Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Alergi obat merupakan suatu reaksi abnormal dari sistem imun seseorang terhadap obat. Obat apapun, baik yang dijual bebas maupun yang diresepkan, ataupun obat herbal, dapat menimbulkan alergi obat. Tanda
Daftar isi
Alergi obat ialah reaksi abnormal sistem kekebalan tubuh terhadap pengobatan. Berbagai jenis obat dapat memicu alergi obat. Namun, biasanya alergi obat lebih spesifik pada jenis obat tertentu[1, 2].
Alergi obat mengacu pada reaksi hipersensitifitas obat termediasi secara imunologis. Reaksi hipersensitif ini dapat berupa termediasi imunoglobulin E (IgE) atau tidak termediasi IgE[3].
Pada alergi obat, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap obat dan menimbulkan gejala alergi, seperti ruam, demam, dan kesulitan bernapas.
Alergi obat dapat menimbulkan masalah serius, tidak hanya karena gejala yang diakibatkan, namun juga karena alergi dapat mencegah atau menghalangi penggunaan suatu obat yang lebih efektif untuk mengatasi kondisi medis[4, 5].
Alergi obat termasuk kondisi yang tidak umum, kurang dari 5-10% dari reaksi negatif obat disebabkan oleh alergi obat murni. Sisanya merupakan efek samping dari obat[3, 4].
Banyak orang yang sensitif terhadap obat, namun tidak semua kasus sensitif tersebut termasuk reaksi alergi obat. Beberapa reaksi negatif obat merupakan efek samping, gejala umum meliputi sakit perut, diare, muntah, demam, dan reaksi fotosensitif[5].
Akan tetapi, alergi obat berbeda dari efek samping. Efek samping tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh dan dapat dicegah dengan menurunkan dosis obat. Sedangkan alergi obat melibatkan sistem kekebalan tubuh dan obat dalam dosis kecil masih menimbulkan reaksi[5].
Tubuh kita memiliki sistem kekebalan (sistem imun) yang bertugas melindungi tubuh dari materi asing, seperti bakteri, virus, atau substansi berbahaya.
Pada penderita alergi obat, sistem kekebalan tubuh salah mengenali obat sebagai salah satu materi asing berbahaya. Sehingga tubuh mulai membentuk antibodi dan melepaskan zat pertahanan dari materi asing, mekanisme ini disebut sebagai respon imun[1, 4].
Respon imun mengarah pada peningkatan inflamasi, yang mana dapat menyebabkan gejala seperti ruam, demam, atau gangguan pernapasan. Respon imun dapat terjadi saat pertama kali minum obat, atau dapat terjadi setelah beberapa kali minum obat, yang mana sebelumnya tidak menimbulkan respon imun[1, 4].
Beberapa reaksi alergi dapat dihasilkan dari berbagai proses yang berbeda. Peneliti meyakini bahwa beberapa obat dapat berikatan secara langsung dengan jenis sel darah putih spesifik dalam sistem kekebalan tubuh, yang disebut sebagai sel T.
Pengikatan tersebut mulai bergerak dengan selanjutnya pelepasan zat kimia yang dapat menyebabkan reaksi alergi saat pertama kali minum obat[1].
Pasien juga dapat tidak mengalami reaksi alergi saat pertama terpapar obat. Namun dikonsumsinya sejumlah kecil obat sudah mencukupi bagi sistem kekebalan tubuh untuk mengenali dan membuat antibodi terhadap obat tersebut. [1]
Setelah terbentuknya antibodi, tubuh menunjukkan reaksi alergi setelah pemaparan pertama atau setelah beberapa kali minum obat[1].
Alasan seserang mengembangkan alergi obat tertentu biasanya tidak diketahui, tapi faktor genetik diduga memiliki peran signifikan. Umumnya, alergi obat tidak terdeteksi hingga pasien mengkonsumsi atau terpapar obat tersebut dan mengalami reaksi alergi[5].
Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi obat, antara lain[1]:
Berbagai jenis obat menimbulkan efek yang berbeda pada setiap orang. Alergi obat dapat disebabkan oleh berbagai jenis obat, meski demikian terdapat beberapa obat yang lebih umum menimbulkan alergi, di antaranya[1, 4]:
Gejala alergi obat dapat bersifat sangat ringan sehingga hampir tidak terasa, misalnya seperti sedikit ruam kulit[4].
