Penyakit & Kelainan

Sindrom Ruminasi : Penyebab – Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Apa Itu Sindrom Ruminasi?

Sindrom Ruminasi ( img : Verywell Mind )

Sindrom ruminasi merupakan sebuah kondisi ketika seseorang memuntahkan makanan yang telah ditelan namun belum dicerna tubuh, lalu mengunyahnya lagi sebelum kemudian menelannya atau memuntahkannya kembali [1,2,3,4].

Kondisi memuntahkan makanan yang sudah ditelan ini terjadi secara alami dan tidak dipaksakan dan karena makanan belum tercerna oleh sistem pencernaan, mengunyahnya kembali bukan masalah.

Rasa makanan yang belum sampai ke lambung tidak akan terasa asam dan cenderung masih memiliki rasa yang normal.

Kondisi sindrom ruminasi ini umumnya dapat terjadi tepat setiap usai makan.

Tinjauan
Sindrom ruminasi merupakan kondisi memuntahkan makanan secara alami padahal sudah ditelan untuk kemudian dikunyah lagi sebelum akhirnya ditelan atau dimuntahkan kembali. Berbeda dari asam lambung, rasa makanan yang telah dimuntahkan tidak terasa asam karena belum mencapai lambung.

Fakta Tentang Sindrom Ruminasi

  1. Tidak terdapat data jelas dan spesifik mengenai prevalensi sindrom ruminasi karena masih kurangnya laporan yang tersedia [1].
  2. Karena data yang masih tergolong sangat sedikit, sindrom ruminasi dianggap sebagai kondisi langka [1].
  3. Sindrom ruminasi termasuk dalam klasifikasi gangguan gastroduodenal fungsional [2].
  4. Rata-rata pasien dengan gejala sindrom ruminasi akan memeriksakan diri ke dokter yang berbeda, menempuh pemeriksaan beberapa kali dan mengalami gejala kurang lebih 6,5 tahun sebelum terdiagnosa. Hal ini didukung oleh sebuah hasil studi yang menunjukkan bahwa terdapat sekitar 11% pasien dengan sindrom ruminasi mengalami gejala selama 5 tahun lebih sebelum akhirnya kondisi sindrom ini terdiagnosa [2].
  5. Sementara itu, terdapat 4% pasien mengalami sindrom ruminasi dan baru kurang lebih 6 bulan kondisi ini terdeteksi dan terdiagnosa [2].
  6. Sebuah hasil studi menunjukkan kasus sindrom ruminasi lebih tinggi terjadi pada wanita (sebanyak 74%) dengan usia antara 18-68 tahun dan kemampuan kognitif [2].
  7. Sebuah hasil studi di Sri Lanka menunjukkan bahwa terdapat 5% anak perempuan dan 5,1% anak laki-laki dengan rentang usia 10-16 tahun yang menderita sindrom ruminasi [3].
  8. Di Indonesia, data prevalensi sindrom ruminasi pun belum diketahui.

Penyebab Sindrom Ruminasi

Penyebab pasti sindrom ruminasi belum diketahui hingga kini, namun peningkatan tekanan pada perut diduga kuat menjadi penyebab keluarnya makanan secara alami [1].

Karena kondisinya yang memiliki kemiripan, sindrom ruminasi kerap dianggap sebagai kondisi gastroparesis, bulimia nervosa, atau GERD (gastroesophageal reflux disease) [1,4].

Kondisi ini pun jauh lebih berisiko terjadi pada orang-orang dengan gangguan perkembangan maupun anak-anak usia bayi.

Meski demikian, sindrom ruminasi dapat terjadi pada siapa saja, termasuk pada anak yang lebih besar, usia remaja, hingga orang dewasa.

Walau tak diketahui penyebab pasti dari kondisi sindrom ini, umumnya sindrom ruminasi dapat terjadi karena beberapa faktor risiko seperti berikut [2,3] :

  • Memiliki penyakit atau gangguan pencernaan.
  • Mengalami stres sehingga memicu perilaku memuntahkan makanan.
  • Suka mengunyah makanan.
  • Pola asuh orang tua; kerap menelantarkan anak mampu memperbesar potensi seorang anak memiliki kondisi sindrom Ruminasi.
  • Upaya anak dalam memperoleh perhatian dari orang tuanya; dengan memuntahkan makanan maka anak merasa orang tuanya akan memerhatikan.
  • Memiliki gangguan kecemasan atau depresi.
Tinjauan
- Penyebab pasti sindrom ruminasi belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor risiko sindrom yang paling kerap diderita oleh anak-anak ini.
- Pola asuh orang tua, gangguan mental, gangguan makan, serta penyakit pencernaan dapat menjadi faktor peningkat risiko sindrom ruminasi.
- Meski faktor usia berpengaruh (lebih sering terjadi pada anak), remaja dan orang dewasa tetap dapat mengalaminya, terutama pada orang-orang dengan gangguan perkembangan.

