Pendarahan merupakan penyebab hipovolemia yang paling umum. Kehilangan banyak darah secara langsung dapat mengakibatkan hipovolemia dengan sangat cepat[1].
Daftar isi
Hipovolemia, disebut juga sebagai deplesi volume atau kontraksi volume, yaitu kondisi saat cairan ekstraseluler tubuh rendah secara abnormal[2].
Hipovolemia ialah penurunan volume darah di dalam tubuh yang mana dapat diakibatkan oleh kehilangan banyak darah atau cairan tubuh[1].
Darah berperan menjaga suhu tubuh tetap stabil, membentuk clot (bekuan darah), dan mengedarkan oksigen serta sari makanan ke sel-sel tubuh. Jika volume darah terlalu rendah, organ tubuh tidak dapat terus bekerja[3].
Umumnya, 60% dari berat badan pria tersusun atas cairan, sementara pada wanita cairan menyusun sekitar 50% berat badan[4].
Shock hipovolemik merupakan kondisi yang mengancam nyawa yang terjadi ketika seseorang kehilangan lebih dari 20% darah atau cairan tubuh. Kehilangan cairan dalam jumlah banyak ini membuat jantung tidak mampu memompa jumlah darah yang mencukupi ke seluruh bagian tubuh[4, 5].
Ketika tubuh kehilangan oksigen dan zat-zat esensial lainnya dengan cepat dan kekurangan darah menyebabkan suplai tidak mencukupi, organ-organ tubuh mulai berhenti bekerja dan gejala shock timbul. Tekanan darah juga dapat merosot hingga mengancam nyawa pasien[5].
Kondisi yang menyebabkan hilangnya darah atau cairan tubuh dapat menyebabkan hipovolemia, demikian juga dengan konsumsi air yang tidak mencukupi[1].
Shock hipovolemik terjadi akibat kehilangan darah atau kehilangan cairan ekstraseluler. Shock hemoragik merupakan shock hipovolemik akibat kehilangan darah[6].
Cedera traumatik merupakan penyebab shock hemoragik paling umum. Penyebab shock hemoragik lainnya meliputi[5, 6]:
Penurunan volume darah dapat juga disebabkan oleh hilangnya cairan tubuh. Dehidrasi (kekurangan cairan) berat dapat mengarah pada hipovolemia karena jaringan tubuh mengambil air dari aliran darah untuk menggantikan cairan yang hilang[1, 5].
Berikut beberapa penyebab hipovolemia akibat hilangnya cairan tubuh[1]:
Pasien dengan edema parah pada ekstremitas (seperti pasien dengan gagal jantung kongestif) dapat mengalami hipovolemia. Edema dapat menyebabkan pasien memiliki terlalu banyak cairan tubuh, tapi pasien dapat mengalami kekurangan cairan pada sistem kardiovaskuler[4].
Jika jumlah cairan tubuh tidak berubah, tapi ukuran sistem kardiovaskuler bertambah lebar, pasien dapat mengalami hipovolemia relatif. [4]
Dalam kasus ini, tidak terdapat kehilangan atau perpindahan cairan, namun peningkatan tuba-tiba lebar pembuluh darah mengarah pada penurunan tekanan dan perfusi yang sama dengan hipovolemia. Kondisi ini menyebabkan pasien kehilangan kesadaran selama sinkop[4].
Beberapa penyebab hipovolemia dapat bersifat fatal, seperti[1]:
Beberapa faktor risiko hipovolemia meliputi[1]:
Gejala awal hipovolemia yang umum meliputi[1, 4]:
Jika kondisi hipovolemia berlanjut, tubuh akan merespon dengan gejala seperti[4]:
Pada beberapa kasus, hipovolemia dapat berakibat fatal atau mengancam nyawa. Berikut beberapa gejala hipovolemia berisiko fatal[1]:
Kurangnya darah dan cairan dalam tubuh dapat mengarah pada beberapa komplikasi berikut[1, 5]:
Tingkat cedera atau kondisi kesehatan tertentu yang dialami pasien dapat menentukan risiko komplikasi.
