Daftar isi
Katatonia merupakan sebuah kondisi gangguan psikomotor yang memengaruhi koneksi antara fungsi mental serta gerakan tubuh [1,4,8].
Oleh sebab itu, penderita katatonia akan mengalami gangguan kemampuan gerakan tubuh sehingga tak tampak seperti normalnya.
Berbagai gejala pun dapat terjadi pada penderita katatonia di mana stupor adalah gejala utamanya.
Stupor sendiri adalah sebuah kondisi kesadaran yang menurun pada seseorang sehingga orang tersebut akibatnya tak mampu memberikan respon apapun, terutama pada sebuah percakapan [12].
Penderita katatonia dengan gejala berupa stupor biasanya dianggap tak sadar walaupun masih merasakan nyeri sebagai respon.
Koma adalah salah satu kondisi yang terjadi pada penderita katatonia dalam hal ini [11].
Katatonia pun dapat bertahan selama beberapa jam hingga berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan penderitanya dapat mengalami gejala cukup sering setelah episode gejala awal.
Tinjauan Katatonia merupakan sebuah kondisi ketika fungsi mental dan gerakan terpengaruh karena gangguan psikomotor terjadi.
Katatonia dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu sebagai berikut menurut DSM-5 [1,4,5].
Selain kondisi-kondisi di atas, terdapat sejumlah faktor lain yang mampu menyebabkan katatonia.
Di bawah ini adalah beberapa gangguan kesehatan fisik yang dapat terjadi pada orang-orang tanpa riwayat gangguan mental [1,4] :
Selain itu, terdapat sejumlah faktor lain lagi yang mampu menjadi penyebab katatonia, yaitu :
Ketidaknormalan atau gangguan fungsi otak dapat menjadi salah satu penyebab katatonia kronis.
Kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter (senyawa otak pembawa pesan dari satu neuron ke neuron berikutnya) diyakini oleh para ahli sebagai penyebab terjadinya katatonia.
Kadar dopamine yang berkurang atau menurun secara tiba-tiba dan signifikan menjadi alasan lain katatonia terjadi.
Teori lainnya pun menunjukkan bahwa GABA (gamma-aminobutyric acid) yang mengalami penurunan adalah penyebab lain dari katatonia [1,4,7].
Faktor lain yang dapat menjadi penyebab katatonia adalah penggunaan obat tertentu, seperti obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit mental.
Segera konsultasikan dengan dokter mengenai alternatif obat yang tidak lagi menimbulkan katatonia.
Tak hanya penggunaan obat tertentu, berhenti dari penggunaan obat seperti clozapine juga dapat menjadi pemicu timbulnya kondisi katatonia [4,7].
Segera cari bantuan medis untuk masalah ini dan konsultasikan jenis obat apa yang lebih baik untuk menggantikannya.
Tinjauan Faktor penggunaan obat tertentu, faktor organik, serta sejumlah kondisi medis seperti gangguan psikotik, gangguan depresif, gangguan perkembangan saraf, gangguan bipolar, gangguan paraneoplastik langka, gangguan autoimun dan defisiensi folat otak mampu menyebabkan katatonia.
Katatonia terklasifikasi menjadi tiga jenis kondisi, yaitu antara lain :
Pada kondisi jenis ini, penderita masih dapat bergerak, namun gerakan tubuhnya cenderung impulsif dan tidak memiliki tujuan [1,3,4,7].
Penderita excited catatonia akan tampak gelisah pada setiap gerakan yang ia lakukan dan bersifat agresif.
Tidak jarang kasus excited catatonia juga menunjukkan penderitanya yang mengigau dan bahkan suka meniru gerakan orang lain.
Penderita biasanya lebih sering menirukan gerakan orang-orang di sekitarnya yang kerap membantu mereka.
Katatonia jenis ini adalah yang paling umum di mana kondisi ini ditandai dengan penderita yang tidak akan merespon sama sekali ketika lawan bicara mengajaknya bercakap-cakap [4,7].
Bahkan penderita katatonia akinetik cenderung memiliki tatapan kosong setiap berinteraksi dengan orang lain.
Kalaupun terdapat reaksi dari penderita, maka hal itu berupa kalimat pengulangan dari apa yang lawan bicaranya katakan.
Pada sejumlah kasus, penderita katatonia jenis ini tidak bergerak sama sekali ketika berada duduk atau berbaring dengan posisi yang tidak seperti normalnya.
Jenis katatonia satu ini terjadi saat gejala yang terjadi justru menjadi pemicu gangguan kesehatan lainnya [1,4].
Pada malignant catatonia, penderita berpotensi mengalami perubahan suhu tubuh drastis yang berbahaya.
Tekanan darah, detak jantung dan tempo pernapasan penderita juga dapat ikut terpengaruh dan berubah tidak normal.
Jika dibiarkan terlalu lama, kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya mampu berakibat pada kegagalan fungsi ginjal, penggumpalan darah, hingga dehidrasi serius.
