Daftar isi
Hipersomnia merupakan sebuah kondisi ketika seseorang mengalami rasa kantuk berlebih yang bahkan terjadi setelah tidur sangat lama sekalipun [1,3,4].
Oleh sebab itu, hipersomnia disebut dengan istilah lain, yaitu EDS atau excessive daytime sleepiness (rasa kantuk di siang hari yang berlebihan).
Hal ini ditandai utamanya oleh rasa lelah yang terlalu ekstrem di siang hari walau malam harinya sudah tidur cukup bahkan cenderung lama.
Seseorang positif mengalami hipersomnia bila ia mengalami tanda-tanda hipersomnia selama kurang lebih 3 bulan [3].
Hipersomnia sendiri pun terdiri dari dua jenis kondisi, yaitu primer dan sekunder di mana hipersomnia sekunder menandakan bahwa kondisi ini adalah efek dari kondisi medis tertentu.
Tinjauan Hipersomnia atau EDS (excessive daytime sleepiness) merupakan kondisi ketika rasa lelah dan kantuk ekstrem dialami bahkan ketika sudah beristirahat cukup dan tidur sangat lama.
Hipersomnia dibedakan menjadi dua jenis kondisi, yaitu primer dan sekunder [1,4].
Pada kondisi hipersomnia primer, hipersomnia terjadi tanpa adanya kondisi medis yang menyebabkan dan mengakibatkannya.
Hipersomnia primer umumnya pun ditandai hanya dengan kelelahan tubuh yang berlebihan.
Otak manusia memiliki bagian yang berfungsi utama sebagai pengatur pola tidur dan bangun di mana jika bagian otak ini terganggu, hipersomnia primer dapat terjadi.
Pada kondisi hipersomnia sekunder, terdapat sejumlah kondisi medis yang menyebabkannya.
Beberapa penyakit yang dapat memicu penderitanya mengidap hipersomnia antara lain adalah :
Hipersomnia dapat menjadi salah satu gejala dari kondisi-kondisi medis tersebut dan mampu menyebabkan penderitanya mengalami sulit tidur di malam hari.
Karena sulit tidur setiap malam dan tidak mendapatkan cukup istirahat, hal ini berpengaruh pada kondisi tubuh selama siang hari.
Tingkat kelelahan yang dirasakan di siang hari akan jauh lebih tinggi daripada biasanya, namun hipersomnia sendiri berbeda dari narkolepsi.
Penderita hipersomnia dapat tetap terjaga walau tubuh sangat lelah dan merasakan kantuk yang berlebihan.
Sementara narkolepsi adalah kondisi neurologis yang mampu menyebabkan penderitanya tiba-tiba bisa tertidur di mana saja tanpa bisa mengendalikan rasa kantuk.
Tinjauan Hipersomnia terdiri dari dua kondisi, yaitu jenis hipersomnia primer dan hipersomnia sekunder. Hipersomnia primer atau idiopatik terjadi tanpa adanya penyebab medis, sementara hipersomnia sekunder terjadi sebagai akibat dari kondisi medis tertentu.
Sejumlah kondisi di bawah ini mampu menjadi faktor yang meningkatkan risiko hipersomnia, yaitu [1,3,4,7] :
Tinjauan Hipersomnia dapat terjadi karena berbagai macam faktor, seperti cedera kepala, penyakit tertentu, penyalahgunaan narkotika dan alkohol, gangguan saraf, hingga efek dari penggunaan obat tertentu.
Rasa lelah yang terus terjadi adalah gejala utama kondisi hipersomnia.
Namun selain rasa lelah ekstrem yang dirasakan, terdapat beberapa gejala lain yang penting dikenali dan diwaspadai [1,7] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Hipersomnia pada dasarnya tidak sampai mengancam jiwa, namun bila sampai aktivitas sehari-hari terganggu karenanya, hal ini memerlukan penanganan dengan segera.
Terlebih hipersomnia yang terjadi pada para pengendara, hal ini dapat meningkatkan risiko kecelakaan karena tak fokus atau bahkan tertidur saat di jalan.
Maka dari itu, penting untuk segera ke dokter dan berkonsultasi bila gejala-gejala hipersomnia mulai timbul.
Tinjauan Penderita hipersomnia mengalami kelelahan dan rasa kantuk yang berlebihan. Namun selain itu, penderita juga akan mengalami sejumlah gejala seperti kecemasan, daya ingat menurun, melambatnya cara berpikir dan berbicara, penurunan selera makan, mudah marah, tidak berenergi, sering tidur siang, dan sulit bangun tidur bahkan usai tidur panjang.
Ketika memeriksakan diri ke dokter, beberapa metode diagnosa di bawah ini perlu dilakukan untuk memastikan hipersomnia dan juga faktor yang menyebabkannya.
Dokter akan terlebih dulu memeriksa fisik pasien dan memberikan sejumlah pertanyaan terkait riwayat medis pasien.
Dokter perlu tahu apa saja riwayat medis pasien dan keluarga pasien, juga riwayat gejala yang selama ini dialami.
Sementara itu, pemeriksaan fisik yang umumnya diterapkan oleh dokter bertujuan untuk menguji tingkat kewaspadaan pasien.
Dalam metode pemeriksaan hipersomnia, dokter berkemungkinan besar menggunakan metode sleep diary.
Sleep diary adalah suatu metode di mana pasien diminta untuk membuat catatan waktu tidur dan bangunnya setiap hari dalam waktu tertentu sesuai dengan permintaan dokter.
