Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Endometriosis adalah kondisi dimana terdapat jaringan yang menyerupai jaringan rahim (endometrium), tumbuh di tempat lain diluar rahim, seperti indung dan saluran telur. Kondisi ini merupakan penyakit
Daftar isi
Endometriosis merupakan sebuah kondisi di mana terdapat pertumbuhan endometrium terjadi di luar rahim [1,2,3,4,5,6,7,8].
Endometrium sendiri adalah jaringan pembentuk lapisan dalam dinding rahim yang seharusnya tumbuh pada usus, indung telur, vagina, tuba falopi, atau rektum [1].
Endometrium ini mengalami penebalan sebelum siklus menstruasi wanita, karena menjadi tempat sel telur yang telah dibuahi menempel di sana.
Namun pada kondisi normal dan wanita tidak sedang hamil, endometrium ini meluruh dan keluar bersama darah dari dalam tubuh saat masa menstruasi.
Tinjauan Endometriosis merupakan endometrium yang tumbuh di luar rahim di mana pada kondisi normal dan wanita tak sedang hamil, endometrium akan keluar bersama darah sewaktu haid.
Belum diketahui jelas faktor penyebab endometriosis yang sebenarnya, namun beberapa faktor lain berikut ini diketahui mampu meningkatkan risiko endometriosis :
Seorang wanita yang pernah menjalani prosedur bedah, baik itu histerektomi atau caesar saat persalinan mampu menjadi salah satu penyebab endometriosis [1].
Ini karena sel endometrium pasca operasi dapat menempel pada area luka bekas operasi (tepat di bekas sayatan).
Perpindahan sel endometrium dapat terjadi yang berkemungkinan kemudian menjadi sebuah kondisi endometriosis [5].
Perpindahan ini terjadi dari bagian tubuh satu ke bagian tubuh lain melalui sistem limfatik ataupun darah.
Perubahan sel-sel yang belum matang dapat terjadi menjadi sel endometrium [4,6].
Hormon estrogen adalah salah satu faktor penyebabnya dan hal ini mampu memicu pada endometriosis.
Kondisi ini adalah ketika arah aliran darah menstruasi berbalik; bukan menuju luar tubuh lewat vagina, melainkan melalui tuba falopi masuk ke rongga panggul [1,2,4].
Tuba falopi sendiri adalah istilah untuk menyebut saluran indung telur.
Ketika retrograde menstruation terjadi, sel endometriumm pada darah menstruasi menempel di permukaan organ panggul dan dinding panggul.
Dari sana, sel-sel ini mampu menebal secara terus-menerus dan tumbuh sehingga selama siklus menstruasi perdarahan dialami oleh penderita.
Bagian dalam perut dilapisi oleh sel-sel yang disebut dengan sel peritoneum [1,7].
Jika sel ini berubah menjadi sel endometrium karena pengaruh sistem daya tahan tubuh maupun hormon, maka hal ini memicu endometriosis.
Sistem imun yang gagal berfungsi dengan maksimal dapat memicu endometriosis [1,2,4].
Sistem daya tahan tubuh dengan kondisi tersebut tak mampu menghancurkan sel endometrium yang tumbuh pada luar rahim.
Kekeliruan itu tidak dapat diatasi sistem imun bila mengalami gagal fungsi.
Selain berbagai faktor di atas, beberapa hal di bawah ini pun mampu menjadi faktor yang memperbesar risiko seorang wanita mengalami endometriosis [1,2,8].
Tinjauan Riwayat operasi, gangguan sistem imun, perubahan sel peritoneum, retrograde menstruation, perubahan pada sel yang belum matang, serta sel endometrium yang berpindah dapat menjadi alasan terjadinya endometriosis.
Nyeri di bagian panggul adalah gejala utama endometriosis yang juga kerap dianggap sebagai hal normal, khususnya ketika seorang wanita sedang mengalami masa menstruasi.
Meski demikian, nyeri panggul ini tak sebaiknya diabaikan karena dapat disertai dengan beberapa kondisi lain yang kemungkinan tidak wajar, seperti [1,2,4,8,9,10] :
Tingkat rasa nyeri tidak menjadi indikator untuk keparahan kondisi endometriosis.
Nyeri yang hebat belum tentu menandakan bahwa endometriosis sangat parah.
Karena pada beberapa kasus, endometriosis ringan sekalipun dapat ditandai dengan nyeri yang luar biasa.
Pada sebagian kasus lain, endometriosis juga dapat terjadi bahkan dengan nyeri yang ringan atau bahkan tanpa timbul rasa nyeri sama sekali [11].
Karena gejala-gejala tersebut, endometriosis kerap disalahartikan sebagai sebuah kondisi nyeri panggul karena penyakit radang panggul.
Seringkali gejala endometriosis juga dianggap sebagai tanda adanya kista ovarium.
Beberapa kondisi lain seperti kram perut, konstipasi, diare, dan sindrom iritasi usus besar juga dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan endometriosis.
Diagnosa akan semakin membingungkan ketika endometriosis terjadi bersamaan dengan sindrom iritasi usus besar.
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Bila sejumlah gejala yang telah disebutkan terjadi, jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter, terutama bila terdapat kecurigaan yang mengarah pada endometriosis.
Pemeriksaan dan deteksi dini akan membantu pasien mendapatkan penanganan yang sesuai.
Penanganan tepat yang diperoleh dini dapat meningkatkan peluang pasien untuk sembuh.
Tinjauan Dismenorea, nyeri saat buang air kecil dan saat berhubungan seksual, kembung, mual, sembelit, diare, perdarahan hebat dan ketidaksuburan adalah gejala-gejala endometriosis yang perlu diwaspadai para wanita.
Ketika timbul gejala-gejala tak wajar, maka sudah seharusnya penderita segera memeriksakan diri ke dokter.
Beberapa metode diagnosa yang dokter terapkan untuk memastikan kondisi pasien.
Pada proses pemeriksaan fisik, biasanya dokter akan memeriksa panggul pasien dengan meraba bagian perut [1,4].
Dokter perlu mengetahui apakah pada bagian perut pasien terdapat bekas luka atau kista, termasuk belakang rahim.
Selain kondisi fisik pasien, dokter perlu mengetahui riwayat medis pasien, termasuk juga keluarga pasien [1,4].
Tak hanya kondisi medis, riwayat pengobatan pun perlu diketahui oleh dokter sebagai faktor penegak diagnosa.
USG yang kemungkinan dokter rekomendasikan kepada pasien adalah USG transvaginal dan USG perut untuk mengetahui kondisi kedua area tubuh tersebut [1,2,4].
Dokter dapat mengidentifikasi keberadaan kista yang berhubungan dengan kondisi endometriosis di kedua bagian tubuh pasien tersebut.
Meski demikian, USG bukanlah metode diagnosa yang mampu mengeliminasi kemungkinan penyakit lain yang serupa.
Terdapat empat tahap atau jenis kondisi endometriosis, mulai dari minimal, ringan, sedang hingga berat.
Ukuran endometriosis dan lokasi endometriosis menentukan tahap dan jenis kondisi endometriosis [1,2].
Tinjauan Pemeriksaan fisik, riwayat kesehatan, dan tes pemindaian adalah metode diagnosa endometriosis. Dari hasil pemeriksaan kemudian dapat ditentukan oleh dokter tahap atau jenis kondisi pasien.
Tujuan utama pengobatan endometriosis adalah sebagai pereda gejala, meningkatkan kesuburan, mencegah komplikasi, dan memperlambat pertumbuhan jaringan endometrium pada luar rahim.
Berikut ini adalah rangkaian metode pengobatan endometriosis yang akan disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala.
Dokter kemungkinan besar meresepkan obat seperti anti-infamasi non-steroid untuk meredakan rasa nyeri yang pasien alami [12].
Obat yang tergolong OAINS tersebut adalah ibuprofen atau diclofenac; meski demikian, penggunaan obat saja biasanya belum cukup bagi pasien.
Obat ini diberikan oleh dokter sebagai bagian dari terapi hormon di mana tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kadar hormon estrogen yang terlalu tinggi [1,2,4,8,].
Letrozole, exemestane, dan anastrozole adalah obat-obat yang tergolong penghambat aromatase [13].
Terapi hormon lainnya adalah dalam bentuk pemberian KB suntik, pil KB, spiral (IUD), atau KB implan, tergantung hasil diskusi dokter dengan pasien [14].
Kontrasepsi hormonal ini bertujuan utama menghambat penebalan jaringan endometrium yang terus terjadi.