Tinjauan Terdapat tiga jenis kondisi katatonia, yaitu excited catatonia, akinetic catatonia, dan malignant catatonia.
Katatonia dapat menimbulkan sejumlah gejala utama dan umum, yaitu antara lain [1,4,7,8] :
Stupor adalah istilah untuk kondisi ketika penderita tak berbicara, tak bergerak, dan menatap kosong.
Gejala-gejala yang telah disebutkan tersebut, jauh lebih berpotensi dijumpai pada orang-orang penderita retarded catatonia.
Beberapa gejala yang timbul menurut jenis kondisi katatonia antara lain adalah sebagai berikut.
Pada kondisi excited catatonia, penderita cenderung memiliki gerakan yang berlebihan dan tidak wajar, seperti [8] :
Gejala pada kasus malignant catatonia, antara lain adalah [9] :
Pada beberapa kasus, laju pernapasan, tekanan darah, hingga detak jantung juga mengalami fluktuasi di mana bila sampai hal ini terjadi, bantuan medis diperlukan secepat mungkin.
Tinjauan Gejala umum katatonia antara lain adalah tidak bicara, tatapan kosong, tidak merespon saat orang lain mengajak interaksi, agitasi, katalepsi, ekolalia, dan ekopraksia. Pada beberapa jenis katatonia tertentu, delirium, demam, dan kegelisahan dapat dialami penderita.
Ketika gejala-gejala yang telah disebutkan tampak pada teman atau anggota keluarga, segera bawa ke dokter untuk pemeriksaan.
Walau tidak terdapat tes atau pemeriksaan khusus untuk katatonia, beberapa metode diagnosa di bawah ini adalah yang paling umum digunakan dokter.
Paling awal dan utama untuk dilakukan oleh seorang dokter dalam memeriksa penderita gejala katatonia dan emmastikan kondisi tersebut adalah melalui pemeriksaan fisik [1,4,7,8,9].
Pemeriksaan fisik juga biasanya tidak perlu didukung dengan sejumlah tes laboratorium.
Tes ini cukup umum digunakan sebagai metode diagnosa katatonia [1,7,8].
Terdapat tiga pertanyaan serta nilai (0-3) yang berlaku pada prosedur pemeriksaan ini.
Jika nilai 0, maka itu artinya pada kondisi pasien tidak terdapat gejala katatonia.
Sementara bila nilai 3, hal ini menunjukkan keberadaan gejala katatonia.
Itu artinya, nilai tinggi pada tes BFCRS pada pasien menunjukkan bahwa reaksi terhadap obat benzodiapine nantinya jauh lebih baik.
Selain BFCRS dan juga pemeriksaan fisik, dokter kemungkinan akan menyarankan pasien untuk menjalani tes EEG [1,4].
EEG adalah prosedur pemeriksaan yang bertujuan untuk mengeliminasi berbagai kemungkinan penyakit lain dengan gejala yang mirip dengan katatonia.
Melalui EEG, kondisi katatonia dapat dikonfirmasi dan berbagai penyakit lain seperti perdarahan otak, tumor, kejang, serta gangguan otot lain dapat disingkirkan.
Tes darah merupakan tes penunjang yang kemungkinan dianjurkan oleh dokter untuk menguatkan hasil diagnosa [4,9].
Melalui pemeriksaan darah, dokter dapat mengetahui adanya masalah pada pembuluh darah di organ paru pasien yang berpotensi memicu gejala katatonia.
Dari hasil tes darah juga akan dapat diketahui adanya ketidakseimbangan elektrolit yang menjadi penyebab fungsi mental pasien mengalami perubahan.
Apabila memang diperlukan, dokter baru akan merekomendasikan tes pemindaian pada pasien, yaitu berupa MRI scan atau CT scan [1,4,7,8,9].
Salah satu atau kedua metode ini dapat membantu dokter mendiagnosa kondisi otak pasien.
Melalui hasil diagnosa ini, dokter dapat mengeliminasi adanya kemungkinan pembengkakan maupun tumor otak.
Tinjauan Metode diagnosa yang katatonia meliputi pemeriksaan fisik, Bush-Francis Catatonia Rating Scale, EEG, tes darah, dan tes pemindaian.
Penanganan untuk penderita katatonia dibagi menjadi dua metode, yaitu umumnya melalui pemberian obat-obatan dan terapi khusus.
Untuk menangani katatonia, biasanya berikut ini deretan jenis obat yang akan diresepkan oleh dokter [1,4,7,8,10] :
Golongan obat-obatan ini diketahui mampu meningkatkan GABA pada otak pasien.
Dengan kata lain, teori mengenai penurunan kadar GABA pada otak yang menyebabkan katatonia itu benar adanya.
Beberapa jenis obat lain seperti di bawah ini pun kemungkinan dokter resepkan, tergantung dari kebutuhan dan kondisi menyeluruh tubuh pasien [11].
Bila dalam waktu 5 hari penggunaan obat-obat ini pasien tak menunjukkan reaksi apapun terhadap obat, dokter biasanya akan memberikan metode pengobatan lainnya.
