Kelumpuhan Tidur: Penyebab, Gejala dan Cara Mengobati

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Kelumpuhan tidur, biasa disebut oleh orang Indonesia sebagai ketindihan, merupakan kondisi yang sangat umum. Di antara 8% dan 50% populasi mengalami kelumpuhan tidur pada beberapa waktu dalam hidupnya[1, 8].

Apa itu Kelumpuhan Tidur?

Kelumpuhan tidur atau sleep paralysis merupakan kondisi yang dicirikan dengan hilangnya kendali otot sementara, disebut sebagai atonia. Selain atonia, orang sering mengalami halusinasi selama episode kelumpuhan tidur. [2]

Kelumpuhan tidur dikategorikan sebagai suatu jenis parasomnia, yaitu perilaku abnormal selama tidur[2].

Kelumpuhan tidur yaitu kondisi yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bergerak yang terjadi ketika seseorang sedang tertidur atau baru terbangun. Kondisi ini dapat terjadi pada orang sehat[3].

Saat mengalami kelumpuhan tidur, penderita biasanya tidak dapat bergerak atau bicara selama beberapa detik hingga menit. Beberapa orang dapat merasakan tekanan atau sensasi tercekik[4].

Para peneliti menduga bahwa kelumpuhan tidur melibatkan kondisi kesadaran tercampur aduk, yang menggabungkan kesadaran dan tidur REM (rapid eye movement). Akibatnya atonia dan pencitraan mental dari tidur REM terlihat tetap ada bahkan dalam kondisi sadar dan bangun[2].

Episode kelumpuhan tidur dapat terjadi bersamaan dengan gangguan tidur lain yang disebut narkolepsi. Narkolepsi yaitu gangguan tidur kronis yang menyebabkan rasa kantuk berlebih dan “serangan tidur” tiba-tiba sepanjang hari.

Narkolepsi disebabkan adanya suatu masalah pada kemampuan otak untuk meregulasi tidur. Meski demikian, banyak orang yang tidak mengalami narkolepsi dapat mengalami kelumpuhan tidur[4, 5].

Kelumpuhan tidur tidak termasuk kondisi berbahaya dan tidak memiliki risiko serius. Namun kondisi ini dapat mengakibatkan kecemasan dan ketakutan intens[5, 6].

Kelumpuhan tidur biasanya paling parah terjadi pada usia 30an dan diduga berhubungan dengan PTSD (post-traumatic stress disorder)[3].

Fakta Kelumpuhan Tidur

  • Menurut sebuah review tahun 2011, sekitar 7,6% populasi dunia mengalami setidaknya satu episode kelumpuhan tidur selama hidup, dengan tingkat yang lebih tinggi tercatat di antara murid sekolah dan pasien psikiatrik, terutama pada mereka yang mengalami PTSD atau gangguan panik[3, 7].
  • Sekitar 5% populasi mengalami episode kelumpuhan tidur secara rutin[1].
  • Menurut American Academy of Sleep Medicine, penderita kelumpuhan tidur biasanya mengalami kondisi ini pertama kali antara usia 14 dan 17 tahun[5].
  • Kelumpuhan tidur sering dimulai saat remaja dan dapat menjadi lebih sering pada usia 20an dan 30an tahun[2, 6].
  • Sebuah studi menunjukkan prevalensi kelumpuhan tidur pada remaja di Indonesia sebesar 72, 3%, dengan umur terbanyak 16 tahun, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan[9]. Studi lain menyatakan bahwa 91,6% mahasiswa di Indonesia pernah mengalami kelumpuhan tidur[9].
  • Beberapa studi menunjukkan bahwa onset awal kelumpuhan tidur merupakan indikasi dari episode yang lebih sering. Kelumpuhan tidur dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin[3].
  • Dalam sejarah, kelumpuhan tidur banyak dihubungkan dengan mitos dan cerita rakyat yang mendeskripiskan pengalaman mengerikan saat tidak dapat bergerak dan terkadang melihat sesuatu, merasa tercekik, atau tertahan di tempat[7].
  • Di Indonesia, kelumpuhan tidur disebut sebagai ketindihan, yang mana menurut mitos berarti tubuh sedang ditindih, diduduki atau ditahan oleh makhluk halus. Orang sunda menyebut ketindihan sebagai eureup-eureup[8, 10].
  • Pada tahun 1664, seorang dokter Belanda mendeskripsikan pengalaman pasien yang mengalami kelumpuhan tidur sebagai “Incubus or the Night-Mare”, yang mana merupakan deskripsi klinis pertama dari kondisi ini[7].

Penyebab Kelumpuhan Tidur

Penyebab pasti dari kelumpuhan tidur tidak diketahui. Studi menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kelumpuhan tidur[2, 3].