Gejala dan tanda alergi obat juga dapat bersifat berat dan sering terjadi dalam satu jam setelah meminum obat. Reaksi lain, biasanya ruam kulit, dapat terjadi dalam beberapa jam, hari, atau minggu kemudian[1].
Gejala umum dari alergi obat meliputi[1, 2]:
Alergi obat berat dapat berakibat fatal, dapat menyebabkan anafilaksis. Anafilaksis yaitu reaksi seluruh tubuh terhadap obat atau alergen lainnya yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat mengancam nyawa. Anafilaksis menyebabkan disfungsi sistem tubuh secara menyeluruh[1, 2].
Reaksi anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan menit setelah paparan/konsumsi obat. Pada beberapa kasus dapat terjadi dalam 12 jam setelah konsumsi. Anafilaksis memerlukan pertolongan medis segera karena dapat berakibat fatal[3, 4].
Gejala anafilaksis meliputi[1, 4]:
Beberapa reaksi alergi obat yang kurang umum terjadi beberapa hari atau minggu setelah pemaparan terhadap obat dan dapat tetap dirasakan selama beberapa waktu setelah berhenti menggunakan obat. Kondisi tersebut meliputi[1]:
Beberapa obat dapat mengakibatkan tanda dan gejala yang menyerupai atau sama dengan gejala alergi obat, namun reaksi obat ini tidak dipicu oleh aktivitas sistem imun. Kondisi ini disebut reaksi hipersensitif non alergi atau reaksi obat semi alergi[1, 4].
Berikut obat yang umumnya berkaitan dengan kondisi tersebut[1, 4]:
Obat-obat tersebut dapat menimbulkan reaksi seperti anafilaksis dan gejala yang sama fatalnya dengan anafilaksis. Penanganan kondisi ini sama dengan penanganan pasien anafilaksis[4].
Berikut yang perlu dilakukan sebagai tindakan pertolongan pertama pada alergi obat[6]:
Jika perawatan di rumah tidak membantu meringankan gejala atau semakin bertambah buruk, sebaiknya menemui dokter[6].
Pasien dianjurkan segera menemui dokter jika mengalami gejala berikut[6]:
Dokter akan mendiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami. Pada kebanyakan kasus, dokter akan menduga bahwa kondisi pasien merupakan alergi obat jika pasien memiliki riwayat reaksi alergi setelah penggunaan obat tertentu[5].
Selain itu, dokter dapat melakukan tes diagnostik untuk mengkonfirmasi kondisi pasien. Berikut beberapa tes diagnostik yang dapat dilakukan[3, 5, 7]:
Tes tusukan kulit dilakukan untuk menentukan pasien mengalami alergi obat atau tidak. Misalnya tes kulit penisilin yang dilakukan dengan menginjeksikan sejumlah kecil dari sebagian molekul penisilin.
Jika pasien memiliki alergi penisilin, akan timbul reaksi pada area injeksi yang dapat diukur.
Hasil positif tes tusukan kulit ditentukan dengan rata-rata diameter bilur >3mm (berkaitan dengan respon cepat) dibandingkan dengan kontrol negatif setelah 15 hingga 20 menit.
Tes patch digunakan pada pusat khusus untuk diagnosis reaksi hipersensitif obat lambat. Pada tes ini sebuah patch yang tertanam dengan alergen yang diduga dipasang pada punggung pasien selama 1-2 hari dan hasil diamati setelah 1 hari dan/atau 2-3 hari.
Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan ada tidaknya kandungan antibodi atau mediator di dalam darah.
Mediator berupa zat kimiawi yang dilepas sebagai respon imun (histamine, tryptase, leukotriene) ke dalam darah perifer, sekresi hidung atau bronkus, atau urin.
Kadar dapat diukur pada kondisi normal dan setelah tantangan alergen. Salah satunya ialah tes pengukuran kadar triptase total serum.
Pengukuran kadar IgE spesifik alergen dilakukan dengan tes radioallergosorbent (RAST) atau radioimmunoassay (RIA).
