Penyakit usus buntu adalah jenis penyakit yang cukup umum, yakni ketika apendiks atau usus buntu mengalami radang [1,2].
Usus buntu sendiri merupakan organ yang berbentuk kantong yang terhubung ke usus besar dan memiliki ukuran sekitar 5-10 cm [1,2].
Perut kanan bawah akan terasa nyeri di mana ini biasanya menjadi tanda awal dan utama dari penyakit usus buntu [1,2].
Selain rasa nyeri di bagian perut kanan bawah, berikut ini adalah gejala-gejala lain yang perlu diwaspadai [1,2] :
Radang pada usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri; dan perkembangan infeksi bisa sangat cepat sehingga usus buntu akan membengkak lalu bernanah [1,2].
Beberapa faktor yang diketahui menjadi sebab penyakit usus buntu antara lain adalah [1,2] :
Namun selain dari faktor-faktor tersebut, perlu diketahui bahwa beberapa kebiasaan berikut mampu menyebabkan usus buntu.
Daftar isi
Memiliki kebiasaan makan atau jajan sembarangan bisa menjadi salah satu alasan mengapa penyakit usus buntu terjadi.
Radang disebabkan oleh infeksi bakteri, dan salah dua bakteri yang umumnya menjadi penyebab adalah E. coli dan Salmonella [3,4].
Ketika makanan yang dijual tidak higienis, maka kedua bakteri tersebut sangat rentan bersarang pada makanan tersebut [3,4].
Jajanan atau makanan yang dijual di pinggir jalan tanpa ditutupi dengan rapat atau yang terbuat dari bahan tak bersih sangat berisiko mengandung bakteri yang mampu menginfeksi saluran pencernaan jika dikonsumsi.
Selain usus buntu, infeksi bakteri Salmonella dapat menyebabkan sejumlah gejala, seperti [5] :
Pada infeksi karena bakteri Escherichia coli (E. coli), sebenarnya jenis bakteri ini sudah ada di dalam usus manusia dan bertahan hidup di sana [6].
Tugas bakteri ini sebagai penjaga kesehatan sistem pencernaan dan tidak bersifat membahayakan [6].
Namun, ada kalanya timbul bakteri E. coli jenis tertentu yang dapat berbahaya bagi tubuh dan menyebabkan penyakit usus buntu hingga diare parah [6].
Selain dapat terjadi penyakit usus buntu, infeksi bakteri ini bisa menyebabkan beberapa keluhan seperti berikut [7] :
Daging kalengan, daging kemasan, atau daging instan adalah makanan yang tidak menyehatkan [8].
Produk daging olahan, termasuk kalengan, daging asap, salami, hot dogs, nugget, dan sosis adalah daging yang kurang sehat bagi tubuh, apalagi jika dikonsumsi setiap hari [8].
Daging instan dan daging asap adalah asupan berbahaya karena adanya kandungan karsinogen di dalamnya [8].
Zat karsinogen tak hanya berbahaya karena memicu radang usus buntu, tapi juga meningkatkan risiko kanker perut dan kanker usus [8].
Memiliki kebiasaan mengonsumsi daging kalengan atau daging olahan lainnya ditambah jarang mengonsumsi serat (dari buah dan sayur) maka akan jauh lebih berbahaya bagi kesehatan [8].
Selain zat karsinogen, ada kandungan-kandungan berbahaya lain dari daging-daging ini, seperti [8] :
Makan daging olahan setiap hari, terlalu sering atau bahkan terlalu berlebihan berbahaya karena tidak sekadar menjadi pemicu peradangan usus buntu, tapi juga [8] :
Menahan buang angin atau kentut pada momen tertentu memang sangat penting dilakukan.
Namun jika hal ini menjadi sebuah kebiasaan, maka sama dengan kebiasaan buruk [9].
Sepertinya sepele, tapi terlalu sering apalagi membiasakan menahan buang angin adalah faktor yang meningkatkan risiko radang usus buntu.
Buang angin bertujuan membuang gas yang berada di dalam saluran pencernaan [9].
Gas yang sebenarnya dapat dibuang akhirnya harus tertahan di dalam perut dan hal ini mampu menipiskan dinding usus [9].
Karena terlalu sering menahan kentut, akhirnya risiko usus buntu terkena radang meningkat [9].
Pada dasarnya, gas yang terjebak di dalam perut adalah gas yang tidak tubuh butuhkan [9].
Oleh karena itu, jika gas tertahan lebih sering, perut akan mengalami beberapa gejala seperti [9] :
Setiap kali menahan buang angin, tingkat stres dapat ikut meningkat dan memicu ketegangan saraf [9].
Selain radang usus buntu, divertikulitis adalah kondisi lainnya yang bisa terjadi sebagai dampak dari kebiasaan buruk ini [9,10].
Pada saluran pencernaan, terdapat satu atau lebih kantong berukuran kecil; diverkulitis adalah radang atau infeksi yang menyerang organ pencernaan tersebut [9,10].
Diverkulitis ketika tidak segera ditangani berisiko berkembang menjadi radang kronis dan akan sama membahayakannya dengan penyakit usus buntu yang terlambat diobati [9,10].
Walau tampak ringan, menahan buang angin adalah kebiasaan tidak sehat karena memberikan ketidaknyamanan berulang dan jangka panjang pada sistem pencernaan.