Berikut beberapa faktor risiko kelumpuhan tidur[2, 4, 6]:

  • Gangguan tidur dan masalah tidur seperti narkolepsi atau kram kaki
  • Insomnia
  • Kurang tidur
  • Pola tidur yang tidak teratur atau perubahan jam tidur
  • Gangguan mental tertentu, seperti gangguan kecemasan, PTSD, depresi, bipolar
  • Penggunaan obat berbahaya
  • Penghentian konsumsi obat antidepresan
  • Riwayat keluarga dengan kelumpuhan tidur

Gangguan tidur dan berbagai masalah tidur lainnya menunjukkan korelasi terkuat dengan kelumpuhan tidur terisolasi. Pada sebuah studi, tingkat terjadinya kelumpuhan tidur lebih tinggi (sebesar 38%) dilaporkan oleh orang dengan tidur apnea obstruktif, yaitu gangguan tidur dengan gangguan pernapasan berulang[2].

Beberapa studi menunjukkan bahwa orang-orang dengan imajinasi dan disosiasi dari lingkungan sekitar, seperti melamun, lebih berisiko mengalami kelumpuhan tidur[2].

Gejala Kelumpuhan Tidur

Gejala utama kelumpuhan tidur adalah atonia atau ketidakmampuan untuk menggerakkan tubuh. Biasanya terjadi sesaat setelah tidur atau saat bangun, dan selama suatu episode kelumpuhan tidur, penderita merasa terjaga dan sadar pada hilangnya kendali terhadap otot.

Satu episode dapat berlangsung selama beberapa detik hingga sekitar 2 menit[2]. Beberapa gejala lain yang dapat dirasakan saat episode kelumpuhan tidur[5, 6]:

  • Sensasi seperti ditekan ke bawah oleh seseorang
  • Sensasi seperti ada orang asing atau sesuatu di dalam kamar
  • Mengalami halusinasi dan sensasi yang menyebabkan ketakutan
  • Tidak dapat menggerakkan tubuh selama beberapa saat
  • Kesulitan bernapas
  • Merasa seakan kematian mendekat
  • Berkeringat
  • Otot sakit
  • Sakit kepala
  • Paranoid

Episode kelumpuhan tidur biasanya berakhir dengan sendirinya atau ketika ada orang lain menyentuh atau menggerakkan penderita. Pada kasus langka, penderita mengalami halusinasi seperti mimpi yang dapat menimbulkan rasa takut atau kecemasan, namun halusinasi ini tidak berbahaya[5].

Selama kelumpuhan tidur, penderita berada dalam fase gabungan antara tidur REM dan terjaga. Tidur REM merupakan tahap dalam siklus tidur di mana kita mengalami mimpi. Saat tidur REM tubuh cenderung mengalami kelumpuhan sehingga tidak dapat bergerak[2, 7].

Oleh karena episode kelumpuhan tidur disertai kesadaran, penderitanya dapat merasakan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Pada beberapa kasus bahkan timbul halusinasi nyata. Orang-orang yang mengalami kelumpuhan tidur sering mendeskripsikan merasakan kehadiran sosok misterius atau hantu[7].

Sebuah studi pada jurnal Sleep Medicine melaporkan bahwa dari 185 pasien yang didiagnosis dengan kelumpuhan tidur, sekitar 58% merasakan kehadiran di dalam ruangan, biasanya sesuatu yang bukan manusia, dan sekitar 22% melihat orang asing di dalam ruangannya[7].

Dilansir dari Live Science, saat tidur REM bagian otak yang berperan penting dalam rasa takut dan ingatan emosional, amygdala, menjadi sangat aktif dan menimbulkan halusinasi[7].

Jenis Halusinasi Kelumpuhan Tidur

Diperkirakan 75% dari episode kelumpuhan tidur melibatkan halusinasi yang berbeda dari mimpi biasa. Seperti atonia, halusinasi dapat terjadi ketika baru terlelap tidur (halusinasi hipnagogis) atau terbangun (halusinasi hipnopompik)[2].

Halusinasi selama kelumpuhan tidur dibedakan menjadi tiga, yaitu[2, 6]:

  • Halusinasi Orang Asing

Halusinasi orang asing melibatkan persepsi adanya kehadiran orang lain di dalam ruangan. Halusinasi dapat berupa suara gagang pintu terbuka, langkah kaki terseret, bayangan sesosok orang, atau kehadiran sosok berbahaya di dalam ruangan.

  • Halusinasi Tekanan Dada

Halusinasi kategori ini disebut juga sebagai halusinasi incubus, yang dapat membangkitkan perasaan kekurangan nafas. Penderita merasakan tekanan pada dada, kesulitan bernapas dengan sensasi dibekap atau dilecehkan secara seksual oleh makhluk jahat. Penderita juga dapat mempercayai bahwa mereka sedang sekarat.

  • Halusinasi Vestibular Motor

Halusinasi vestibular motor dapat meliputi sensasi berputar, jatuh, mengambang, terbang atau melayang di atas tubuh atau pengalaman keluar tubuh lainnya.

