Daftar isi
Penyakit Hallervorden-Spatz merupakan salah satu jenis penyakit saraf genetik atau dengan kata lain penyakit ini diturunkan dari orang tua ke anaknya [1,2,3,4].
Penyakit Hallervorden-Spatz juga tergolong sebagai penyakit langka yang membuat penderitanya kesulitan dalam menggerakkan anggota tubuh [1,2,3,4].
Ketika gejala semakin serius tanpa adanya penanganan yang tepat, hal ini bisa berkembang menjadi suatu kondisi fatal [1,2,3,4].
Karena merupakan penyakit genetik, maka penyebab utama dari penyakit Hallervorden-Spatz adalah kecacatan atau keabnormalan pada gen pantohenate kinase 2 (PANK2) [1,2].
PANK2 ini juga diketahui sebagai jenis protein pengendali formasi koenzim A pada tubuh yang bertugas mengubah lemak, karbohidrat dan beberapa asam amino menjadi tenaga bagi tubuh [1,2].
Meski mutasi genetik menjadi penyebab utama pada kebanyakan kasus penyakit Hallervorden-Spatz, sebagian kasus penyakit ini tidak berhubungan dengan mutasi gen PANK2 saja [1,2].
Terdapat mutasi gen lain yang mampu menyebabkan penyakit Hallervorden-Spatz, hanya saja sangat jarang dijumpai [1,2].
Seorang anak memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit Hallervorden-Spatz ketika kedua orang tuanya merupakan pembawa gen atau penderita penyakit Hallervorden-Spatz [1,2].
Seseorang hanya akan menjadi pembawa mutasi gen tanpa mengalami gejala apabila hanya salah satu dari kedua orang tua yang memiliki mutasi gen tersebut [1,2].
Penyakit Hallervorden-Spatz diketahui berkembang umumnya pada waktu usia anak-anak, namun ada pula yang tergolong terlambat dengan gejala yang baru timbul saat usia menginjak dewasa [1,2].
Tingkat keparahan penyakit Hallervorden-Spatz serta seberapa lama perkembangan penyakit ini terjadi menjadi penentu gejala apa saja yang akan dialami penderita [1,2,4].
Namun umumnya, gejala utama penyakit Hallervorden-Spatz adalah kontraksi otot anggota tubuh dan wajah [1,2,3,4].
Kontraksi otot ini tak dapat dikendalikan karena timbul begitu saja secara tiba-tiba yang menyebabkan postur tubuh tampak tak normal [1,2,3,4].
Beberapa gejala lain yang perlu diwaspadai karena dapat mengarah pada penyakit Hallervorden-Spatz adalah [1,2,3,4] :
Selain dari gejala-gejala yang telah disebutkan, masih ada sejumlah gejala lain yang menunjukkan kondisi penyakit Hallervorden-Spatz; hanya saja gejala-gejala berikut ini sangat jarang terjadi [3,4].
Untuk memastikan bahwa gejala-gejala yang dialami merupakan tanda dari penyakit Hallervorden-Spatz, berbagai metode pemeriksaan ini dapat ditempuh.
Dokter seperti biasa perlu mengecek kondisi fisik pasien terlebih dulu untuk mengetahui apa saja gejala fisik yang selama ini dikeluhkan [2,3,4].
Pemeriksaan fisik di sini meliputi pengecekan adanya kekakuan pada otot pasien, tremor, gerakan atau postur tubuh abnormal, maupun kelemahan otot [2,3,4].
Dokter juga akan menanyakan adanya riwayat medis pasien maupun keluarga pasien untuk bisa menentukan kemungkinan penyebab dan penanganan sebelum pasien diminta menempuh beberapa metode diagnosa lanjutan [2,3,4].
Untuk mengetahui apakah gejala yang terjadi berhubungan dengan adanya masalah otak, tes pemindaian seperti MRI scan pada otak perlu dilakukan [1,2,3,4].
Pada seluruh pasien yang mengalami mutasi PANK2 menurut beberapa hasil studi diperlukan MRI otak untuk mengetahui apakah terdapat tanda radiologis berupa “mata harimau” atau “eye of the tiger” baik pada mutasi gen atipikal maupun klasik [1].
Pemeriksaan ini adalah metode diagnosis pada wanita hamil sebelum melahirkan, terutama pasien wanita dengan risiko pembawa mutasi gen [1,5].
Pemeriksaan dini ini dapat ditempuh oleh para wanita dengan usia kandungan 15-20 minggu untuk mengetahui kondisi janin dan memastikan apakah bayi nantinya akan berisiko mengalami penyakit Hallervorden-Spatz [1,5].
SPECT scanning dan SWI/T2 merupakan bentuk atau metode pemeriksaan penunjang lainnya yang tidak cukup umum untuk diterapkan kepada pasien [1,2].
Namun jika diperlukan, dokter kemungkinan akan meminta pasien menjalani kedua atau salah satu tes tersebut [1,2].
Keduanya adalah metode pemeriksaan yang juga dapat digunakan oleh dokter untuk memastikan bahwa pasien menderita penyakit Hallervorden-Spatz [1].
Hingga kini belum diketahui pengobatan penyakit Hallervorden-Spatz yang bisa menyembuhkan sepenuhnya.
Sementara kondisi gejala Hallervorden-Spatz bersifat progresif, penderita hanya dapat menjalani pengobatan yang bertujuan utama mengendalikan agar gejala tidak berkembang semakin buruk.
