Insomnia adalah sebuah keluhan yang paling sering dilaporkan saat seseorang mengalami kesulitan tidur. Umumnya pada beberapa survey, insomnia sering diartikan sebagai respon ‘Ya’ atau ‘positif’ saat pertanyaan ‘Apakah Anda mengalami kesulitan tidur?’ atau ‘Apakah Anda sangat sulit tertidur?’ diajukan kepada responden[1].
Insomnia dilaporkan sering menyerang wanita yang mulai memasuki periode menopause di mana menopause sendiri merupakan kondisi penghentian aliran menstruasi secara permanen yang berkaitan dengan aspek fisiologi dan ditimbulkan dari penuaan[2].
The Study of Women’s Health across the Nation (SWAN) menyatakan prevalensi gangguan tidur umumnya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Pada kelompok wanita usia pramenopause didapat prevalensi sekitar 16 sampai 42%, pada kelompok wanita perimenopause ditemukan prevalensi sejumlah 39 sampai 47 % sementara untuk wanita pascamenopause didapat data prevalensi sebanyak 35 sampai dengan 60% [2].
Ada berbagai macam cara untuk mengatasi insomnia pada wanita yang menopause dan salah satunya adalah terapi medis seperti berikut.
Daftar isi
Terapi hormon yang paling sering direkomendasikan adalah terapi kombinasi estrogen progesteron yang disingkat di mana terapi ini memiliki efek yang lebih menguntungkan dalam mengobati gejala pasca menopause. Terapi hormon estrogen dengan atau tanpa progesteron diketahui sangat efektif dalam mengobati gejala vasomotor yang berdampak pada peningkatan kualitas tidur perbaikan mood dan mengatasi depresi [4].
Sebuah studi beberapa lalu menunjukkan fakta bahwa peningkatan kualitas tidur durasi tidur dan penurunan gejala insomnia pada siang hari bisa dilakukan bisa didapatkan dengan penggunaan zolpidem 10 mg tiap malam dibandingkan pada grup wanita yang diberikan sampel plasebo. Hasil serupa juga dilaporkan dari penggunaan eszopiclone 3 mg tiap malam [4].
Adelle Davis, seorang nutrisionist asal Amerika Serikat mengungkapkan beberapa keluhan wanita menopause yang mengalami insomnia dikarenakan terbangun di tengah malam karena berkeringat dan tubuh terasa panas yang dikenal dengan sebutan hot flashes. Selama masa menopause kebutuhan vitamin e pada wanita meningkat sekitar 10 sampai 50 kali lipat dari sebelumnya.
Sebuah studi yang mendukung tentang vitamin e berasal dari University of Iran yang diterbitkan dalam ginekologik and obstetrics investigation. Dalam studi tersebut sekitar 400 IU softgel vitamin e diberikan kepada responden setiap hari selama 4 Minggu[5].
Jurnal studi tersebut mencatat seberapa sering kasus hotflases terjadi sebelum penelitian dan di akhir penelitian dari kesimpulan yang didapatkan bahwa konsumsi vitamin efektif dan merupakan pengobatan yang direkomendasikan untuk mengurangi tingkat hot flashes di malam hari [5].
Nutrisionist Adelle Devis juga mengatakan bahwa jumlah kalsium dalam darah wanita berbanding lurus dengan aktivitas ovarium. Selama menopause kekurangan hormon estrogen dan progesteron dalam ovarium bisa menyebabkan gejala defisiensi kalsium seperti marah-marah, keringat malam hari, kram kaki dan insomnia. Menurut Davis masalah-masalah ini dapat dengan mudah diatasi jika asupan mineral seperti mineral ditingkatkan dan diserap dengan baik oleh tubuh.
Sebuah studi di Virginia Commonwealth University Health System menyatakan wanita yang mengalami hot flashes 14 kali selama seminggu dan menerima dosis 400 mg magnesium oksida setiap hari selama 4 minggu lalu ditingkatkan menjadi 800 mg perhari jika diperlukan[5].
Pada akhir penelitian didapatkan data bahwa asupan magnesium mengurangi frekuensi hot flashes dari yang tadinya 52 kali perminggu menjadi 28 kali perminggu. Dari hasil yang didapat disimpulkan bahwa pengurangan hot flashes sekitar 41%. Bahkan diketahui rasa kelelahan, berkeringat dan rasa tertekan berkurang secara signifikan [5].
Vitamin D lebih dari sekadar vitamin karena bekerja seperti hormone, setelah menjalani beberapa proses atau aktivasi dalam tubuh. Vitamin D mengikat sel-sel seluruh tubuh untuk mengatur berbagai fungsi tubuh. Sebuah jurnal dalam Medical Hypotesis mengungkapkan penelitian yang diikuti 1500 pasien selama periode 2 tahun di mana tingkat vitamin D3 yang konsisten dipertahankan dalam darah mereka dalam kurn waktu beberapa bulan. [5]
Hal ini menghasilkan tidur yang normal pada sebagian peserta terlepas dari jenis gangguan tidak mereka yang menunjukkan bahwa banyak jenis insomnia mungkin memiliki penyebab yang sama [5].
Manusia memiliki ritme sirkadian pelepasan melatonin dari kelenjar pineal yang sangat dengan kebiasaan jam tidur. Sekresi melatonin harian biasanya sangat berkaitan erat dengan an peningkatan kantuk di malam hari atau dikenal dengan gerbang tidur[4].
Diketahui sekresi endogen melatonin akan menurun seiring dengan proses penuaan pada pria maupun wanita dan untuk wanita kondisi menopause sangat berpengaruh terhadap penurunan yang signifikan dari tingkat produksi melatonin internal[4].
Oleh karena itu melatonin yang dapatkan dari luar atau secara eksogen dilaporkan mampu merangsang kantuk dan tidur sehingga berdampak pada perbaikan gangguan tidur termasuk mereka yang sering terbangun di malam hari dikarenakan usia [4].
Sebuah studi yang dilakukan di Shahid Beheshti Medical University tentang penggunaan akar licorice pada wanita menopause menghasilkan data, wanita yang diberikan terapi ini menyatakan penurunan frekuensi hot flashes di malam hari yang berdampak pada peningkatan kualitas tidur mereka [6].
Permasalahan tidur yang sering terkait dengan keadaan menopause
Gejala menopause dari satu wanita wanita lain sangat bervariasi meski begitu masalah tidur paling sering terjadi dan umumnya mempengaruhi sekitar 39 hingga 47% wanita perimenopause dan 35 hingga 60% wanita pascamenopause. Beberapa masalah tidur yang paling umum dilaporkan oleh wanita antara lain [3],
Hot flashes adalah sensasi panas yang tiba-tiba dan tidak terduga di seluruh tubuh disertai dengan munculnya keringat. Hot flashes ini dimulai di wajah sebelum menyebar ke dada dan seluruh tubuh dan biasanya bertahan selama 30 detik sampai 5 menit.
Mendengkur dan sleep apnea umumnya terjadi dan semakin parah pada wanita pasca menopause.
Gangguan mood dan gangguan tidur lainnya yang dapat berkembang dan memperparah kondisi insomnia selama menopause adalah sindrom kaki gelisah dan gangguan gerakan tungkai periodik.
Dalam literature tentang tidur, didapat fakta insomnia kadang dipakai sebagai bukti polisomnografis dari gangguan tidur sehingga dapat disimpulkan kondisi sering terbangun pada malam hari atau waktu-waktu terjaga berkepanjangan saat seseorang harusnya tidur merupakan bukti kuat insomnia. Maka, insomnia sendiri dianggap sebagai tanda atau gejala sebuah penyakit [1].
1) Thomas Roth, PhD. ncbi.nlm.nih.gov. Insomnia: Definition, Prevalence, Etiology, and Consequences. 2007
2) Shasia Jehan, Alina Masters-Isarilov, Idoko Salifu, Ferdinand Zizi, Girardin Jean-Louis, Seithikurippu R Pandi-Perumal, Ravi Gupta, Amnon Brzezinski, Samy I McFarlane. ncbi.nlm.nih.gov. Sleep Disorders in Postmenopausal Women. 2015
3) Danielle Pacheco. sleepfoundation.org. Menopause and Sleep. 2021
4) Shazia Jehan. ncbi.nlm.nih.gov. Sleep Disorder in Postmenopausal Women. 2015
5) Anonim. nutritionbreakthroughs.com. How to Remedy Insomnia in Menopause. 2019
6) Fatemeh Nahidi. ncbi.nlm.nih.gov. Effects of Licorice on Relief and Recurrence of Menopausal Hot Flashes. 2012