Diagnosis Kelumpuhan Tidur

Kelumpuhan tidur umumnya bukan masalah serius dan tidak memerlukan diagnosis medis. Meski demikian sekitar 10% dari populasi umum mengalami episode kelumpuhan tidur berulang atau mengganggu[2, 5, 6].

Jika gejala kelumpuhan tidur menimbulkan gangguan seperti timbulnya pikiran negatif saat hendak tidur, mengurangi waktu tidur atau menimbulkan kecemasan yang berakibat pada sulit tidur, sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter[2, 6].

Untuk mendiagnosis dokter dapat mengumpulkan informasi mengenai kesehatan tidur dengan beberapa cara berikut[4]:

  • Meminta pasien mendeskripsikan gejala yang dialami dan membuat jurnal tidur selama beberapa minggu
  • Mendiskusikan riwayat kesehatan pasien, termasuk ada tidaknya gangguan tidur atau anggota keluarga yang mengalami gangguan tidur
  • Merekomendasikan kepada spesialis tidur untuk pemeriksaan lebih lanjut
  • Melakukan studi tidur malam hari atau tidur diang untuk memastikan kondisi pasien

Pengobatan Kelumpuhan Tidur

Gejala kelumpuhan tidur biasanya mereda setelah beberapa menit dan tidak menyebabkan dampak atau trauma fisik yang berlangsung lama. Namun pengalaman menakutkan dari kelumpuhan tidur dapat menyebabkan kecemasan dan ketakutan bagi penderita[5].

Kelumpuhan tidur yang terjadi sesekali biasanya tidak memerlukan penanganan. Namun untuk penderita narkolepsi dan orang-orang yang terganggu aktivitasnya akibat kelumpuhan tidur, disarankan untuk konsultasi ke dokter[2, 5].

Dokter biasanya memberikan arahan agar pasien meningkatkan jadwal tidur dan menjaga jadwal tetap teratur. Selain itu, perlu untuk menjaga kualitas tidur pasien[7].

Untuk kasus ekstrim, dokter dapat meresepkan antidepresan dosis rendah. Obat ini dapat membantu mengurangi gejala kelumpuhan tidur dengan menekan aspek tertentu dari tidur REM[7].

Pada pasien dengan narkolepsi dokter umumnya meresepkan obat jenis stimulan dan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor), seperti fluoxetine. Stimulan membantu pasien tetap terjaga, sementara SSRI membantu mengatasi gejala yang berhubungan dengan narkolepsi[5].

Pencegahan Kelumpuhan Tidur

Kelumpuhan tidur diduga berhubungan dengan masalah tidur umum, sehingga meningkatkan sleep hygiene (kebiasaan dan kegiatan yang kondusif untuk tidur dengan baik) menjadi fokus utama dalam pencegahan kelumpuhan tidur.

Sleep hygiene meliputi pengaturan kamar dan kebiasaan harian pasien yang mempengaruhi kualitas tidur[2].

Berikut beberapa tips untuk meningkatkan kualitas tidur dan mencegah kelumpuhan tidur[2, 5, 6]:

  • Mengikuti jadwal rutin untuk tidur dan bangun setiap hari, termasuk saat akhir pekan
  • Melengkapi tempat tidur dengan kasur dan bantal yang nyaman
  • Mengurangi paparan cahaya dan menggunakan lampu tidur di malam hari
  • Mendapatkan paparan sinar matahari yang baik dan mencukupi di siang hari
  • Membiasakan untuk tidak bekerja atau belajar di dalam kamar tidur
  • Menghindari tidur siang setelah jam 3 sore dan menghindari tidur siang lebih lama dari 90 menit
  • Menghindari makanan berat di sore hari, atau menghindari makan dalam 2 jam sebelum tidur
  • Tidak tidur dengan lampu atau TV menyala
  • Mengurangi konsumsi alkohol atau kafein di sore hari
  • Melakukan olahraga rutin setiap hari, tapi tidak dalam 2 jam sebelum tidur
  • Melakukan aktivitas menenangkan sebelum tidur, seperti membaca atau mendengarkan musik tenang
  • Meletakkan ponsel dan alat elektronik lainnya jauh dari tempat tidur setidaknya 1 jam sebelum tidur
  • Manajemen stres dan menangani depresi atau gangguan kecemasan
  • Mengurangi penggunaan stimulan
  • Melakukan meditasi atau terapi untuk menenangkan pikiran lainnya
  • Tidak tidur dengan punggung

Terapi dapat digunakan untuk membantu meningkatkan sleep hygiene, salah satunya ialah CBT-I (cognitive behavioral therapy for insomnia). CBT-I merupakan jenis terapi bicara yang bekerja untuk membingkai ulang pikiran-pikiran dan emosi negatif yang mengurangi tidur[2].

Terapi CBT umum telah dilaporkan membantu mengatasi kondisi kesehatan mental seperti kecemasan dan PTSD yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi risiko kelumpuhan tidur[2].

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment