Daftar isi
Agammaglobulinemia atau hypogammaglobulinemia merupakan sebuah kondisi ketika sistem imun dalam tubuh tidak menghasilkan imunoglobulin (antibodi) yang memadai [1,2].
Padahal, setiap tubuh manusia membutuhkan antibodi yang cukup agar segala bentuk sel atau benda asing di dalam tubuh terdeteksi dan dapat dilawan [1,2].
Berkat adanya antibodi, jamur, virus dan bakteri yang sering masuk ke dalam tubuh diketahui dan dibasmi oleh antibodi [1,2].
Jadi jika kadar antibodi saja tidak mencukupi, tentu seseorang akan memiliki tubuh yang lebih lemah dan teramat rentan terkena infeksi berulang [1,2].
Tidak hanya terkena infeksi secara lebih mudah, infeksi ini pun berisiko merusak organ tubuh jika tidak segera ditangani [1,2].
Tinjauan Agammaglobulinemia adalah kondisi ketika antibodi atau imunoglobulin tidak dihasilkan secara memadai oleh sistem imun dalam tubuh.
Perubahan atau mutasi genetik menjadi penyebab utama agammaglobulinemia dan mutasi ini terjadi pada beberapa gen di dalam tubuh, salah satunya gen BTK [1,2,3].
Proses pertumbuhan dan pematangan sel-sel B dalam tubuh manusia membutuhkan gen BTK karena sel-sel B sendiri merupakan sel imun penghasil antibodi [1,2,3].
Maka ketika gen bermutasi dan mengalami kelainan, sel-sel B tidak cukup matang untuk bisa menghasilkan antibodi [1,2,3].
Karena antibodi di dalam tubuh kemudian tidak terhasilkan secara memadai, tidak ada yang dapat melawan infeksi ketika menyerang tubuh [1,2,3].
Selain mutasi gen, penyebab agammaglobulinemia adalah defisiensi imun primer yang meliputi [1,2,3,4,5] :
Pada beberapa kasus lainnya, kondisi defisiensi imun yang didapat atau defisiensi imun sekunder cukup umum.
Beberapa kondisi yang tergolong sebagai kondisi ini diantaranya adalah [6,7] :
Tak hanya faktor mutasi genetik atau kondisi didapat dari beberapa penyakit, agammaglobulinemia pun bisa saja terjadi karena efek penggunaan obat.
Beberapa golongan obat yang meningkatkan risiko perkembangan agammaglobulinemia adalah [8] :
Tinjauan Perubahan atau mutasi genetik adalah penyebab agammaglobulinemia dan mutasi ini terjadi pada beberapa gen di dalam tubuh, salah satunya gen BTK. Namun, terdapat pula sejumlah kondisi lain yang menjadi faktor peningkat risiko agammaglobulinemia, seperti paparan radiasi, sindrom nefrotik, transplantasi organ, enteropati kehilangan protein, gizi buruk, HIV, kanker darah hinga efek dari sejumlah obat (kemoterapi, kortikosteroid dan antikonvulsan/anti kejang).
Karena kondisi antibodi yang tidak memadai, maka gejala utama penderita agammaglobulinemia terlepas dari penyebabnya adalah seringnya mengalami infeksi [1,2,3].
Infeksi pada penderita agammaglobulinemia terjadi berulang, lebih banyak daripada orang-orang dengan kadar antibodi normal di dalam tubuhnya [1,2,3].
Beberapa infeksi yang rentan dihadapi oleh penderita agammaglobulinemia meliputi [1,2,3] :
Bayi usia 6-12 bulan dengan kondisi agammaglobulinemia memiliki risiko tinggi mengalami gejala berupa infeksi paru, sinus dan telinga [1].
Pada beberapa kasus lain bayi dengan agammaglobulinemia juga rentan memiliki kondisi alergi makanan, infeksi saluran nafas, infeksi usus, infeksi saluran kencing, dan eksim [1,2].
Sejumlah gejala fisik yang ditimbulkan dari kondisi ini antara lain meliputi [1,2,3,9] :
Tinjauan Mudah mengalami infeksi adalah tanda utama dari kondisi agammaglobulinemia, seperti infeksi kulit, pneumonia, infeksi telinga, infeksi sinus, meningitis dan bronkitis. Namun, sejumlah gejala lain seperti nyeri sendi, kram perut, mual, muntah, batuk hingga demam dapat menyertai.
Karena merupakan sebuah jenis penyakit kelainan yang umumnya terjadi pada anak-anak, maka kelainan perlu diperiksa oleh dokter saat bayi baru lahir [1].
Bahkan pemeriksaan rutin perlu dilakukan untuk fisik bayi pada usianya antara 6-12 bulan, berikut juga riwayat kesehatan keluarga [1].
Namun, pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan keluarga tidak cukup, maka dibutuhkan serangkaian pemeriksaan pendukung seperti :
Tes laboratorium biasanya meliputi tes darah lengkap, tes kadar serum imunoglobulin kuantitatif, serta tes respon titer antibodi spesifik serium terhadap imunisasi (khususnya vaksin DPT) [1].
Tes laboratorium diperlukan untuk mengetahui apakah terdapat respon dari antibodi terhadap vaksinasi yang dilakukan [1].
Skrining adalah bentuk pemeriksaan yang perlu dilakukan oleh dokter pada bayi baru lahir untuk mengetahui adanya kecacatan pada sel-sel B dalam tubuh bayi [1].
Tes pendukung lainnya yang juga sama penting adalah tes pemindaian, yakni meliputi MRI scan dan HRCT (high-resolution computerized tomography) [1].
Tes lain yang juga benar-benar direkomendasikan oleh dokter untuk dapat menegakkan diagnosa adalah analisa gas darah dan pengambilan sampel sputum yang diinduksi [1].
Rangkaian tes penunjang jauh lebih sulit apabila diterapkan pada pasien anak-anak, khususnya yang masih usia bayi [1].
Anestesi umum perlu dokter berikan kepada pasien bayi untuk tes pemindaian [1].
Selain itu untuk memeriksa kondisi organ paru-paru, dokter akan melakukan tes fungsi paru, namun hanya dapat diterapkan pada pasien anak usia di atas 6 tahun [1].
Tes fungsi paru biasanya tidak bisa dilakukan jika anak belum berusia 6 tahun [1].
Tinjauan Dalam memastikan kondisi gejala pada penderita adalah agammaglobulinemia, pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, tes laboratorium, tes pemindaian, pengambilan sampel sputum, analisa gas darah, dan tes fungsi paru adalah serangkaian prosedur yang pasien perlu tempuh.
Pengobatan agammaglobulinemia berfokus pada terapi pengganti gammaglobulin intravena [1,2].
Ini merupakan penanganan standar untuk penderita agammaglobulinemia [1].
Namun jika diketahui bahwa pasien mengalami infeksi, khususnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri, maka dokter akan memberi resep antibiotik [1,2].
Antibiotik adalah obat yang tepat untuk mencegah infeksi menjadi lebih buruk, terutama pada pasien dengan imunodefisiensi [1,2].
Jika dokter mengetahui bahwa pasien memiliki riwayat penggunaan imunosupresan atau bahkan sedang menggunakannya, dokter pasti akan melarang pasien menggunakannya selama perawatan untuk agammaglobulinemia [1,2].
Selain itu, konseling genetik sangat dianjurkan bagi keluarga dengan riwayat agammaglobulinemia atau kelainan genetik lainnya sebagai cara meminimalisir dan mengantisipasi gejala yang timbul [2].
Bagaimana prognosis agammaglobulinemia?
Prognosis pada anak-anak penderita agammaglobulinemia mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir, terutama untuk yang berada di negara-negara maju.
Harapan hidup dan prognosis tergolong baik, terutama bila terdeteksi sejak dini dan pasien memperoleh penanganan tepat secepatnya [1].
Bayi yang lahir dengan kondisi agammaglobulinemia dan ditangani cepat akan bertahan hidup hingga dewasa secara normal [1].
Para penderita penyakit genetik ini pun umumnya dapat melakukan aktivitas normal, menjadi produktif dan baik-baik saja [1].
Meski demikian, perawatan tetap harus dijalani dalam waktu jangka panjang, salah satunya terapi imunoglobulin setiap bulan [1].
Pada beberapa kasus, tetap terdapat penderita yang harus mengalami infeksi berat, seperti penyakit paru kronis, namun hanya 10% dari seluruh penderita agammaglobulinemia yang mendapatkan terapi imunoglobulin [1].
Untuk kasus infeksi kronis, tingkat kelangsungan hidup akan lebih rendah sekalipun sudah memperoleh terapi imunoglobulin tersebut [1].
Terlebih pada penderita yang tinggal di negara berkembang, prognosis agammaglobulinemia justru tergolong buruk karena beberapa anak bahkan harus meninggal sebelum didiagnosa [1].
Tinjauan Beberapa penanganan untuk agammaglobulinemia meliputi terapi pengganti gammaglobulin intravena, pemberian antibiotik, dan konseling genetik. Penanganan medis akan disesuaikan dengan kondisi pasien dan faktor yang meningkatkan risiko terjadinya kondisi ini.
Risiko komplikasi yang membahayakan kesehatan pada kasus agammaglobulinemia tentu ada.
Komplikasi yang dapat terjadi biasanya tergantung dari penyebab agammaglobulinemia, namun umumnya berikut ini adalah risiko komplikasi yang perlu diwaspadai [1,10] :
Namun, selama penanganan agammaglobulinemia tepat dan lebih kepada terapi imun globulin, biasanya risiko infeksi berulang akan terminimalisir [1].
Begitu pula dengan sejumlah risiko komplikasi lainnya, terapi ini akan membantu memulihkan kondisi penderita.
Belum diketahui cara terbaik untuk mencegah agammaglobulinemia karena penyakit ini merupakan kelainan genetik karena perubahan gen.
Namun dengan menempuh terapi imunoglobulin, penyebaran dan pengulangan infeksi dapat diminimalisir.
Penanganan yang lebih cepat pun diyakini sangat dapat menurunkan risiko komplikasi penderita dan membuat prognosis jauh lebih baik.
Tinjauan Belum ada langkah pencegahan agammaglobulinemia, namun untuk menekan risiko infeksi berulang, terapi imunoglobulin sangat dianjurkan.
1. Mutahera Mazhar & Muhammad Waseem. Agammaglobulinemia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. National Organization for Rare Disorders (NORD). Agammaglobulinemia. National Organization for Rare Disorders (NORD); 2021.
3. Angel A. Justiz Vaillant; & Ahmad Qurie. Immunodeficiency. National Center for Biotechnology Information; 2020.
4. Stephanie Albin & Charlotte Cunningham-Rundles. An update on the use of immunoglobulin for the treatment of immunodeficiency disorders. HHS Public Access; 2015.
5. Gökhan Aytekin & Deepa P. Budh. X-Linked Immunodeficiency. National Center for Biotechnology Information; 2021.
6. Ari J. Fried & Francisco A. Bonilla. Pathogenesis, Diagnosis, and Management of Primary Antibody Deficiencies and Infections. Clinical Microbiology Reviews; 2009.
7. Martha P. Mims. Lymphocytosis, Lymphocytopenia, Hypergammaglobulinemia, and Hypogammaglobulinemia. Hematology; 2018.
8. Jonathan S. Tam, M.D. & John M. Routes, M.D. Common variable immunodeficiency. American Journal of Rhinology and Allergy; 2013.
9. Laxmikant Desai, Reuben Thomas Kurien, Ebby George Simon, Amit Kumar Dutta, Anjilivelil Joseph Joseph, & Sudipta Dhar Chowdhury. Hypogammaglobulinemia-associated gastrointestinal disease--a case series. Indian Journal of Gastroenterology; 2014.
10. Robert A Schwartz, MD, MPH, Franklin Desposito, MD, David F Butler, MD, Rosalie Elenitsas, MD, Dirk M Elston, MD, & Julie R Kenner, MD, PhD. What are the possible complications of X-linked agammaglobulinemia (XLA)?. Medscape; 2021.