Gejala Sindrom Ruminasi

Sindrom ruminasi tak hanya ditandai dengan penderitanya yang memuntahkan apa yang sudah ditelannya.

Walau memuntahkan makanan dalam waktu 10 menit sesudah makan menjadi gejala utama, beberapa kondisi lain yang perlu diperhatikan dan diwaspadai antara lain adalah [1,2,3,4] :

  • Mual
  • Tekanan pada perut hilang usai memuntahkan makanan
  • Nyeri pada perut hilang usai memuntahkan makanan
  • Penurunan berat badan
  • Bau mulut
  • Perut terasa penuh dan kenyang walau makanan dimuntahkan

Bagi para orang tua yang memiliki anak dengan kondisi gejala tersebut, segera ke dokter untuk memeriksakannya.

Begitu juga dengan para orang dewasa yang mengalami gejala serupa, memeriksakan secara dini akan lebih mudah bagi dokter untuk membantu mengatasinya lebih awal pula.

Tinjauan
Selain aktivitas muntah, gejala utama sindrom ruminasi meliputi mual, berat badan turun, perut penuh dan kenyang walau makanan sudah keluar melalui muntahan, dan bau mulut. Namun ketika sudah memuntahkan makanan, tekanan dan nyeri yang semula dirasakan kemudian hilang.

Pemeriksaan Sindrom Ruminasi

Pada saat memeriksakan kondisi gejala ke dokter, beberapa metode diagnosa yang umumnya dokter gunakan antara lain adalah :

  • Pemeriksaan Fisik, Riwayat Gejala dan Riwayat Medis

Pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan fisik terhadap pasien [3,4].

Dokter juga akan memberikan sejumlah pertanyaan mengenai gejala-gejala yang dialami beberapa waktu terakhir.

Dokter juga akan menanyakan riwayat medis pasien dan keluarga pasien untuk mengetahui apakah gejala yang dialami ada kaitannya dnegan kondisi medis yang pernah atau sedang diderita [1,2].

  • Observasi Perilaku

Mengobservasi perilaku pasien juga akan dilakukan oleh dokter bila dirasa perlu [4].

Seringkali bahkan dengan observasi saja sudah cukup bagi dokter untuk memastikan bahwa kondisi gejala benar-benar mengarah pada sindrom ruminasi.

  • Manometri Esofagus Resolusi Tinggi

Manometri merupakan metode diagnosa yang dilakukan dokter dengan memasukkan tabung kecil lebih dulu ke dalam kerongkongan [1,2,3,4].

Tabung ini terhubung dengan alat perekam tekanan sehingga saat sudah masuk ke kerongkongan, kontraksi otot kerongkongan ketika pasien menelan dapat terdeteksi dan terukur dengan baik.

  • Pengukuran Impedansi

Sama halnya dengan manometri, pengukuran impedansi bertujuan untuk mengetahui tekanan pada perut dan juga seberapa besar peningkatan tekanan tersebut [2,4].

Dari hasil gambar pemeriksaan juga dapat membantu dokter dalam menentukan bentuk perawatan atau terapi yang diperlukan oleh pasien.

Bila diperlukan, tes penunjang lainnya yang dokter akan lakukan adalah esofagogastroduodenoskopi [2].

Pemeriksaan ini berfokus pada bagian atas duodenum (usus kecil), perut dan kerongkongan.

Melalui pemeriksaan ini akan dapa terdeteksi adanya obstruksi atau hambatan pada area-area organ tubuh tersebut.

Jika pemastian kondisi belum dapat dilakukan, dokter biasanya masih harus melakukan biopsi [4].

Dokter akan mengambil sedikit sampel jaringan dari bagian atas usus kecil, perut dan kerongkongan untuk dianalisa lebih jauh.

  • Pengosongan Lambung

Metode pemeriksaan lainnya yang kemungkinan diperlukan adalah mendeteksi berapa lama waktu proses pengosongan makanan dari perut pasien [2].

Prosedur ini juga dapat dilakukan ketika dokter perlu tahu berapa lama makanan yang telah dikunyah dan ditelan sampai ke usus kecil dan besar.

Tinjauan
Pemeriksaan fisik, riwayat kesehatan dan riwayat medis pasien menjadi metode diagnosa awal yang dokter lakukan selain observasi perilaku pasien. Sebagai tes penunjang, kemungkinan manometri esofagus resolusi tinggi, pengukuran impedansi, biopsi, pengosongan lambung, dan esofagogastroduodenoskopi

Kondisi Medis Lain Serupa dengan Sindrom Ruminasi

Kondisi gejala sindrom ruminasi kerap dianggap sebagai kondisi lain, seperti GERD atau penyakit asam lambung, bulimia nervosa, dan gastroparesis.

