate, dan obat antikanker [1].

Tinjauan
Sindrom Rotor pada dasarnya tidak berbahaya, namun karena tidak adanya protein OATP1B1 dan OATP1B3, penyaringan obat yang masuk ke dalam tubuh terhambat sehingga meningkatkan risiko keracunan obat.

Pencegahan Sindrom Rotor

Belum diketahui cara mencegah sindrom Rotor karena kondisi ini merupakan hasil mutasi gen.

Namun ketika bilirubin meningkat dan jaundice mulai dialami, segera ke dokter untuk memeriksakan diri.

Pemeriksaan dini dapat memastikan kondisi apa yang sebenarnya sedang terjadi; apakah jaundice merujuk pada sindrom Rotor atau penyakit lain yang lebih serius.

Tinjauan
Belum ada pencegahan untuk sindrom Rotor, namun deteksi dan penanganan dini sangat dianjurkan.

1. Anila Kumar & Dhruv Mehta. Rotor Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Milan Jirsa, MD, PhD, AS Knisely, MD, Alfred Schinkel, PhD, & Stanislav Kmoch, PhD. Rotor Syndrome. GeneReviews; 2012.
3. Evita van de Steeg, Viktor Stránecký, Hana Hartmannová, Lenka Nosková, Martin Hřebíček, Els Wagenaar, Anita van Esch, Dirk R. de Waart, Ronald P.J. Oude Elferink, Kathryn E. Kenworthy, Eva Sticová, Mohammad al-Edreesi, A.S. Knisely, Stanislav Kmoch, Milan Jirsa, & Alfred H. Schinkel. Complete OATP1B1 and OATP1B3 deficiency causes human Rotor syndrome by interrupting conjugated bilirubin reuptake into the liver. The Journal of Clinical Investigation; 2012.
4. H Helmy, Nadia El Dib, Engy A. Mogahed, & N Yasin. A child with rotor syndrome and Capillaria philippinensis: case report and review of literature. Journal of the Egyptian Society of Parasitology; 2011.
5. Min Kyu Jung, Myung Hwan Bae, Dae Jin Kim, Wan Suk Lee, Chang Min Cho, Won Young Tak, & Young Oh Kweon. A case with Rotor syndrome in hyperbilirubinemic family. Korean Journal of Gastroenterology; 2007.
6. Anonim. Rotor syndrome. Genetic and Rare Diseases Information Center; 2015.
7. Nishant Tripathi & Ishwarlal Jialal. Conjugated Hyperbilirubinemia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. K P Moore & G P Aithal. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis. Gut; 2006.

Share