Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Displasia fibrosa adalah suatu kondisi kelainan tulang dimana adanya jaringan fibrosa (parut) yang tumbuh di area tulang normal. Jaringan yang abnormal ini dapat melemahkan tulang yang terkena sehingga
Daftar isi
Displasia fibrosa ialah kondisi tulang langka yang bersifat jinak (non-kanker) yang mana jaringan fibrosa abnormal berkembang menggantikan tulang normal.
Pada bagian tempat jaringan fibrosa tumbuh dan meluas seiring waktu, jaringan tersebut dapat melemahkan tulang, menyebabkan tulang lebih rapuh secara abnormal dan mudah mengalami keretakan atau deformasi[1, 2, 3].
Displasia fibrosa pertama kali dideskripsikan dalam literatur medis pada tahun 1942 oleh Dr. Lichtenstein dan Jaffe. Kondisi ini dapat terjadi dalam bentuk monostotik (tulang tunggal) atau bentuk poliostotik (tulang banyak)[3, 4].
Displasia fibrosa termasuk kondisi langka, meliputi sekitar 7% dari semua kasus tumor tulang jinak. Kondisi ini dapat mempengaruhi berbagai tulang dalam tubuh, tapi pada beberapa orang, terjadi pada tulang-tulang pada satu sisi tubuh[2, 5].
Jenis tulang yang paling umum terdampak displasia fibrosa meliputi[2, 6]:
Displasia fibrosa lebih umum ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa muda dengan sekitar 75% pasien mulai mengalami kondisi sebelum usia 30 tahun (insidensi tertinggi antara 3 dan 15 tahun). [1,3]
Pada bentuk poliostotik, pasien biasanya mulai mengalami kondisi sejak usia 10 tahun. Insidensi diperkirakan pada 1 dari 5.000 hingga 10.000. Tidak terdapat kecenderungan gender.
Displasia fibrosa meliputi 5% dari semua kasus lesi tulang. Bentuk monostotik merupakan yang paling umum, meliputi 75% hingga 80% dari kasus displasia fibrosa[4].
Penyebab utama displasia fibrosa masih belum diketahui. Diduga kondisi ini berhubungan dengan terjadinya perubahan atau mutasi pada gen yang disebut GNAS1.
Mutasi gen ini terjadi setelah fertilisasi embrio (mutasi somatik), sehingga tidak diturunkan dari orang tua. Mutasi jenis ini juga tidak menurun pada anak-anak dari penderita[3].
Mutasi gen terjadi pada sel-sel tertentu yang menghasilkan tulang. Mutasi mengakibatkan produksi jaringan tulang yang belum dewasa dan tidak beraturan.
Sering kali terdapat lesi atau jaringan tulang tidak beraturan pada satu bagian tunggal pada satu tulang. Terkadang ada lebih dari satu tulang yang terdampak, dan dapat lebih dari satu lesi pada banyak tulang[1].
Lesi biasanya berhenti tumbuh beberapa saat selama pubertas. Akan tetapi, lesi dapat tumbuh kembali selama kehamilan[1].
Orang dengan bentuk lebih ringan dari displasia fibrosa dapat tidak mengalami gejala dan tidak menyadari kondisi ini hingga melakukan X-ray untuk tujuan lain.
Sementara pada beberapa kasus lain dapat memiliki bentuk displasia fibrosa yang lebih berat dan mengalami gejala pada usia anak-anak[2, 6].
Gejala umum displasia fibrosa meliputi[1, 2, 6]:
1. Sakit tulang
Saat jaringan tulang fibrosa tumbuh dan bertambah besar, bagian yang terdampak dapat menjadi lemah dan sakit.
Rasa sakit lebih mungkin terjadi jika tulang yang terdampak merupakan tulang yang menahan beban dari kaki atau pinggul.