Tes ini tersedia secara komersial dalam bentuk ImmunoCAP tes fluorescent enzyme immunoassay (FEIA) untuk sejumlah jenis obat, meliputi penicilloyl, amoxicilloyl, ampicilloyl, ceflaclor, protamine, insulin, dan suxamethonium.
Pada tes ini pasien diberikan obat yang diduga sebagai alergen (penyebab alergi) dalam jumlah kecil, lalu jumlah pemberian obat ditingkatkan kemudian. Tes ini dilakukan untuk mengkonfirmasi obat memicu reaksi alergi dan dilakukan di bawah pengawasan dokter.
Saat ini belum ada perawatan yang dapat menyembuhkan alergi obat dalam jangka panjang. Imunoterapi spesifik alergen (desensitisasi) bukan suatu opsi perawatan untuk alergi obat[7].
Pengobatan umumnya ditujukan untuk mengatasi gejala. Beberapa obat dapat membantu menghambat respon imun dan mengurangi gejala, meliputi[4, 8]:
Histamin dilepaskan ketika sistem kekebalan tubuh mengenali suatu substansi sebagai alergen. Histamin memicu gejala alergi seperti bengkak, gatal, atau iritasi.
Obat antihistamin menghambat produksi histamin sehingga dapat membantu meredakan gejala reaksi alergi. Antihistamin tersedia dalam bentuk pil, tetes mata, krim, dan spray hidung.
Kortikosteroid membantu mengurangi inflamasi akibat alergi obat yang dapat mengarah pada pembengkakan saluran pernapasan. Kortikosteroid tersedia dalam bentuk pil, spray hidung, tetes mata, dan krim.
Obat ini juga terdapat dalam bentuk serbuk atau cairan untuk digunakan di dalam inhaler dan cairan untuk injeksi atau untuk digunakan dalam nebulizer.
Jika alergi obat menyebabkan napas bersuara atau batuk dokter dapat menganjurkan bronkodilator, seperti albuterol dan combivent.
Obat ini berfungsi melebarkan saluran pernapasan sehingga membantu pasien bernapas dengan lebih mudah. Bronkodilator terdapat dalam bentuk cairan dan serbuk untuk digunakan dalam inhaler atau nebulizer.
Suntikan epinefrin diberikan pada pasien dengan gejala anafilaksis. Kondisi ini memerlukan pertolongan medis segera setelah suntikan epinefrin diberikan.
Reaksi alergi terhadap obat biasanya membatasi diri dan hanya berlangsung selama beberapa hari setelah penggunaan obat dihentikan. Meski demikian, pada beberapa kasus reaksi yang lebih berat dapat terjadi[5].
Pada kasus yang langka, reaksi alergi kulit dapat menyebabkan bekas pengelupasan pada kulit, kondisi yang disebut nekrolisis epidermal toksik. Pasien yang mengalami komplikasi ini memerlukan perawatan seperti pasien luka bakar[5].
Menghindari obat tertentu yang menyebabkan alergi atau menggunakan obat lain untuk menggantikan obat tersebut biasanya menjadi solusi mencegah timbulnya reaksi alergi[5, 7].
Berikut beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk mencegah alergi obat[1, 5]:
1. Anonim. Drug Allergy. Mayo Clinic; 2020.
2. Anonim. Drug Allergy. American Academy of Allergy, Asthma, & Immunology; 2020.
3. Bernard Thong MBBS, MRCP (UK), FRCP (Edin), FAAAAI and Daniel Vervloet MD FAAAAI. Drug Allergies. World of Allergy; 2014.
4. Anonim, reviewed y Aleah Rodriguez, PharmD. What is a Drug Allergy? Healthline; 2018.
5. Anonim. Medication Allergy, What is It? Harvard Health Publishing, Harvard Medical School; 2019.
6. Anonim, reviewed by Carol DerSarkissian. Drug Allergy Treatment. WebMD; 2020.
7. InformedHealth.org [Internet]. Drug Allergies: Overview. Cologne, Germany: Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG); 2006.
8. Anonim, reviewed by Carol DerSarkissian. Drug Allergies. WebMD; 2019.