Pasien yang mengalami diabetes, riwayat stroke, penyakit jantung, paru-paru, atau ginjal, atau menggunakan pengencer darah seperti coumadin atau aspirin memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi[5].
Tidak terdapat tes darah khusus untuk hipovolemia. Pemeriksaan klinis diperlukan untuk mendiagnosis kondisi pasien[4].
Dokter dapat melakukan pengecekan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik pasien, serta menanyakan konsumsi air minum, riwayat diare atau muntah dan output urin[4].
Hipovolemia dapat dikenali dengan denyut jantung cepat, tekanan darah rendah, dan tidak adanya perfusi seperti yang dinilai oleh tanda-tanda kulit (kulit berubah pucat) dan/atau pengisian kembali kapiler pada dahi, bibir, dan bagian bawah kuku. Pasien dapat merasa pusing. lemah, mual, atau sangat haus[7].
Selain pemeriksaan fisik, dokter dapat menggunakan beberapa metode pemeriksaan untuk mengkonfirmasi hipovolemia, antara lain[5]:
Tujuan utama penanganan hipovolemia ialah untuk mengendalikan hilangnya cairan atau darah, menggantikan cairan atau darah tersebut, dan memulihkan sirkulasi
Biasanya untuk mengisi kembali kehilangan darah dan meningkatkan sirkulasi pasien diberikan cairan atau produk darah melalui intravena [1, 5].
Pengobatan juga meliputi merawat luka atau cedera atau penyakit yang menyebabkan hipovolemia[5].
Jika hipovolemia disebabkan oleh suatu cedera, dokter dapat mengambil langkah penanganan untuk mencegah cedera bertambah buruk. Penanganan dapat meliputi stabilisasi tulang belakang, cedera belat, menjaga saluran napas bersih, memberikan kompresi dada dan ventilasi jika diperlukan, dan mengurangi keluarnya darah[1].
Untuk pasien hipovolemia akibat kehilangan cairan tubuh, jumlah tepat kekurangan cairan tidak dapat ditentukan. Sehingga, penanganan prudent untuk dimulai dengan 2 liter larutan kristaloid isotonik diinfuskan secara cepat sebagai upaya untuk memulihkan perfusi jaringan. [6]
Pemulihan kembali cairan dapat dipantau dengan mengukur tekanan darah, pengeluaran urin, status mental dan edema perifer[6].
Rehidrasi oral dengan larutan elektrolit dapat mencukupi untuk mengatasi hipovolemia ringan (terutama ketika disebabkan oleh diare atau muntah), cairan intravena dan produk darah lebih dianjurkan untuk penanganan hipovolemia yang lebih berat.[1]
Selain itu, cairan oral dapat tidak aman untuk mengatasi hipovolemia akibat cedera atau kondisi tertentu yang memerlukan operasi darurat[1].
Berikut beberapa perawatan yang digunakan untuk mengatasi hipovolemia[1, 5]:
Selain itu, dokter juga dapat memberikan obat vasopresor yang meningkatkan kekuatan pemompaan darah untuk meningkatkan sirkulasi, meliputi[1, 5]:
Antibiotik dapat diberikan untuk mencegah shock septik dan infeksi bakteri[5].
Beberapa upaya pencegahan hipovolemia meliputi[8]:
1. Anonim, reviewed by William C. Lloyd III, MD, FACS. Hypovolemia. Health Grades; 2019.
2. McGee S. Evidence-Based Physical Diagnosis. Philadelphia, PA: Elsevier; 2018.
3. Anonim. Hypovolemic Shock. WebMD; 2020.
4. Rod Brouhard, EMT-P, reviewed by Michael Menna, DO. An Overview of Hypovolemia. Very Well Health; 2020.
5. Rachel Nall, MSN, CRNA, reviewed by Judith Marcin, MD. Hypovolemic Shock. Healthline; 2018.
6. Taghavi S, Askari R. Hypovolemic Shock. [Updated 2020 Jul 20]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
7. Alpert JS, Ewy GA. Manual of Cardiovascular Diagnosis and Therapy. Lippincott Williams & Wilkins. 2002.
8. Nicole A, et. al. Hypovolemic Shock. Sanford College of Nursing; 2020.