Berikut ini adalah serangkaian pengobatan yang diperuntukkan bagi penderita penyakit Hallervorden-Spatz, terutama untuk meringankan gejala pasien.
Terdapat beberapa jenis obat yang akan diresepkan oleh dokter tergantung kondisi gejala yang dialami oleh pasien.
Jika dokter meresepkan baclofen, maka tujuannya adalah untuk menangani distonia [1,2,3,4].
Sementara itu, methscopolamine bromide biasanya diberikan untuk mengatasi air liur yang menetes terus-menerus [1,2,4].
Untuk distonia dan gejala-gejala menyerupai Parkinson, dokter akan memberikan Levodopa, pramipexole, atau bromocriptine [4,6].
Sementara untuk gejala demensia, pasien akan diberi obat memantine, donepezil, atau rivastigmine [4,7].
Jika tremor dan kekakuan otot terjadi, obat paling tepat adalah benztropine [2].
Terdapat tiga jenis terapi yang perlu dijalani oleh pasien penyakit Hallervorden-Spatz, yakni terapi bicara, terapi okupasi dan terapi fisik.
Terapi bicara sangat bisa diandalkan oleh pasien yang ingin memperlancar kemampuan bicaranya sekaligus mengatasi disfagia (kesulitan menelan) [1,2,4].
Sementara itu, terapi okupasi akan meningkatkan kemampuan pasien dalam bergerak dan beraktivitas seperti biasa sehari-hari [2,4].
Terapi fisik akan mengurangi kejang otot, kekakuan otot, dan masalah-masalah otot lainnya yang menghambat tubuh pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari [1,2,4].
Bagaimana prognosis penyakit Hallervorden-Spatz?
Prognosis penyakit Hallervorden-Spatz bisa sangat buruk namun juga dapat tergolong baik, tergantung seberapa cepat kondisi terdeteksi dan penderita memperoleh penanganan [1].
Artinya, semakin dini penyakit Hallervorden-Spatz terdeteksi, pengobatan yang diberikan mampu mengendalikan berbagai gejala yang dialami [4].
Harapan hidup penderita penyakit Hallervorden-Spatz diketahui meningkat seiring semakin majunya metode pengobatan yang tersedia kini [4].
Bahkan orang-orang dengan gejala yang terlambat timbul dan mulai mengalaminya pada usia dewasa tetap dapat memiliki kualitas hidup yang baik [4].
Meski demikian, perkembangan penyakit Hallervorden-Spatz jauh lebih cepat jika gejala timbul pada usia anak-anak dan berpotensi memburuk daripada gejala yang timbul pada usia dewasa [4].
Dengan penanganan cepat dan tepat, diharapkan anak pun dapat mengalami kemajuan dalam kondisinya [4].
Ketika penyakit Hallervorden-Spatz tidak segera diperiksakan dan mendapatkan penanganan, maka risiko komplikasi dapat terjadi sewaktu tubuh tak lagi bisa digerakkan.
Beberapa masalah kesehatan serius yang harus diwaspadai oleh penderita meliputi [3,4] :
Karena merupakan penyakit atau kelainan genetik yang diwariskan, penyakit Hallervorden-Spatz tidak memungkinkan untuk dicegah sama sekali [4].
Jika ingin meminimalisir risiko penyakit Hallervorden-Spatz, para ibu hamil, terutama yang mengetahui bahwa dirinya mengalami penyakit Hallervorden-Spatz atau sekadar pembawa mutasi gen, periksakan kondisi janin sedini mungkin [1,4].
Pemeriksaan antenatal sangat dianjurkan apabila ingin mengetahui seberapa besar kemungkinan anak mengalami penyakit Hallervorden-Spatz [1,4].
Selain itu, konseling genetik dapat dilakukan jika ingin memiliki anak padahal salah satu atau kedua suami maupun istri memiliki riwayat penyakit Hallervorden-Spatz [4].
Meski kemungkinan sulit untuk mencegahnya penyakit sama sekali tidak terwariskan pada anak, setidaknya konsultasi atau konseling genetik memampukan orang tua mengantisipasi dan menangani secepatnya saat anak lahir [4].
1. Maria R. Bokhari; Hassam Zulfiqar; & Syed Rizwan A. Bokhari. Hallervorden Spatz Disease. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Maseumeh Dashti & Ahmad Chitsaz. Hallervorden-Spatz disease. Advanced Biomedical Research; 2014.
3. Amit M. Shelat, DO, FACP, FAAN, David Zieve, MD, MHA, & Brenda Conaway. Neurodegeneration with brain iron accumulation (NBIA). University of Florida Health; 2020.
4. Heidi Moawad, M.D. Hallervorden-Spatz Disease. Healthline; 2020.
5. Chandrika Rao, Venkata Murthy, Radhakrishna Hegde, Asha, & Vishwanath. Hallervorden Spatz disease. Indian Journal of Pediatrics; 2003.
6. E Clarke C 1, M Speller J, & A Clarke J. Pramipexole versus bromocriptine for levodopa-induced complications in Parkinson's disease. Cochrane database of systematic reviews; 2000.
7. Simona Gabriella Di Santo, Federica Prinelli, Fulvio Adorni, Carlo Caltagirone, & Massimo Musicco. A meta-analysis of the efficacy of donepezil, rivastigmine, galantamine, and memantine in relation to severity of Alzheimer's disease. Journal of Alzheimer's Disease; 2013.