Daftar isi
Hiporefleksia adalah kebalikan dari hiperrefleksia, yakni sebuah kondisi otot dalam tubuh kurang responsif terhadap rangsangan [1,2,3].
Jika hiperrefleksia adalah kondisi saat otot tubuh merespon rangsangan secara berlebihan dan arefleksia adalah kondisi tidak responsifnya otot sama sekali terhadap rangsangan, maka hiporefleksia hanya kurang responsif saja [1,2,3].
Hiporefleksia dapat menandakan otot yang sangat lemah, berbeda dari hiperrefleksia [1,2,3].
Hiporefleksia dapat berkaitan dengan beberapa kondisi medis sehingga penanganannya pun berbeda-beda menurut faktor yang mendasarinya [1].
Hiporefleksia adalah kondisi yang berkembang sebagai akibat dari neuron motorik yang mengalami kerusakan [1,2,3].
Padahal, neuron-neuron ini berperan utama sebagai pembawa pesan antara otak dan saraf tulang belakang dalam kaitannya dengan pengendalian gerakan otot [1,2,3].
Maka dengan kata lain, neuron motorik berperan penting dalam gerakan otot dan pengendaliannya secara normal [1,2,3].
Namun selain karena kerusakan neuron motorik, beberapa kondisi berikut pun diketahui meningkatkan risiko hiporefleksia.
1. Efek Samping Obat Tertentu
Pengguna relaksan otot jauh lebih berisiko mengalami hiporefleksia [1,3].
Namun biasanya, hiporefleksia terjadi sebagai efek samping sementara dari obat relaksan otot ini [1,3].
2. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kondisi ketika kelenjar tiroid tidak menghasilkan hormon tiroid secara maksimal sehingga kadar hormon ini di bawah normal [4].
Ketika tubuh kekurangan hormon tiroid, tubuh menjadi lebih gampang lelah dan penderita juga mengalami penurunan daya konsentrasi [4].
Hiporefleksia pun dapat pula terjadi karena hipotiroidisme ini; selain itu, sejumlah tanda lainnya yang perlu diwaspadai adalah [1,3,4] :
Gejala hipotiroidisme tidak berkembang secara cepat sehingga seringkali penderitanya tak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami hipotiroidisme [4].
3. Penyakit Stroke
Penyakit stroke pun berkaitan dengan perkembangan hiporefleksia pada diri seseorang [1,3].
Stroke sendiri merupakan penyakit yang terjadi saat suplai darah berkurang saat menuju otak, baik karena pembuluh darah pecah atau terjadi sumbatan di pembuluh darah [5].
Otak yang tak menerima cukup darah juga akan mendapat sedikit asupan nutrisi maupun oksigen; sebab darah membawa oksigen dan nutrisi menuju seluruh jaringan tubuh [5].
Gejala-gejala yang umum terjadi pada penderita stroke selain kemungkinan akan hiporefleksia adalah [1,5] :
4. Cedera Tulang Belakang
Cedera pada bagian tulang belakang tertentu adalah salah satu faktor peningkat risiko hiporefleksia [1,3].
Ketika cedera pada tulang belakang terjadi, otomatis saraf mengalami kerusakan [1,3].
Kerusakan saraf ini kemudian berpengaruh terhadap otot-otot tubuh menjadi lemah [1,3].
5. Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre merupakan kondisi saat sistem imun secara keliru menyerang sistem saraf tepi sehingga otot melemah dan lama-kelamaan menjadi lumpuh [1,3,6].
Oleh karena itu, sindrom ini juga dapat meningkatkan risiko hiporefleksia [1,3].
Awalnya, sindrom ini akan menyebabkan kesemutan pada tubuh, terutama bagian tungkai dan tangan di kedua sisi [1,6].
Namun pada beberapa penderita, gejala-gejala ini pun turut dialami [6] :
Ketika gejala berkembang semakin parah, penderita akan mulai kesulitan berjalan, kesulitan menggerakkan anggota tubuh lainnya (termasuk otot wajah sehingga sulit berbicara), hingga kesulitan buang air kecil dan besar [6].
Lama-kelamaan, gejala yang dialami pun meliputi gangguan penglihatan (karena mata tidak bisa digerakkan) serta kesulitan bernafas [6].
6. ALS / Amyotrophic Lateral Sclerosis
ALS atau amyotrophic lateral sclerosis merupakan jenis gangguan saraf yang berakibat pada kelumpuhan [1,7].
ALS biasanya diawali dengan kelemahan otot, kedutan pada otot, hingga gangguan dalam berbicara [7].
Karena hal tersebut, ALS menjadi satu faktor lain yang mendasari kondisi hiporefleksia pada beberapa kasus [1,3].
Penyakit yang semakin berkembang akan menimbulkan gejala yang semakin parah, seperti [7] :
7. CIDP / Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
CIDP adalah kondisi ketika serat-serat saraf otak mengalami kerusakan dan kemudian memengaruhi otot [1,3].
Otot kemudian mulai mati rasa atau kesemutan hingga kehilangan refleks [1,3].
Jika tidak segera mendapatkan penanganan, kondisi ini bisa terus memburuk dan karena bersifat jangka panjang, hal ini berpengaruh negatif terhadap keseharian penderita [1,3].
Hiporefleksia menimbulkan gejala yang berkembang secara bertahap di mana awalnya penderita akan mengalami reaksi otot yang berkurang ketika terdapat rangsangan [1].
Gejala awal biasanya tidak terlalu dirasakan apalagi dicurigai sebagai suatu kondisi yang buruk [1].
Namun, gejala berpotensi terus berkembang menjadi parah karena penderita semakin kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, seperti [1,2,3] :
Otot berisiko kehilangan fungsinya sehingga penderita tak lagi bisa beraktivitas seperti normalnya karena terlalu sulit menggerakkan tubuh [1,3].
Gejala hiporefleksia mirip dengan gejala beberapa penyakit saraf dan penyakit autoimun, maka cukup sulit untuk mendiagnosanya.
Namun, penderita gejala yang mengarah pada hiporefleksia tetap perlu menempuh beberapa metode pemeriksaan sebagai berikut.
Dokter perlu memeriksa fisik pasien secara menyeluruh untuk deteksi awal, termasuk melalui palu refleks untuk tahu seberapa baik otot tubuh pasien dalam merespon rangsangan [1,3].
Selain itu, dokter akan bertanya kepada pasien mengenai riwayat medis pasien dan keluarga pasien [1].
Dokter juga perlu mengetahui kapan pasien mulai merasa otot kurang responsif terhadap rangsangan dan berapa lama kondisi ini dialami pasien [1].
Pasien pun sebaiknya memberi tahu gejala apa saja yang selama ini dialami secara detail kepada dokter [1].
Biopsi adalah pengambilan sampel jaringan tubuh pasien untuk dibawa ke laboratorium supaya tenaga medis dapat memeriksa lebih detail.
Dalam hal ini, dokter akan mengambil sampel jaringan otot atau saraf pasien untuk menganalisanya dan mengidentifikasi penyebab gejala [1,3].
Elektromiografi adalah metode pemeriksaan lainnya yang akan dokter terapkan untuk mengetahui aktivitas listrik otot serta saraf pasien [1,3].
Elektroda atau alat khusus yang mendeteksi aktivitas listrik otot serta saraf akan dokter gunakan [1,3].
Aktivitas listrik tersebut akan nampak dalam bentuk grafik di layar monitor dan dokter baru dapat menentukan hasilnya setelah beberapa waktu [1,3].
Untuk mendeteksi hiporefleksia dan mengidentifikasi penyebabnya, serangkaian tes lain juga harus pasien jalani sesuai rekomendasi dokter.
