Daftar isi
Polip hidung adalah kondisi tumbuhnya jaringan yang tidak bersifat kanker di bagian dalam saluran hidung dengan bentuk yang mirip dengan buah anggur.
Jaringan yang tumbuh ini tidak menimbulkan rasa nyeri serta jika disentuh akan terasa lembut.
Disebut menyerupai buah anggur karena bentuknya yang menggantung di bagian dalam hidung dan hal ini terjadi sebagai akibat dari infeksi berulang, asma, gangguan imun, atau reaksi alergi.
Siapa saja dapat mengalami polip hidung, namun orang dewasa dengan usia 40 tahun ke atas jauh lebih rentan terhadap penyakit ini, sedangkan kasus polip hidung pada anak lebih jarang.
Walau berukuran kecil dan cenderung tanpa gejala, pada beberapa kasus polip hidung dapat menimbulkan gejala yang menyerupai sakit flu.
Tinjauan Polip hidung merupakan jaringan abnormal yang tumbuh menyerupai buah anggur di dalam saluran hidung, jaringan dapat berukuran kecil maupun besar dan lebih berpotensi terjadi pada orang dewasa.
Penyebab polip hidung belum diketahui jelas, namun peradangan yang dialami jangka panjang dapat memicu timbulnya polip hidung walau ini hanya terjadi pada beberapa orang saja [1,4].
Pada kasus peradangan jangka panjang, lapisan penghasil cairan di dalam hidung (membran mukus) akan membengkak.
Polip hidung dapat terjadi di bagian saluran hidung maupun sinus, hanya saja kemunculannya lebih sering terjadi pada sinus yang dekat area tulang pipi, hidung dan mata.
Beberapa faktor di bawah ini pun perlu dikenali karena mampu meningkatkan risiko seseorang menderita polip hidung [1,4,5,6].
Tinjauan Peradangan yang menyebabkan iritasi dan bengkak pada saluran hidung dan sinus diketahui mampu menjadi penyebab polip hidung. Namun beberapa faktor risiko seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, usia, penyakit asma, cystic fibrosis, sensitif terhadap aspirin, sinusitis alergi fungi, sindrom Churg-Strauss, dan defisiensi vitamin D dapat memicu polip hidung.
Polip hidung berkaitan dengan pembengkakan dan iritasi akibat peradangan pada lapisan saluran hidung dan sinus.
Pada kasus sinusitis kronik, iritasi dan pembengkakan bahkan dapat terjadi selama 12 minggu atau lebih.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, rata-rata polip hidung dengan jaringan tumbuh dalam ukuran kecil tidaklah menimbulkan gejala.
Karena tak menimbulkan gejala, biasanya penderitanya sendiri pun tidak sadar kalau tengah mengalami polip hidung.
Namun bila ukuran jaringan tergolong besar dan tumbuh lebih dari satu, gejala yang ditimbulkannya dapat menyerupai penyakit flu atau persis dengan kondisi seseorang yang mengalami pilek [1,4,7,8,9].
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Bila mengalami gejala yang cenderung tak wajar dan cukup mengganggu kenyamanan, maka sebaiknya penderita segera memeriksakan diri.
Terlebih apabila gejala bertahan selama kurang lebih 10 hari, segera konsultasikan dengan dokter.
Namun bila beberapa gejala seperti sulit bernafas, penglihatan ganda, pembengkakan pada area mata, perburukan gejala polip hidung, serta sakit kepala hebat disertai demam, penderita membutuhkan bantuan medis darurat.
Tinjauan Bila ukuran polip cukup besar, maka gejala seperti sakit kepala, nyeri wajah, bersin, mimisan, hidung berair, gatal pada area mata, hingga kehilangan fungsi penciuman dapat terjadi.
Dokter pertama-tama akan menanyakan riwayat gejala kepada pasien, dan pasien perlu menjawab sedetail mungkin mengenai kondisi yang dirasakan.
Beberapa metode diagnosa yang kemudian dokter lakukan antara lain adalah :
Pemeriksaan fisik secara umum akan dilakukan, terutama pada bagian hidung.
Pada pemeriksaan fisik biasanya polip akan kelihatan, namun untuk menegakkan diagnosa serangkaian tes penunjang tetap akan dokter terapkan.
Tes penunjang yang pertama adalah nasoendoskopi atau endoskopi hidung di mana pada prosedur ini dokter menggunakan alat menyerupai selang.
Alat seperti selang ini memiliki lampu dan kamera kecil, dokter akan memasukkannya ke dalam hidung pasien untuk memeriksa kondisi bagian dalam.