Alternatif pengobatan juga akan diberikan ketika gejala pasien justru memburuk setelah menggunakan obat-obatan tersebut.
Terapi khusus untuk kondisi katatonia adalah ECT (electroconvulsive therapy/terapi elektrokonvulsif) [1,4,7,8,9,10,11].
Terapi ini direkomendasikan oleh tenaga medis dan pasien perlu menempuhnya dengan bantuan dari tenaga medis.
Tindakan medis yang aman dan tidak menimbulkan rasa sakit ini harus dilakukan di rumah sakit dengan pengawasan langsung dari pihak medis.
Dokter akan membius pasien lebih dulu, baru kemudian mesin khusus pengirim kejut listrik ke otak digunakan.
Pada prosedur ini, otak akan mengalami kejang sesaat (kurang lebih 1 menit).
Kejang ini merupakan efek yang akan mengubah jumlah neurotransmitter pada otak dan meredakan gejala katatonia pada pasien.
Terapi elektrokonvulsif juga menjadi solusi bagi pasien yang dalam waktu 1 minggu tak kunjung merespon obat benzodiazepine dengan baik.
Metode perawatan kombinasi antara terapi elektrokonvulsif dan benzodiazepine dapat juga digunakan oleh dokter [1,10,11].
Kombinasi keduanya sangat direkomendasikan khusus bagi para penderita malignant catatonia.
Tinjauan Penanganan katatonia pada umumnya meliputi tiga metode, pemberian obat-obatan, terapi elektrokonvulsif, dan kombinasi keduanya (benzodiazepine dan terapi elektrokonvulsif).
Ketika kondisi katatonia tak segera memperoleh penanganan yang benar, sejumlah risiko komplikasi di bawah ini perlu diwaspadai [1] :
Penyebab pasti dari kondisi katatonia hingga kini belum diketahui secara pasti, oleh sebab itu pencegahan tidak memungkinkan.
Namun untuk meminimalisir risiko katatonia, hindari penggunaan obat neuroleptik secara berlebihan.
Contoh obat neuroleptik yang perlu dihindari penggunaannya adalah chlorpromazine; bahkan ketika gejala katatonia telah timbul, penggunaan obat ini mampu memperburuk kondisi penderita.
Tinjauan Penyebab katatonia belum diketahui jelas sehingga langkah pencegahan belum tersedia secara pasti. Namun, dalam meminimalisir risiko katatonia, penggunaan obat neuroleptik dapat dihindari atau dibatasi.
1. Jeffrey P. Burrow; Benjamin C. Spurling; & Raman Marwaha. Catatonia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Elsi Rahmini, Deni K. Sunjaya, & Guswan Wiwaha. Pengembangan Registri Psikotik Berbasis Rumah Sakit pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Jurnal Sains dan Kesehatan; 2018.
3. Agus Samsul Hidayat. Laporan Hasil Penelitian Gambaran Predisposisi Berhubungan dengan Terjadinya Gangguan Skizoprenia di Rumah Sakit Khusus Daerah Duren Sawit Jakarta Timur. Perpustakaan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
4. Sean A Rasmussen, Michael F Mazurek, & Patricia I Rosebush. Catatonia: Our current understanding of its diagnosis, treatment and pathophysiology. World Journal of Psychiatry; 2016.
5. Albert Ho, David Michelson, Gregory Aaen, & Stephen Ashwal. Cerebral folate deficiency presenting as adolescent catatonic schizophrenia: a case report. Journal of Child Neurology; 2010.
6. G Northoff, R Steinke, C Czcervenka, R Krause, S Ulrich, P Danos, D Kropf, H Otto, & B Bogerts. Decreased density of GABA-A receptors in the left sensorimotor cortex in akinetic catatonia: investigation of in vivo benzodiazepine receptor binding. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry; 1999.
7. John Bilbily, Betsy McCollum, & Jose de Leon. Catatonia Secondary to Sudden Clozapine Withdrawal: A Case with Three Repeated Episodes and a Literature Review. Case Reports in Psychiatry; 2017.
8. Jonathan A. Brake, MD and Sabina Abidi, MD, FRCPC. A Case of Adolescent Catatonia. Journal of the Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry; 2010.
9. Lurdes Tse, Alasdair M. Barr, Vanessa Scarapicchia, & Fidel Vila-Rodriguez. Neuroleptic Malignant Syndrome: A Review from a Clinically Oriented Perspective. Current Neuropharmacology; 2015.
10. Federica Luchini, Pierpaolo Medda, Michela Giorgi Mariani, Mauro Mauri, Cristina Toni, & Giulio Perugi. Electroconvulsive therapy in catatonic patients: Efficacy and predictors of response. World Journal of Psychiatry; 2015.
11. Pascal Sienaert, Dirk M. Dhossche, Davy Vancampfort, Marc De Hert, & Gábor Gazdag. A Clinical Review of the Treatment of Catatonia. Frontiers in Psychiatry; 2014.
12. Walker HK, Hall WD, & Hurst JW. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990.