Halusinasi pendengaran merupakan salah satu jenis halusinasi yang bisa terjadi pada siapapun, salah satu contohnya adalah mendengar suara namun sebenarnya suara itu tidaklah nyata [1,2].
Ketika satu orang mendengar sebuah suara dan orang lain menyatakan bahwa mereka tidak mendengarnya, maka orang yang mendengar suara disebut mengalami halusinasi pendengaran [1,2].
Halusinasi pendengaran dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kebiasaan tidak sehat, gangguan mental, hingga kondisi medis serius lainnya [1,2].
Daftar isi
Kebiasaan buruk seperti mengonsumsi alkohol dan mengalami kecanduan dapat meningkatkan risiko halusinasi pendengaran [2,3].
Ketika minum alkohol berlebihan, efeknya akan memengaruhi kesehatan sistem saraf otak.
Sebagai akibatnya, beberapa orang akan dengan mudah melihat atau bahkan mendengar hal-hal yang tidak nyata [2,3].
Bahkan pada orang-orang yang sudah berhenti minum dan mengatasi kecanduannya terhadap alkohol setelah bertahun-tahun konsumsi berlebih, efek halusinasi pendengaran bisa saja tetap terjadi [2].
Selain alkohol, kecanduan obat terlarang atau narkoba dapat menjadi penyebab utama halusinasi pendengaran [3,4,5].
LSD, ekstasi, kokain, dan jenis obat terlarang lainnya tidak sekedar memicu halusinasi penglihatan, tapi juga membuat pengguna mudah terdistraksi oleh suara-suara tak nyata [3,4,5].
Sakit kepala sebelah atau migrain pun seringkali dapat membuat penderitanya mengalami halusinasi penglihatan maupun penciuman [1,2,6].
Rupanya, sebagian penderita justru menderita halusinasi pendengaran yang juga berkaitan erat dengan riwayat depresi [1,2,6].
Gangguan tidur seperti narkolepsi dan insomnia dapat menjadi dua penyebab seseorang kemudian mengalami halusinasi pendengaran [1,2].
Narkolepsi sendiri adalah kondisi mengantuk berlebihan yang terjadi pada seseorang di siang hari atau saat beraktivitas [7].
Narkolepsi dapat menghambat rutinitas karena rasa kantuk berat dapat dialami di mana saja dan kapan saja tanpa penderitanya bisa menahan atau mengendalikan [7].
Selain rasa kantuk berlebihan, penderita narkolepsi biasanya akan mengalami serangan tidur (bisa tertidur kapanpun dan di mana pun, ketindihan/kelumpuhan tidur (sleep paralysis), katapleksi (kelemahan otot tiba-tiba), hingga halusinasi [7].
Sementara itu, insomnia adalah jenis gangguan tidur yang berkebalikan dengan narkolepsi karena penderitanya akan sulit tidur di malam hari [8].
Insomnia juga menjadi istilah untuk kondisi tidak cukup tidur walaupun waktu untuk tidur cukup banyak [8].
Selain menjadi lebih cepat lelah dan lebih mudah mengantuk saat siang hari, penurunan daya konsentrasi dapat dialami penderita insomnia [8].
Bila terjadi dalam jangka panjang, bisa jadi halusinasi ikut dialami bersama dengan gangguan fisik dan mental lainnya [8].
Tinnitus atau telinga berdenging dapat terjadi pada siapa saja dan bisa dialami di kedua telinga atau salah satunya saja [1,2,9].
Dengingan pada telinga ini pun bisa terjadi sebentar maupun lama yang berpotensi memicu halusinasi pendengaran pada beberapa kasus [1,2,9].
Penyebab tinnitus biasanya adalah adanya kerusakan sel-sel rambut halus di dalam telinga yang berperan utama sebagai penerima gelombang lalu menjadikannya sinyal listrik [10].
Maka ketika kerusakan pada rambut-rambut halus ini terjadi, sinyal listrik yang terkirim ke otak ikut terganggu dan terjadi secara acak; dengingan pun dialami sebagai akibatnya [10].