Karena polip hidung dapat terjadi sebagai efek reaksi alergi, maka dokter akan memastikan kemungkinan faktor tersebut.
Tujuan tes alergi adalah agar dokter dapat mendeteksi adanya kondisi alergi pada tubuh pasien, terutama terhadap zat tertentu yang mampu memicu polip hidung.
Dokter juga perlu mengetahui lokasi polip hidung secara tepat, maka tes pemindaian atau pencitraan dibutuhkan.
Melalui tes ini juga, dokter dapat mengetahui ukuran polip hidung pasien.
Tes pemindaian juga membantu dokter untuk memastikan polip bukan kanker sekaligus mengidentifikasi adanya kerusakan tulang pada area sekitar hidung akibat keberadaan polip.
CT scan adalah bentuk tindakan tes pemindaian yang umumnya digunakan.
Dengan CT scan, dokter mampu mengeliminasi berbagai kemungkinan kondisi selain polip hidung.
Dokter kemungkinan juga akan meminta pasien menempuh tes darah untuk mengetahui apakah gejala polip hidung berkaitan dengan defisiensi vitamin D.
Untuk memastikan, dokter perlu mengecek kadar vitamin D dalam tubuh pasien; bila hasilnya terlalu rendah, maka hal ini adalah tanda pasien mengalami defisiensi vitamin D.
Karena polip hidung dapat dipicu pula oleh kondisi cystic fibrosis, maka dokter akan menerapkan tes genetik terhadap pasien.
Tujuan tes penunjang ini adalah untuk memastikan keberadaan kondisi cystic fibrosis, terutama bila gejala polip hidung dialami oleh anak-anak.
Tindakan pemeriksaan yang dilakukan adalah tes keringat noninvasif, yaitu pengecekan apakah keringat anak lebih asin dari keringat kebanyakan orang.
Tinjauan Pemeriksaan fisik, tes alergi, endoskopi hidung, tes pemindaian, tes darah dan tes untuk cystic fibrosis diperlukan untuk memastikan kondisi polip hidung.
Faktor pemicu, gejala, serta kondisi menyeluruh yang dialami pasien menjadi hal-hal yang dipertimbangkan dokter dalam memberikan pengobatan.
Beberapa jenis perawatan yang umumnya diberikan oleh dokter antara lain meliputi :
Kortikosteroid yang diberikan dalam bentuk injeksi (suntikan) adalah salah satu cara dalam mengatasi gejala polip hidung.
Selain itu, kortikosteroid oral atau obat minum (prednisone) juga diberikan dan biasanya dikombinasi bersama semprotan hidung.
Hanya saja, kortikosteroid oral tidak dianjurkan untuk digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang serius.
Sementara itu, kortikosteroid suntik atau injeksi hanya akan diberikan kepada pasien apabila kondisi polip hidung sudah tergolong sangat parah.
Kortikosteroid khusus untuk hidung akan diberikan dalam bentuk semprotan oleh dokter.
Tujuan pemberian obat ini adalah untuk mengurangi iritasi sekaligus pembengkakan.
Umumnya, resep kortikosteroid hidung meliputi ciclesonide, beclomethasone, mometasone, budesonide, fluticasone, dan triamcinolone.
Bila terdapat infeksi pada sinus dan hidung, maka dokter pasti akan memberi resep antibiotik.
Gejala polip hidung akan berkurang apabila infeksi sinus dan hidung teratasi.
Bila reaksi alergi merupakan pemicu utama polip hidung, dokter juga akan memberi resep antihistamin.
Loratadine dan cetirizine adalah golongan antihistamin yang dapat diberikan kepada pasien polip hidung.
Untuk kondisi pasien yang mengalami sinusitis dan polip hidung kronis, maka dokter dapat memberi resep dupilumab.
Obat ini umumnya diberikan untuk mengurangi ukuran polip hidung dan memperlancar pernafasan yang semula terhambat karena besarnya ukuran polip.
Dokter akan merekomendasikan prosedur operasi apabila polip hidung berukuran sangat besar dan obat-obatan tak mampu mengatasinya.
Polip harus diangkat secepatnya melalui prosedur bedah agar tidak menghambat saluran nafas terlalu lama.
Endoskopi adalah teknik bedah yang diperlukan karena tingkat efek samping dari tindakan ini kemungkinannya termasuk kecil.
Usai operasi, dokter biasanya memberi anjuran agar pasien rajin membersihkan hidung menggunakan larutan garam atau saline.
Obat kortikosteroid yang disemprotkan ke hidung juga tetap perlu digunakan oleh pasian untuk pencegahan polip hidung kembali.
Bahkan usai operasi, dokter THT masih perlu memantau kondisi pasien.