Rasa sakit yang disebabkan oleh displasia fibrosa umumnya bermula sebagai rasa sakit ringan yang memburuk dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Rasa sakit dapat berprogres makin buruk seiring.
2. Fraktur
Tulang fibrosa sangat lemah dibandingkan tulang normal, sehingga dapat patah atau retak pada bagian yang lemah, menyebabkan rasa sakit berat dan tiba-tiba.
Fraktur (retak) sering terjadi setelah suatu periode rasa sakit ringan, meskipun dapat juga terjadi secara tiba-tiba tanpa rasa sakit yang mendahului.
3. Deformitas tulang
Pada pasien yang mengalami retak tulang berulang kali, pemulihan buruk dapat mengarah pada deformitas tulang.
Jika deformitas (perubahan struktur dan bentuk) terjadi pada tulang-tulang wajah atau menyebabkan pembengkokan tulang, dapat terlihat dari penampilan luar.
Deformitas berat pada tulang-tulang wajah dapat mengarah pada hilangnya pendengaran atau penglihatan. Jika kaki atau pinggul terlibat, pasien dapat mengalami masalah berjalan atau mengembangkan artritis pada sendi di dekat bagian terdampak.
4. Gangguan hormonal
Terkadang , displasia fibrosa dapat berhubungan dengan sindrom yang mempengaruhi kelenjar penghasil hormon dalam sistem endokrin.
Pada pasien muda, abnormalitas hormonal dapat mengakibatkan pubertas dini, kondisi ini lebih umum pada anak perempuan.
Hiperaktivitas hormonal dapat terjadi pada beberapa kelenjar berikut:
Abnormalitas hormonal juga dapat mengakibatkan bintik-bintik berwarna cerah pada kulit. Selain itu, pasien dapat mengalami peningkatan rasa sakit berhubungan dengan perubahan hormon akibat siklus menstruasi atau kehamilan.
Sebaiknya pasien segera memeriksakan diri ke dokter jika mengalami gejala seperti berikut[1]:
Displasia fibrosa dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu[3]:
Bentuk monostotik adalah bentuk displasia fibrosa yang paling umum, mencakup 70-80% kasus. Kondisi ini biasanya tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) hingga pasien berusia 20-an hingga 30-an tahun, tapi dapat terlihat selama masa remaja.
Setelah pubertas berlalu, penyakit menjadi inaktif dan bentuk monostotik tidak berprogres menjadi poliostotik.
Tulang yang umum terdampak bentuk monostotik meliputi:
Bentuk poliostotik meliputi banyak tulang yang terdampak, terjadi sekitar 20-30% kasus displasia fibrosa. Penyakit mulai terlihat pada usia kanak-kanak (rata-rata usia 8 tahun) dengan dua pertiga gejala timbul menjelang usia 10 tahun.
Seringkali kondisi bentuk poliostotik terjadi unilateral dan monomelik atau pada satu tungkai. Tulang yang umum terdampak meliputi:
Displasia fibrosa berat dapat menyebabkan[ 1, 3, 4]:
Bagian yang melemah pada tulang yang terdampak penyakit dapat menyebabkan tulang membengkok. Tulang yang melemah juga berisiko lebih besar mengalami keretakan. Lesi pada tulang belakang dapat mengarah pada skoliosis dan pembatasan fungsional terkait.
Saraf menuju mata dan telinga dapat dikelilingi tulang yang terdampak penyakit. Deformitas berat pada tulang wajah dapat mengarah pada hilangnya penglihatan dan pendengaran, meski kasusnya tergolong langka.
Jika tulang kaki dan tulang panggul mengalami cacat, artritis dapat terbentuk dalam sendi-sendi pada tulang tersebut.
Pada kasus yang sangat langka, bagian displasia fibrosa dapat menjadi bersifat kanker. Tanda kondisi ini meliputi peningkatan pembengkakan atau pertumbuhan lesi dengan cepat. Pasien juga dapat mengalami sakit yang lebih berat.
Pada kasus langka (<1%) dilaporkan terjadi dediferensiasi sarkomatosa (osteosarkoma, fibrosarkoma, histiositoma fibrosa ganas, atau terkadang kondrosarkoma), komplikasi ini lebih umum pada bentuk poliostotik.
Sebagian besar dari kasus yang dilaporkan, berhubungan dengan perawatan terapi radiasi yang pernah dilakukan sebelumnya.
Untuk mendiagnosis displasia fibrosa dokter dapat melakukan pemeriksaan fisik, pengecekan riwayat kesehatan pasien, dan menanyakan mengenai gejala yang dialami[2, 3].
Dokter dapat menganjurkan pasien untuk melakukan salah satu tes berikut[3, 6]:
1. X-ray
X-ray ialah tes paling umum yang digunakan dalam mendiagnosis displasia fibrosa. Pasien dengan displasia fibrosa dapat mengalami kondisi yang tampak pada tes x-ray, meliputi:
Tes imaging ini dapat menghasilkan gambar yang lebih jelas, sehingga memungkinkan untuk menganalisa abnormalitas yang dialami pasien.
MRI dapat menunjukkan seberapa banyak tulang yang terdampak dan dapat membantu menentukan apakah lesi bersifat kanker atau tidak.
CT scan dapat membantu dokter mengamati keretakan tulang dengan lebih baik dan memastikan kondisi tulang.
3. Scan tulang
Scan tulang merupakan tes untuk memeriksa seluruh tulang penyusun rangka tubuh. Tes ini dilakukan untuk mengenali tulang-tulang mana saja yang terdampak penyakit.
Selama tes, sejumlah kecil zat pewarna radioaktif diinjeksikan ke dalam tubuh secara intravena. Scan akan menunjukkan adanya bagian tulang abnormal berdasarkan penyerapan lebih dari zat radioaktif.
4. Biopsi
Biopsi dilakukan dengan pengambilan sedikit sampel jaringan yang terdampak untuk diamati dengan mikroskop. Biasanya biopsi dilakukan dengan anestesi lokal, menggunakan jarum atau operasi terbuka kecil.
Displasia fibrosa biasanya tidak membutuhkan penanganan karena lesi tulang biasanya tidak berprogres setelah masa pubertas.
Jika lesi tidak menimbulkan gejala, dokter dapat menganjurkan untuk melakukan observasi dan pemantauan kondisi[3, 6].
Jika pasien mengalami gejala, pengobatan dapat meliputi[6]:
Dokter juga dapat meresepkan obat seperti bifosfat untuk mengurangi aktivitas dari sel-sel yang merusak tulang. Obat ini bukan merupakan obat untuk displasia fibrosa, tapi efektif dalam meredakan rasa sakit yang berhubungan dengan kondisi[2].
Operasi dapat dianjurkan jika pasien mengalami[2]:
Teknik operasi yang dapat digunakan dalam penanganan displasia fibrosa meliputi[2]:
Displasia fibrosa diduga disebabkan oleh suatu mutasi, sehingga belum diketahui cara pencegahannya[1, 2].
1. Anonim. Fibrous Dysplasia. Mayo Clinic; 2020.
2. Robert H. Quinn, MD and Gina Lesko, MD, reviewed by Stuart J. Fischer, MD, Colin F. Moseley, MD., and Rajiv Rajani, MD. Fibrous Dysplasia. Orthoinfo, American Academy of Orthopaedic Surgeons; 2016.
3. Dr. Daniel J Bell and Dr Gagandeep Singh. Fibrous Dysplasia. Radiopaedia; 2020.
4. Tafti D, Cecava ND. Fibrous Dysplasia. StatPearls Publishing; 2020.
5. Anonim. Fibrous Dysplasia. Rare Disease Database; 2020.
6. Anonim. Fibrous Dysplasia Overview. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resources Center; 2019.