Dengungan, raungan, detak, desisan, hingga gemuruh adalah contoh-contoh sensasi suara yang dapat dialami penderita tinnitus [10].
Sensasi suara yang terdengar nyata padahal tidak pun bisa jadi dialami penderita; hal ini disebut juga dengan kondisi halusinasi pendengaran [1,2,9,10].
Stres berat dan intens adalah salah satu faktor peningkat risiko seseorang menderita halusinasi pendengaran [1,2].
Tekanan berat dan intens biasanya dapat berhubungan dengan peristiwa tak menyenangkan yang menyebabkan trauma pada penderita [1,2].
Stres yang tak segera ditangani akan semakin intens dan berakibat pada halusinasi [1,2].
Trauma kehilangan orang terdekat adalah salah satu contohnya; kematian orang terdekat dapat menjadikan seseorang mudah mengalami halusinasi pendengaran, terutama seperti mendengar suara orang terkasihnya tersebut [1,2].
Epilepsi atau ayan merupakan kondisi ketika sistem saraf pusat mengalami gangguan sebagai dampak dari ketidaknormalan pola aktivitas listrik otak [1,2].
Tubuh kejang adalah gejala utama epilepsi yang seringkali terjadi karena efek obat tertentu, stres, zat kimia otak yang tidak seimbang, kelainan jaringan otak maupun beberapa faktor lain yang terjadi bersamaan [1,2].
Meski terdapat beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab epilepsi, ada pula jenis epilepsi idiopatik, yakni epilepsi dengan penyebab yang belum jelas [1,2].
Fungsi pendengaran terkadang dapat terpengaruh oleh kejang epilepsi sehingga penderita berpotensi mendengar sensasi-sensasi suara yang tidak akan didengar oleh orang lain [1,2].
Meski tidak terlalu jelas dan tidak terlalu keras, suara-suara ini bisa cukup mengganggu.
Halusinasi pendengaran juga pada beberapa kasus bisa disebabkan oleh tumbuhnya tumor pada otak [1,2,11].
Tumor otak sendiri umumnya disebabkan oleh mutasi (perubahan) gen pada sel otak dan penyebab mutasi ini sendiri belum jelas diketahui hingga kini [12].
Walau tumor otak biasanya menyebabkan sakit kepala, kejang, maupun gangguan saraf, halusinasi pendengaran juga perlu diwaspadai sebagai pertanda tumor [12].
Penyakit tiroid merupakan suatu kondisi gangguan pada kelenjar tiroid, baik itu gangguan fungsi maupun kelainan bentuk [2].
Myxedema adalah jenis penyakit tiroid yang dapat meningkatkan risiko halusinasi pendengaran [13,14].
Myxedema sendiri merupakan kondisi lanjutan dari gejala hipotiroidisme yang memburuk secara jangka panjang [13,14].
Hipotiroidisme sendiri adalah sebuah kondisi ketika kelenjar tiroid tidak terlalu aktif dalam memroduksi hormon tiroid. Karena hal tersebut, kadar hormon tiroid menurun dan berada pada kadar di bawah normal [15].
Jika kondisi berkepanjangan tanpa penanganan, myxedema adalah kondisi komplikasi yang berisiko terjadi dan mengakibatkan penderitanya mudah mendengar sensasi suara-suara tidak nyata [15].
Penggunaan obat tertentu mampu menjadi faktor peningkat risiko halusinasi pendengaran [2].
Biasanya, obat bisa menyebabkan halusinasi pendengaran ketika dokter mengubah dosisnya menjadi lebih tinggi [2].
Halusinasi pendengaran karena obat pun lebih umum terjadi pada lansia daripada orang dewasa muda, remaja dan anak-anak [2].
Penyakit Parkinson adalah jenis penyakit saraf progresif yang menyerang otak [1,2,16].
Penyakit ini secara khusus menyerang bagian otak yang berperan sebagai pengatur keseimbangan tubuh [1,2,16].
Oleh sebab itu, pengendalian tubuh penderita Parkinson akan memburuk sehingga saat menulis, berjalan hingga berbicara akan terasa kesulitan [17].