Beberapa tes penunjang yang dimaksud adalah tes urine, spinal tap, MRI scan, dan tes darah [1,3].
Tujuan penempuhan beberapa metode pemeriksaan lainnya ini adalah untuk membantu dokter dalam menentukan hasil diagnosa.
Penanganan yang diberikan bagi penderita hiporefleksia bertujuan utama meningkatkan respon otot dan berikut ini adalah metode perawatan yang utama.
Dokter akan memberikan obat sesuai dengan kondisi yang mendasari hiporefleksia pasien [1,3].
Dokter biasanya meresepkan obat steroid untuk penderita hiporefleksia yang terjadi karena sindrom Guillain-Barre atau Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP) [1,3].
Obat yang dokter berikan bertujuan mengurangi radang yang menyebabkan gejala-gejala hiporefleksia [1,3].
Sementara itu, penderita hipotiroidisme perlu menempuh terapi pengganti hormon agar gejala dapat mereda [1,3].
Selain obat-obatan, pasien hiporefleksia juga sebaiknya menjalani terapi fisik atau fisioterapi [1,3].
Otot-otot yang melemah perlu dilatih untuk menjadi lebih kuat dan fleksibel kembali.
Prosedur terapi fisik sendiri akan dibantu oleh terapis profesional, termasuk terapi okupasi yang meningkatkan performa fisik pasien [1,3].
Terapi fisik membantu pasien untuk kembali aktif dan bergerak lebih leluasa sehingga aktivitas sehari-hari kembali dapat dilakukan [1,3].
Pasien bahkan juga dapat belajar untuk meningkatkan kemampuan berjalan dan berlari supaya kekuatan otot makin bertambah [1].
Otot tubuh yang kurang responsif dan terus dibiarkan tanpa penanganan dapat membahayakan nyawa penderitanya [1].
Hiporefleksia mampu berakibat pada kecelakaan serius karena ketidakseimbangan tubuh penderita [1].
Terjatuh hingga patah tulang pun merupakan risiko besar karena penderita kemungkinan akan sulit berjalan dengan otot yang lemah [1].
Kelumpuhan adalah kondisi terparah yang perlu diwaspadai sehingga kondisi hiporefleksia perlu segera memperoleh penanganan [1].
Belum diketahui secara pasti bagaimana cara mencegah hiporefleksia.
Namun untuk mencegah beberapa kondisi yang mendasari terjadinya hiporefleksia, seperti halnya hipotiroidisme dan penyakit stroke, penting untuk menjaga pola hidup tetap sehat.
Adanya kondisi kelemahan otot tertentu yang berkaitan dengan hiporefleksia sebaiknya pun segera memperoleh pengobatan.
Deteksi dan penanganan dini akan mengurangi risiko komplikasi hiporefleksia.
1. Alana Biggers, M.D., MPH & Kristeen Cherney. Hyporeflexia. Healthline; 2018.
2. Raymond S. Price & Brett L. Cucchiara. Decision-Making in Adult Neurology: 34 - Hyperreflexia and Hyporeflexia. Elsevier; 2020.
3. Ashley Mauldin, MSN, APRN, FNP-BC, Ahaana Singh, & Lisa Miklush, PhD, RN, CNS. Hyporeflexia: What Is It, Causes, Important Facts, and More. Osmosis; 2022.
4. Nikita Patil; Anis Rehman; & Ishwarlal Jialal. Hypothyroidism. National Center for Biotechnology Information; 2021.
5. Prasanna Tadi & Forshing Lui. Acute Stroke. National Center for Biotechnology Information; 2021.
6. Thy P. Nguyen & Roger S. Taylor. Guillain Barre Syndrome. National Center for Biotechnology Information; 2021.
7. Ryan G. Brotman; Maria C. Moreno-Escobar; Joe Joseph; & Gauri Pawar. Amyotrophic Lateral Sclerosis. National Center for Biotechnology Information; 2021.