Tinjauan Pemberian obat-obatan, khususnya kortikosteroid (semprotan hidung/injeksi/oral), antibiotik, dan antihistamin diresepkan oleh dokter. Namun bila obat tak lagi bisa mengatasi, serta polip hidung terlalu besar, maka jalur operasi akan direkomendasikan oleh dokter.
Polip hidung yang tidak segera memperoleh penanganan akan menyebabkan berbagai komplikasi berbahaya pada penderitanya.
Sejumlah komplikasi yang dapat terjadi karena saluran nafas dan drainase cairan terhambat akibat peradangan jangka panjang antara lain adalah [15] :
Terdapat beberapa cara untuk menurunkan risiko berkembang dan bertumbuhnya polip hidung, yaitu antara lain adalah :
Tinjauan Mengatasi alergi dan asma dengan benar, menjaga kebersihan diri, menggunakan humidifier, menghindari alergen dan iritan, serta membersihkan rongga hidung teratur dengan saline adalah langkah pencegahan yang dapat diupayakan.
1. Jonathan Ray Newton & Kim Wong Ah-See. A review of nasal polyposis. Therapeutics and Clinical Risk Management; 2008.
2. Fetra Olivia Simbolon. Karakteristik Polip Hidung di RSUP H Adam Malik Medan Tahun 2012-2014. DocPlayer; 2016.
3. Riko, Janukadri. Karakteristik Pasien Polip Nasi di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014-2015. e-Skripsi Universitas Andalas; 2015.
4. Renu Rajguru. Nasal Polyposis: Current Trends. Indian Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery; 2014.
5. Andrea Bacciu, Carlo Buzio, Davide Giordano, Enrico Pasanisi, Vincenzo Vincenti, Giuseppe Mercante, Chiara Grasselli, & Salvatore Bacciu. Nasal polyposis in Churg-Strauss syndrome. The Laryngoscope; 2008.
6. William W Carroll, Rodney J Schlosser, Brendan P O'Connell, Zachary M Soler, & Jennifer K Mulligan. Vitamin D deficiency is associated with increased human sinonasal fibroblast proliferation in chronic rhinosinusitis with nasal polyps. International Forum of Allergy & Rhinology; 2016.
7. Duc Trung Nguyen, Marylisa Felix-Ravelo, Fabien Arous, Phi-Linh Nguyen-Thi, & Roger Jankowski. Facial pain/headache before and after surgery in patients with nasal polyposis. Acta Otolaryngologica; 2015.
8. Jerome R. Lechien, Olivier Filleul, Pedro Costa de Araujo, Julien W. Hsieh, Gilbert Chantrain, & Sven Saussez. Chronic Maxillary Rhinosinusitis of Dental Origin: A Systematic Review of 674 Patient Cases. International Journal of Otolaryngology; 2014.
9. Whitney W. Stevens, MD, PhD, Robert P. Schleimer, PhD, & Robert C. Kern, MD2. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. HHS Public Access; 2017.
10. Ahmad Meymane Jahromi & Ayeh Shahabi Pour. The Epidemiological and Clinical Aspects of Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal of Otorhinolaryngology; 2012.
11. Y. K Maru & Y. Gupta. Nasal Endoscopy Versus Other Diagnostic Tools in Sinonasal Diseases. Indian Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery; 2016.
12. Virat Kirtsreesakul. Nasal polyps: the relationship to allergy, sinonasal infection and histopathological type. Journal of the Medical Association of Thailand; 2004.
13. Mahboobeh Mahdavinia, MD, PhD, Roderick G. Carter, BS, Christopher J. Ocampo, MD, PhD, Whitney Stevens, MD, PhD, Atsushi Kato, Bruce K. Tan, MD, Robert C. Kern, MD, David B. Conley, MD, Rakesh Chandra, MD, Kathryn E Hulse, James E Norton, MS, Lydia Suh, BS, Anju T. Peters, MD, Leslie C. Grammer, III, MD, Lawrence B. Schwartz, MD, PhD, & Robert P. Schleimer, PhD. Basophils are elevated in nasal polyps of patients with chronic rhinosinusitis without aspirin sensitivity. HHS Public Access; 2015.
14. M N Feuillet-Fieux, G Lenoir, I Sermet, C Elie, J Djadi-Prat, M Ferrec, M Magen, V Couloigner, Y Manach, B Lacour, & J P Bonnefont. Nasal polyposis and cystic fibrosis(CF): review of the literature. Rhinology; 2011.
15. Cleveland Clinic medical professional. Nasal Polyps: Management and Treatment. Cleveland Clinic; 2017.