Padahal, keempat kondisi ini berbeda dan sangat perlu untuk mengenal kondisi-kondisi ini agar dapat mewaspadainya.

1. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) / Penyakit Asam Lambung

GERD atau penyakit asam lambung yang ditandai oleh sensasi terbakar pada dada yang disebut heartburn [5].

Gejala tersebut timbul ketika asam lambung naik hingga kerongkongan dan kondisi ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Pada penyakit GERD, mual dan muntah juga terjadi secara alami dan makanan yang dimuntahkan juga mengandung asam (tidak seperti sindrom ruminasi).

Selain itu, gejala lain yang turut menyertai berbeda dari tanda-tanda sindrom ruminasi seperti misalnya :

  • Batuk kronis tidak berdahak.
  • Sakit tenggorokan dan sakitnya lebih dirasakan saat digunakan menelan.
  • Sering bersendawa.
  • Perut terasa penuh dan cepat kenyang walau makan hanya sedikit.
  • Suara parau.
  • Sensasi mengganjal pada kerongkongan.

2. Bulimia Nervosa

Bulimia nervosa merupakan kondisi gangguan makan di mana penderitanya akan dengan sengaja memuntahkan kembali makanan yang sudah dimakan [6].

Gejala yang timbul pada bulimia nervosa juga terdiri dari gejala fisik maupun gejala psikologis, yaitu :

  • Radang tenggorokan.
  • Bau mulut.
  • Kerusakan gigi.
  • Perut kembung.
  • Sakit perut.
  • Rahang dan pipi tampak membesar.
  • Tubuh melemah.
  • Menghindari makan di depan orang lain, termasuk di tempat umum.
  • Memiliki kecemasan.
  • Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
  • Menarik diri dari lingkungan pergaulan.
  • Cenderung penyendiri.
  • Memiliki pandangan negatif terhadap bentuk tubuh dan berat badan diri sendiri sehingga merasa takut menjadi gemuk.

3. Gastroparesis

Gastroparesis merupakan sebuah kondisi di mana otot lambung mengalami gangguan sehingga gerakan lambung yang seharusnya membuat makanan terdorong ke usus melambat [7].

Muntah yang menyertai rasa mual memang merupakan gejala gastroparesis pada umumnya, namun pada kondisi gastroparesis, kondisi ini disebabkan oleh saraf pengatur gerakan otot lambung yang telah rusak.

Sementara itu, gejala-gejala pada gastroparesis lebih memiliki kemiripan dengan GERD, yaitu sebagai berikut :

  • Nyeri pada perut.
  • Nyeri pada ulu hati.
  • Sensasi panas pada area dada.
  • Perut begah.
  • Mudah kenyang.
  • Berat badan turun.
  • Terkadang makanan belum tercerna akan keluar melalui muntah (ruminasi dapat menjadi bagian dari gejala gastroparesis).

Pengobatan Sindrom Ruminasi

Pengobatan untuk sindrom ruminasi biasanya tergantung usia pasien, kemampuan kognitif dan kondisi kesehatan secara menyeluruh.

Keberadaan penyakit lain di dalam tubuh pasien memungkinkan dokter menentukan penanganan yang berbeda.

Namun pada umumnya, penanganan sindrom Ruminasi meliputi pemberian obat dan terapi perilaku.

1. Obat-obatan

Beberapa jenis obat kemungkinan besar diresepkan oleh dokter, khususnya bila kondisi pasien sudah pada tahap di mana kerongkongan rusak.

Karena seringnya memuntahkan makanan yang sudah tertelan, kondisi kerongkongan dapat memburuk.

Maka beberapa jenis obat seperti omeprazole atau esomeprazole umumnya diberikan oleh dokter [9].

Tujuan pemberian salah satu dari jenis obat tersebut adalah untuk memberikan perlindungan pada lapisan kerongkongan/esofagus.

Pemberian obat ini umumnya menyertai terapi perilaku sehingga kedua metode perawatan ini bisa diperoleh pasien dalam waktu bersamaan.

Pemberian obat akan melindungi lapisan kerongkongan sampai frekuensi gejala ruminasi berkurang.

Selain itu, obat yang diresepkan juga akan membuat perut terasa lebih tenang terutama setiap sehabis makan.

2. Terapi Perilaku

Terapi perilaku yang pasien perlu dapatkan antara lain adalah :

  • Pelatihan Pembalikan Kebiasaan

Terapi perilaku pembalikan kebiasaan adalah jenis terapi yang paling dibutuhkan oleh pasien penderita sindrom ruminasi tanpa gangguan perkembangan [3,4].

Pada proses perawatan ini, pasien mempelajari mengenali waktu terjadinya ruminasi.

Terapis akan membimbing dan mendampingi pasien dalam melakukan latihan pernafasan (mengambil dan mengeluarkan nafas) dengan otot perut.

Terapis akan mengajarkan bagaimana cara bernafas menggunakan otot diafragma yang benar selama proses terapi ini.

Metode pernafasan ini sangat membantu bagi pasien agar keinginan memuntahkan makanan serta kontraksi pada perut dapat berkurang.

  • Biofeedback

Masih termasuk jenis terapi perilaku, biofeedback adalah metode pengobatan yang akan membantu agar fungsi tubuh pasien dapat lebih terkontrol [2,4].

Metode ini dapat dilakukan bersama dengan terapi pembalikan kebiasaan (teknik pernafasan diafragma).

  • Dukungan Orang Tua atau Pengasuh

Untuk kasus sindrom ruminasi pada bayi, tenaga medis memerlukan bantuan orang tua anak atau pengasuh dalam proses perawatannya [4].

Orang tua dan pengasuh dapat mengubah perilaku dan lingkungan sekitar bayi agar kecenderungan memuntahkan makanan mereda.

Tinjauan
Dalam mengobati sindrom ruminasi, penanganan yang umumnya diberikan adalah terapi perilaku dan pemberian obat.

Komplikasi Sindrom Ruminasi

Ketika sindrom ruminasi tidak segera ditangani, tabung saluran penghubung antara mulut dan esofagus dapat mengalami kerusakan.

Beberapa kondisi yang berkemungkinan terjadi ketika gejala sindrom ini memburuk antara lain adalah [3,4] :

  • Malnutrisi
  • Dehidrasi
  • Berat badan turun secara signifikan dan tidak sehat
  • Bau mulut
  • Erosi gigi
  • Kecemasan, stres dan depresi
  • Kualitas hidup menurun (termasuk performa sekolah atau pekerjaan)

Esofagitis atau radang pada lapisan kerongkongan adalah salah satu kasus komplikasi yang dapat terjadi namun tergolong jarang [1].

Penurunan berat badan secara signifikan paling berpotensi terjadi pada penderita sindrom ruminasi usia remaja.

Namun ketika penderita mendapatkan penanganan secepatnya, sebenarnya sindrom ruminasi tidak sampai mengancam jiwa.

Pencegahan Sindrom Ruminasi

Tak diketahui pasti bagaimana cara mencegah sindrom ruminasi karena penyebabnya belum jelas hingga kini.

Namun untuk meminimalisir risiko anak mengalami sindrom ruminasi, pastikan orang tua memberikan perhatian dan didikan yang benar kepada anak.

Untuk mencegah komplikasi, pemeriksaan gejala dini akan sangat membantu.

Ketika kondisi diketahui sejak awal, penanganan seperti terapi dan pemberian obat-obatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien dapat dilakukan.

Penanganan sedini mungkin mampu memperkecil potensi pasien mengalami komplikasi.

Tinjauan
Tidak diketahui penyebab pasti sindrom ruminasi sehingga pencegahannya pun tidak memungkinkan. Namun untuk meminmalisir risiko komplikasi, penanganan dini gejala yang timbul adalah salah satu yang terbaik.

1. Nicholas J. Talley, MD, PhD. Rumination Syndrome. Gastroenterology & Hepatology; 2011.
2. Benjamin Disney & Nigel Trudgill. Managing a patient with rumination. Frontline Gastroenterology; 2013.
3. Bhaktishree Raha, Swapanjit Sarma, Pradeep Thilakan, & Zarine Maria Punnoose. Rumination Disorder: An Unexplained Case of Recurrent Vomiting. Indian Journal of Psychological Medicine; 2017.
4. Helen B. Murray, MS,1 Adrienne S. Juarascio, PhD,1 Carlo Di Lorenzo, MD,2 Douglas A. Drossman, MD,3,4,5 and Jennifer J. Thomas, PhD. Diagnosis and Treatment of Rumination Syndrome: A Critical Review. HHS Public Access; 2019.
5. Danisa M. Clarrett, MD & Christine Hachem, MD. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Missouri Medicine; 2018.
6. Phillipa J Hay & Angélica Medeiros Claudino. Bulimia nervosa. Clinical Evidence; 2010.
7. Anil Kumar Reddy Reddivari & Parth Mehta. Gastroparesis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
8. Peter J Kahrilas, Guy Boeckxstaens, & Andre JPM Smout. Management of the Patient with Incomplete Response to PPI Therapy. HHS Public Access; 2014.

Share