Meskipun penyakit Parkinson menimbulkan gejala berupa perlambatan gerakan tubuh, tremor, dan ketegangan otot, pada beberapa kasus halusinasi pendengaran dan penglihatan dapat terjadi [1,2,16,17].
Saat penderita melihat suatu obyek atau gerakan tertentu, maka sensasi suara tertentu yang tidak nyata dapat ikut terdengar [1,2,16,17].
Demam tinggi kerap terjadi pada seseorang penderita infeksi, namun tidak semua jenis infeksi akan menyebabkan halusinasi pendengaran [2].
Meningitis dan ensefalitis adalah jenis infeksi yang paling dapat berpengaruh pada timbulnya halusinasi pendengaran [2].
Meningitis merupakan peradangan meningen; meningen adalah lapisan yang melindungi saraf tulang belakang dan otak [18].
Walau mampu menyebabkan halusinasi pendengaran, beberapa gejala utama meningitis adalah [18] :
Sementara itu, ensefalitis adalah peradangan jaringan otak karena infeksi bakteri, virus atau jamur [19].
Selain halusinasi, beberapa gejala utama pada ensefalitis meliputi [19] :
Alzheimer adalah jenis penyakit otak yang ditandai dengan menurunnya daya ingat [2,21].
Penyakit ini pun turut memengaruhi perilaku penderitanya, sekaligus kemampuan bicara dan berpikir walaupun terjadi secara bertahap [2,21].
Lansia jauh lebih rentan mengalami Alzheimer yang awalnya ditandai dengan sering pikun ringan namun lama-kelamaan daya ingat akan semakin buruk [21].
Sering linglung, sulit bicara, hingga kepribadian yang berubah menjadi gejala utama yang penderita Alzheimer alami [21].
Hanya saja, pada stadium akhir Alzheimer biasanya penderita lebih berisiko mengalami halusinasi pendengaran [2,20,21].
Demensia pada dasarnya juga merupakan kondisi penurunan daya ingat dan kemampuan berpikir penderitanya [23].
Perbedaannya dari Alzheimer adalah bahwa Alzheimer merupakan jenis demensia yang terjadi karena perubahan genetik maupun protein pada otak [23].
Alzheimer dapat menjadi penyebab demensia karena demensia terjadi karena kerusakan antar saraf dan sel saraf otak [23].
Halusinasi pendengaran dan bahkan penglihatan berpotensi terjadi pada penderita demensia pada tahap akhir [2,22].
Demensia sangat berisiko memengaruhi performa penderitanya dalam melakukan segala macam aktivitas secara negatif [23].
Selain mudah lupa dan berhalusinasi, penderita akan kesulitan bicara, merencanakan segala hal, memecahkan masalah, hingga kehilangan kemampuan dasar sehingga tak lagi dapat hidup mandiri [23].
Tidak hanya halusinasi penglihatan, halusinasi pendengaran pun seringkali berkaitan dengan gangguan mental tertentu [1,2].
Beberapa kondisi gangguan mental yang dapat menyebabkan halunasi pendengaran antara lain adalah [1,2] :
Halusinasi pendengaran dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan kondisi; segera ke dokter atau psikiater apabila terdapat gejala lain yang menyertai dan mengganggu aktivitas.
1. Tanu Thakur & Vikas Gupta. Auditory Hallucinations. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. William Moore & Smitha Bhandari, MD. Why Am I Hearing Things That Aren’t There?. WebMD; 2020.
3. Pookala S. Bhat, VSSR Ryali, Kalpana Srivastava, Shashi R. Kumar, Jyoti Prakash, & Ankit Singal. Alcoholic hallucinosis. Industrial Psychiatry Journal; 2012.
4. Mordecai N. Potash, MD, Kimberly A. Gordon, MD, & Kristy L. Conrad, MD. Persistent Psychosis and Medical Complications After a Single Ingestion of MDMA “Ecstasy”. Psychiatry; 2009.
5. Matthew J. Baggott, Jennifer D. Siegrist, Gantt P. Galloway, Lynn C. Robertson, Jeremy R. Coyle, & John E. Mendelson. Investigating the Mechanisms of Hallucinogen-Induced Visions Using 3,4-Methylenedioxyamphetamine (MDA): A Randomized Controlled Trial in Humans. PLoS One; 2010.