Makan makanan yang digoreng adalah salah satu kebiasaan yang juga sebaiknya mulai dihentikan atau setidaknya dibatasi.
Gorengan mengandung zat karsinogen yang juga sama berbahayanya dengan daging olahan [11].
Karena karsinogen adalah zat kimia yang tak hanya memicu penyakit usus buntu tapi juga kanker, perhatikan konsumsinya mulai sekarang agar tak lagi berlebihan [11].
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Nyeri yang terasa semakin buruk pada perut kanan bawah sebaiknya segera diperiksakan ke dokter.
Jika penyakit usus buntu terjadi pada ibu hamil, biasanya nyeri akan timbul di perut sebelah kanan karena posisi akan lebih tinggi.
Untuk memastikan penyakit usus buntu maupun menangani secepatnya sebelum usus buntu semakin parah dan pecah, segera ke dokter dan menempuh pemeriksaan.
Terlepas dari kebiasaan apapun yang tak sehat dan mampu memicu penyakit radang usus buntu, berikut ini adalah penanganan utama bagi pasien mulai dari kondisi ringan hingga berat.
Untuk penyakit usus buntu ringan, pemberian antibiotik oleh dokter biasanya sudah cukup [1,2].
Pada tahap ringan, operasi tidak diperlukan, namun bila pun memang dokter merekomendasikannya maka pemberian antibiotik akan dokter lakukan lebih dulu lewat infus [1,2].
Pemberian antibiotik tetap dilakukan supaya infeksi penyebab radang usus buntu dapat dilawan [1,2].
Namun, pastikan untuk tidak memberikan kepada penderita obat herbal, termasuk juga penderita sebaiknya menghindari obat alami dalam bentuk apapun [1,2].
Obat herbal tidak dapat membantu penyembuhan penyakit radang usus buntu [1,2].
Umumnya, penyakit usus buntu diobati dengan prosedur apendektomi, yakni operasi pengangkatan usus buntu agar tidak menyebabkan masalah jangka panjang [1,2].
Laparoskopi dan laparotomi adalah dua metode apendektomi yang umumnya diterapkan agar usus buntu tertangani dengan baik [1,2].
Laparoskopi juga disebut dengan istilah operasi lubang kunci di mana dokter lebih dulu akan memberi obat bius ke tubuh pasien [1,2].
Lalu, dokter membuat beberapa sayatan pada perut pasien dengan ukuran sebesar lubang kunci agar alat bedah pengangkat usus buntu bisa dimasukkan dan mulai dikerjakan [1,2].
Sementara itu, laparotomi disebut juga dengan istilah operasi terbuka dengan membedah perut pasien sebelah kanan bawah 5-10 cm untuk proses pengangkatan usus buntu [1,2].
Khusus laparotomi biasanya diperuntukkan bagi pasien penyakit usus buntu yang kondisi penyebaran infeksi sudah meluas dan terjadi abses [1,2].
Apakah proses pemulihan pasca operasi termasuk lama?
Proses pemulihan pasca laparotomi akan lebih lama daripada pasca laparoskopi [12].
Pemulihan akan lebih cepat setelah menjalani laparoskopi dan beberapa hari setelah operasi pasien biasanya boleh pulang [13].
Hanya saja, masih ada risiko komplikasi yang bisa terjadi sewaktu-waktu pasca operasi; bila ini terjadi saat masih rawat inap, maka perawatan di rumah sakit akan diperlama.
1. Mark W. Jones; Richard A. Lopez; & Jeffrey G. Deppen. Appendicitis. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Chris Young, DNP, RN, NE-BC, NPD & Verneda Lights. Everything You Need to Know About Appendicitis. Healthline; 2021.
3. Hong Gil Jeon, Hyeong Uk Ju, Gyu Yeol Kim, Joseph Jeong, Min-Ho Kim, & Jae-Bum Jun. Bacteriology and Changes in Antibiotic Susceptibility in Adults with Community-Acquired Perforated Appendicitis. PLoS One; 2014.
4. A Deutsch, D Wasserman, E Ruchelli, J Johnson, & D L Broussard. An uncommon presentation of Salmonella. Pediatric Emergency Care; 1996.
5. Johns Hopkins Medicine. Salmonella Infections. Johns Hopkins Medicine; 2022.
6. Matthew Mueller & Christopher R. Tainter. Escherichia Coli. National Center for Biotechnology Information; 2021.
7. Cleveland Clinic medical professional. E. coli Infection. Cleveland Clinic; 2020.
8. Atli Arnarson BSc, PhD. Why Processed Meat is Bad For You. Healthline; 2017.
9. Inten Esti Pratiwi. Hati-hati, Ini Bahayanya jika Sering Menahan Kentut. Kompas; 2022.
10. Catherine D. Linzay & Sudha Pandit. Acute Diverticulitis. National Center for Biotechnology Information; 2021.
11. Marni Stott-Miller, PhD, Marian L. Neuhouser, PhD, & Janet L. Stanford, PhD. Consumption of deep-fried foods and risk of prostate cancer. Prostate; 2014.
12. Better Health Channel. Laparotomy. Better Health Channel; 2022.
13. Shaziya Allarakha, MD & Pallavi Suyog Uttekar, MD. How Long Does It Take to Recover From Laparoscopic Surgery?. MedicineNet; 2020.