Penggunaan metode ini juga bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri yang pasien rasakan sekaligus menghentikan menstruasi.
Pemberian danazol adalah bentuk lain penanganan endometriosis lain melalui terapi hormonal [4,9].
Danazol sendiri merupakan obat yang mirip dengan testosteron.
Tujuan pemberian obat ini adalah supaya kadar progesteron dan estrogen yang indung telur produksi secara berlebihan dapat berkurang.
Ketika kadar kedua hormon berhasil ditekan, obat ini akan menimbulkan efek kondisi yang mirip dengan menopause.
Dokter pun berkemungkinan meresepkan obat ini untuk memicu kondisi yang mirip dengan menopause [1,2,4,8,9,11,12,13].
Efek dari obat ini sama dengan danazol, yaitu berkurangnya produksi hormon estrogen yang semula terlalu tinggi.
Setelah menggunakan obat ini, menstruasi akan berhenti, namun pertumbuhan endometriosis akan terhambat ditandai dengan mengecilnya ukuran endometriosis.
Obat ini pun merupakan bagian dari terapi hormon yang dokter berikan sebagai pencegah proses ovulasi [1,2,4,8].
Hormon sintetis ini menyerupai hormon progesteron di mana salah satunya adalah norethosterone.
Ovulasi sendiri merupakan proses sel telur yang keluar dari ovarium ke tuba falopi di mana bila proses ini dicegah, otomatis ukuran endometriosis akan menyusut.
Laparoskopi adalah bentuk penanganan endometriosis yang akan dokter anjurkan bagi pasien yang masih ingin bisa hamil [1,2,4,8,9,10,11,12,13].
Ketika rasa nyeri yang dialami begitu berat, prosedur operasi pengangkatan jaringan endometriosis ini dapat dijalani pasien.
Laparoskopi juga merupakan sebuah prosedur medis yang membakar jaringan tersebut menggunakan arus listrik atau laser.
Laparoskopi merupakan metode penanganan endometriosis yang juga dapat digunakan langsung saat pemeriksaan atau proses diagnosa untuk mengangkat jaringan endometriosis.
Jika menurut hasil pemeriksaan kondisi endometriosis berukuran sudah sangat besar dan parah, laparotomi menjadi prosedur yang dapat ditempuh oleh pasien [9,12].
Dokter dalam prosedur ini akan membuat sayatan pada area perut dengan cukup lebar.
Tujuan membuat sayatan ini adalah supaya organ yang terpengaruh dengan tumbuhnya endometriosis dapat terjangkau dan jaringan endometriosis dapa diangkat secara lebih mudah.
Jika obat-obatan tidak lagi mampu menangani gejala endometriosis pasien, dokter akan merekomendasikan prosedur histerektomi [1,4,5,8,10,12]
Histerektomi merupakan prosedur medis yang bertujuan mengangkat rahim, kedua ovarium, dan serviks pasien.
Ovarium yang diangkat melalui proses bedah ini mampu memicu menopause dini, namun endometriosis dipastikan tak akan kambuh.
Selain itu, histerektomi juga menjadi pilihan terakhir yang direkomendasikan oleh dokter ketika memang pasien sendiri tak lagi berencana untuk hamil.
Usai menjalani histerektomi, pasien tak akan dapat hamil ataupun hamil lagi.
Tak hanya itu, risiko histerektomi pun cukup besar bagi pasien endometriosis dengan kondisi penyakit pembuluh darah dan penyakit jantung.
Tinjauan Pemberian obat dan prosedur bedah direkomendasikan oleh dokter untuk menangani endometriosis tergantung dari tahap kondisi atau tingkat keparahan endometriosis pasien.
Endometriosis yang tidak ditangani dengan tepat mampu menyebabkan sejumlah risiko komplikasi seperti berikut :
Tujuan menempuh pengobatan medis adalah untuk meminimalisir risiko-risiko komplikasi tersebut dan mengurangi gejala yang dirasakan.
Tanpa penanganan, risiko komplikasi pun dapat berkembang dan berakibat fatal bagi penderita.
Prognosis endometriosis tergolong baik, terutama bila deteksi dan penanganan dini dilakukan, yaitu ketika kondisi masih awal dan tahap ringan [16].
Penderita endometriosis ringan tanpa mendapat penanganan khusus pun masih memiliki peluang untuk hamil [16].
Tinjauan Risiko komplikasi endometriosis antara lain adalah kekambuhan endometriosis, kista ovarium, kanker ovarium, infertilitas, dan adhesi.
Untuk setidaknya meminimalisir risiko endometriosis, berbagai upaya berikut dapat dilakukan [17] :
Tinjauan Tidak terdapat cara pasti untuk mencegah endometriosis, namun pertumbuhan jaringan endometrium di luar rahim dapat diperlambat dengan kehamilan atau penggunaan alat kontrasepsi.
1. Parveen Parasar, PhD, MVSc, Pinar Ozcan, MD, & Kathryn L. Terry, ScD. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and Clinical Management. HHS Public Access; 2018.
2. Serdar E Bulun, Bahar D Yilmaz, Christia Sison, Kaoru Miyazaki, Lia Bernardi, Shimeng Liu, Amanda Kohlmeier, Ping Yin, Magdy Milad, & JianJun Wei. Endometriosis. Endocrine Reviews; 2019.
3. Tazim Dowlut-McElroy & Julie L Strickland. Endometriosis in adolescents. Current Opinion in Obstetrics & Gynecology; 2017.
4. Cynthia Farquhar. Endometriosis. British Medical Journal; 2007.
5. Petra A.B. Klemmt & Anna Starzinski-Powitz. Molecular and Cellular Pathogenesis of Endometriosis. Current Women's Health Reviews; 2018.
6. Paula Gabriela Marin Figueira, Mauricio Simões Abrão, Graciela Krikun, & Hugh Taylor. STEM CELLS IN ENDOMETRIUM AND THEIR ROLE IN THE PATHOGENESIS OF ENDOMETRIOSIS. HHS Public Access; 2012.
7. Antonio Simone Laganà, Simone Garzon, Martin Götte, Paola Viganò, Massimo Franchi, Fabio Ghezzi, & Dan C. Martin. The Pathogenesis of Endometriosis: Molecular and Cell Biology Insights. International Journal of Molecular Sciences; 2019.
8. Edgardo Rolla. Endometriosis: advances and controversies in classification, pathogenesis, diagnosis, and treatment. F1000 Research; 2019.
9. Simone Ferrero, Giovanni Camerini, Umberto Leone Roberti Maggiore, Pier L Venturini, Ennio Biscaldi, & Valentino Remorgida. Bowel endometriosis: Recent insights and unsolved problems. World Journal of Gastrointestinal Surgery; 2011.
10. Dana DiBenedetti, Ahmed M. Soliman, Catherine Gupta, & Eric S. Surrey. Patients’ perspectives of endometriosis-related fatigue: qualitative interviews. Journal of Patient-Reported Outcomes; 2020.
11. Anonim. Endometriosis: diagnosis and management. National Guideline Alliance (UK). London: National Institute for Health and Care Excellence (UK); 2017.
12. Julie Brown, Tineke J Crawford, Claire Allen, Sally Hopewell, & Andrew Prentice. Nonsteroidal anti‐inflammatory drugs for pain in women with endometriosis. Cochrane Library; 2017.
13. Radosław Słopień & Błażej Męczekalski. Aromatase inhibitors in the treatment of endometriosis. Menopause Review; 2016.
14. Giovanni Grandi, Fabio Barra, Simone Ferrero, Filomena Giulia Sileo, Emma Bertucci, Antonella Napolitano, & Fabio Facchinetti. Hormonal contraception in women with endometriosis: a systematic review. The European Journal of Contraception & Reproductive Health Care; 2019.
15. Aline Veras Morais Brilhante, Kathiane Lustosa Augusto,2 Manuela Cavalcante Portela,2 Luiz Carlos Gabriele Sucupira, Luiz Adriano Freitas Oliveira, Ana Juariana Magalhães Veríssimo Pouchaim, Lívia Rocha Mesquita Nóbrega, Thaís Fontes de Magalhães, & Leonardo Robson Pinheiro Sobreira. Endometriosis and Ovarian Cancer: an Integrative Review (Endometriosis and Ovarian Cancer). Asian Pacific Journal of Cancer Prevention; 2017.
16. Anonim. Endometriosis. Harvard Health Publishing – Harvard Medical School; 2019.
17. Esther Eisenberg, M.D., M.P.H & E. Britton Chahine, M.D., FACOG, Endometriosis. Women’s Health; 2019.