Melalui sleep diary pasien, dokter dapat mengetahui pola dan durasi tidur untuk kemudian membuat diagnosa.
Pada prosedur pemeriksaan ini, pasien akan diminta oleh dokter untuk memberikan penilaian secara mandiri mengenai rasa kantuk yang sehari-hari dialami.
Penilaian ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi seberapa besar rasa kantuk berpengaruh pada kegiatan harian pasien.
Dari penilaian ini juga, dokter dapat menentukan seberapa parah kondisi hipersomnia pasien.
Pada prosedur diagnosa ini, dokter mewajibkan pasien menginap di klinik khusus gangguan tidur semalam.
Dokter akan melakukan pemeriksaan aktivitas otak pada saat pasien dalam kondisi tidur.
Tidak hanya aktivitas otak, dokter juga akan memeriksa detak jantung, kadar oksigen, fungsi pernafasan, serta pergerakan kaki dan mata pasien selama tidur melalui sebuah mesin.
Tes ini adalah salah satu tes penunjang yang juga penting untuk pasien tempuh supaya dokter dapat mengetahui kadar kantuk pasien.
Melalui tes ini, dokter juga akan melakukan pengecekan saat pasien tidur siang untuk mengetahui jenis kondisi tidur seperti apa yang dialami.
Biasanya, multiple sleep latency test adalah metode pemeriksaan yang perlu ditempuh pasien usai polysomnogram.
Tinjauan Metode diagnosa yang biasanya digunakan untuk mendeteksi hipersomnia meliputi pemeriksaan fisik dan riwayat gejala, multiple sleep latency test, sleep diary, polysomnogram, dan Epwroth Sleepiness Scale.
Penanganan hipersomnia disesuaikan dengan kondisi medis yang menjadi penyebabnya.
Namun rata-rata, dokter dapat mengatasi hipersomnia dengan meresepkan obat yang biasanya digunakan untuk menangani narkolepsi.
Tak hanya itu, dokter juga dapat memberikan sejumlah saran dan perencanaan untuk membantu pasien mengubah gaya hidupnya.
Beberapa jenis obat yang umumnya diberikan oleh dokter ini adalah golongan stimulan [1,3,6,7] :
Tujuan pemberian obat-obatan tersebut adalah menyegarkan tubuh pasien dan mengurangi rasa kantuk berlebihan.
Selain pemberian obat, dokter juga akan memberikan sejumlah saran perawatan yang bisa dilakukan secara mandiri di rumah, seperti [1,3] :
Tinjauan Pemberian obat-obatan dan perubahan gaya hidup adalah metode penanganan bagi penderita hipersomnia.
Untuk kasus hipersomnia primer atau yang juga dapat diistilahkan sebagai hipersomnia idiopatik, berbagai bahaya dapat mengancam penderitanya.
Rasa kantuk dan tubuh yang kelelahan secara berlebihan dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari bila tak segera diatasi.
Karena kemungkinan untuk tertidur cukup besar, terutama saat bekerja maupun berkendara, maka risiko komplikasi berupa kecelakaan pun tergolong tinggi [8].
Penderita hipersomnia juga biasanya membutuhkan waktu tidur lebih lama dari orang-orang pada normalnya.
Waktu tidur sehari-hari yang lebih lama dari normalnya dapat membuat penderita sulit dalam menjalankan kegiatannya dan juga dalam menjaga hubungan sosial.
Walau telah mendapatkan pengobatan, gejala hipersomnia biasanya persisten dan kronik sehingga cukup sulit bagi penderitanya mengatasi gangguan saat beraktivitas.
Hipersomnia tidak dapat dicegah, khususnya untuk kasus hipersomnia primer.
Namun untuk kasus hipersomnia sekunder, meminimalisir risiko penyakit yang mampu menimbulkan gejala berupa hipersomnia dapat dilakukan.
Beberapa upaya pencegahan tersebut antara lain adalah [3] :
Tinjauan Untuk meminimalisir kondisi hipersomnia, gaya hidup yang sehat dan baik perlu diterapkan. Untuk mencegah hipersomnia sekunder, berbagai kondisi medis yang menyebabkannya perlu diatasi segera.
1. Yves Dauvilliers, MD, PhD & Alain Buguet, MD, PhD. Hypersomnia. Dialogues in Clinical Neuroscience; 2005.
2. Adelina Haryono, Almitra Rindiarti, Alia Arianti, & Anandika Pawitri. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri; 2009.
3. Pradeep C. Bollu, MD, Sivaraman Manjamalai, MD, Mahesh Thakkar, PhD, & Pradeep Sahota, MD. Hypersomnia. Missouri Medicine; 2018.
4. Maurice M. Ohayon, MD, DSc, PhD. From wakefulness to excessive sleepiness: what we know and still need to know. HHS Public Access; 2009.
5. Geoffrey Lawrence & Rexford Muza. Assessing the sleeping habits of patients in a sleep disorder centre: a review of sleep diary accuracy. Journal of Thoracic Disease; 2018.
6. Mohsin Ali, M.B.B.S., R. Robert Auger, M.D., Nancy L. Slocumb, & Timothy I. Morgenthaler, M.D. Idiopathic Hypersomnia: Clinical Features and Response to Treatment. Journal of Clinical Sleep Medicine; 2009.
7. Karel Sonka & Marek Susta. Diagnosis and management of central hypersomnias. Therapeutic Advances in Neurological Disorders; 2012.
8. Anonim. Idiopathic Hypersomnia. Buoy Health; 2020.