6. Eli E Miller, Brian M Grosberg, Sara C Crystal & Matthew S Robbins. Auditory hallucinations associated with migraine: Case series and literature review. Cephalalgia; 2015.
7. Jennifer M. Slowik; Jacob F. Collen; & Allison G. Yow. Narcolepsy. National Center for Biotechnology Information; 2021.
8. Thomas Roth, PhD. Insomnia: Definition, Prevalence, Etiology, and Consequences. Journal of Clinical Sleep Medicine; 2007.
9. Rosa Maria Rodrigues Dos Santos, Tanit Ganz Sanchez, Ricardo Ferreira Bento & Mara Cristina Souza de Lucia. Auditory hallucinations in tinnitus patients: Emotional relationships and depression. International Archives of Otorhinolaryngology; 2012.
10. Murray Grossan & Diana C. Peterson. Tinnitus. National Center for Biotechnology Information; 2021.
11. Purificacion Alvarez Perez, Maria Jose Garcia-Antelo, & Eduardo Rubio-Nazabal. “Doctor, I Hear Music”: A Brief Review About Musical Hallucinations. The Open Neurology Journal; 2017.
12. Karl Herholz, MD, Karl-Josef Langen, MD, Christiaan Schiepers, MD, PhD, & James M. Mountz, MD, PhD. Brain Tumors. HHS Public Access; 2014.
13. Nimesh Parikh, Prateek Sharma, & Chirag Parmar. A Case Report on Myxedema Madness: Curable Psychosis. Indian Journal of Psychological Medicine; 2014.
14. Sundus Sardar, Mhd-Baraa Habib, Aseel Sukik, Bashar Tanous, Sara Mohamed, Raad Tahtouh, Abdelrahman Hamad, & Mouhand F. H. Mohamed. Myxedema Psychosis: Neuropsychiatric Manifestations and Rhabdomyolysis Unmasking Hypothyroidism. Case Reports in Psychiatry; 2020.
15. Nikita Patil; Anis Rehman & Ishwarlal Jialal. Hypothyroidism. National Center for Biotechnology Information; 2021.
16. R. Inzelberg, S. Kipervasser, & A. Korczyn. Auditory hallucinations in Parkinson's disease. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry; 1998.
17. Saman Zafar & Sridhara S. Yaddanapudi. Parkinson Disease. National Center for Biotechnology Information; 2020.
18. Kenadeed Hersi; Francisco J. Gonzalez; & Noah P. Kondamudi. Meningitis. National Center for Biotechnology Information; 2021.
19. Anonim. Encephalitis. Paediatrics Child Health; 1998.
20. Mohamad El Haj, Frank Larøi, & Karim Gallouj. Hallucinations in a Patient with Alzheimer’s Disease During the COVID-19 Crisis: A Case Study. Journal of Alzheimer's Disease Reports; 2020.
21. Anil Kumar; Jaskirat Sidhu; Amandeep Goyal; & Jack W. Tsao. Alzheimer Disease. National Center for Biotechnology Information; 2020.
22. Charlotte Louise Eversfield & Llwyd David Orton. Auditory and visual hallucination prevalence in Parkinson's disease and dementia with Lewy bodies: a systematic review and meta-analysis. Psychological Medicine; 2019.
23. Prabhu D. Emmady & Prasanna Tadi. Dementia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
24. Manassa Hany; Baryiah Rehman; Yusra Azhar; & Jennifer Chapman. Schizophrenia. National Center for Biotechnology Information; 2021.
25. Frederick K. Goodwin, MD. Bipolar disorder. Dialogues in Clinical Neuroscience; 1999.
26. Tom Joshua P. Wy & Abdolreza Saadabadi. Schizoaffective Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2021.
27. Sukhmanjeet Kaur Mann & Raman Marwaha. Posttraumatic Stress Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2021.
28. Navneet Bains & Sara Abdijadid. Major Depressive Disorder. National Center for Biotechnology Information; 2021.